Share

Bab 3. Tamu yang mengejutkan.

“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”

Terlihat Galuh berusaha menutupi mukanya. Namun Gayatri masih berusaha melihat dengan menarik tangan Galuh dan memegang dagunya. “Ini apa, Galuh? Apa yang telah kamu lakukan di luar sana?”

“Dibilangi bukan apa-apa juga,” kata Galuh dengan melototkan matanya.

"Kalau orangtua ngomong itu yang sopan jawabnya. Kamu ghak tau betapa khawatirnya kami dengan mencarimu kemana-mana tadi," sahut Prayogi yang juga merasa curiga dengan kelakuan anaknya.

“Apa yang kau lakukan dengan anak berandal itu?”

“Maksud Bunda apa?” tanya Galuh yang sudah nglonyor ke kamarnya tanpa memperdulikan ayahnya yang baru datang setelah berminggu-minggu tak pulang. Dia bahkan memandang  Prayogi dengan tatapan yang menghujat.

Gayatri yang sudah panas hatinya dengan kelakuan suaminya, membuat makin panas dengan yang dilakukan putrinya.

“Bukankah kamu keluar sama Raksa, anak band itu?"

Galuh terdiam sejenak. Dari duluh bundanya mengatakan tidak suka dia dekat dengan Raksa yang dinilai agak nyleneh dengan telinganya yang ditindik. Namun Galuh teramat mencintai pemuda itu.

“Yang jelas aku ghak berbuat yang ghak bener sama Raksa, Bund,” kata Galuh dengan meletakkan barang-barangnya. “Kalau Bunda ghak percaya, terserah Bunda. Aku ngantuk, mau tidur,” katanya dengan membaringkan tubuhnya.

“Kalau mau tidur, sholat duluh, Galuh.”

“Habis ini, Bund. Bunda tinggalin Galuh sendiri.”

“Kamu kenapa tidak menyapa ayahmu?” tanya Gayatri setelah hampir meninggalkan ruangan putrinya.

Galuh hanya melengos dengan menampakkan wajah tidak sukanya. Dia menganggap ayahnyalah yang menyebabkan dia harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhannya yang beberapa minggu terakhir ini menjadi makin terjepit dengan uang saku yang makin minim dia terima.

Gayatri, bagaimanapun masalah yang kini sedang dia hadapi dengan suaminya, dia ingin anak-anaknya tidak mengetahuinya dan tetap menghormati Prayogi sebagai ayahnya yang selalu mereka sayangi selama ini, terlebih Galuh yang lebih dekat dengan ayahnya.

Galing sudah terlihat tidur dengan menggelar kasurnya di ruang keluarga. Kamar mereka memang cuma dua sehinggah Galing kamarnya ya, di ruang keluarga itu. Mulai dengan kasurnya, buku pelajaran, sampai almari pakaiannya yang di dekat televisi.

Gayatri yang juga sudah mengantuk, masuk kamar. Prayogi yang dari tadi di depan televisi, mengikuti Gayatri yang masuk dengan perasaan canggung. Dari tadi tatapan Gayatri tak pernah baik kepadanya. Sakit hatinya bertumpuk dengan menyaksikan ulah putrinya yang baru pulang dengan keadaan yang membuatnya berfikir, ada apa dengan Galuh?

Seperti biasa, Gayatri selalu mematikan lampu kamarnya jika tidur, katanya itu tuntunan dari Rosulullah. Namun cahaya remang masih menyinari kamar mereka dari lampu ruang keluarga. Prayogi merebahkan punggungnya bersisian dengan Gayatri di kasur yang telah lama menjadi saksi bisu kebersamaan mereka sejak mereka bisa membeli rumah ini sepuluh tahun yang lalu, saat Galuh berusia 4 tahun dan belum berani tidur sendiri. Saat itu ada keluarga yang dalam kesulitan menjual rumahnya dengan harga murah, kebetulan rizki keluarga mereka lancar. Saat libur, Prayogi selalu dapat carteran. Tak seperti akhir-akhir ini. Tabungan yang ada memang belum cukup hinggah mereka meminjam dari kakaknya Prayogi dan alhamdulillah juga tak lama sudah lunas.

“Kamu sudah tidur?” tanya Prayogi ke Gayatri yang memunggunginya.

Sepi, tak ada jawaban, apalagi kehangatan seperti yang duluh dia rasakan. Jangankan memunggunginya seperti sekarang. Dengan rambut masih basah, Gayatri akan terus  menatapnya, dan memamerkan senyumnya yang menggoda, dan Prayogi akan menyambutnya dengan ciuman sampai menuntaskan hasrat mereka kembali.

Ah, ternyata semua itu hanya kenangan sekarang, keluh Prayogi. Dipandanginya lekad Gayatri dengan lekuk tubuhnya dari samping yang makin menggoda.  Ciuman pun didaratkan ke leher Gayatri dengan mengambil bantal guling yang sepertinya sengaja di taruh Gayatri di tengah.

Gayatri menggeliakkan tubuhnya. Bagaimanapun juga dia teramat merindukan belai kasih dari suaminya itu setelah sekian lama tak merasakannya. Keinginan untuk menyambut kehangatan yang diberikan Prayogi yang selalu bisa membuatnya merasakan kepuasan setiap bersamanya, membuat dia menikmati setiap sentuhan suaminya itu. Hinggah sebuah kesadaran kemudian muncul. Bayang-bayang seorang wanita tengah bersama menikmati surga dunia bersama suaminya tiba-tiba hadir di pikirannya. Dengan segera Gayatri menutup kembali tubuhnya yang tanpa busana dengan selimut yang tadi dipakainya. Lalu menjauh ke tepi ranjang. Prayogi yang sudah kelimpungan  merutuk. Dia telah berminggu menahan diri. Tanpa berfikir lagi dia menarik paksa Gayatri dan menuntaskan hasratnya.

Gayatri yang tak lagi merasakan apapun selain kesakitan, mengalirkan airmatanya. Prayogi yang merasa bersalah melihat Gayatri menangis, memeluknya erat, walau berkali kali Gayatri mengibaskan tangannya dan mendorong tubuhnya. Namun tenaganya yang kalah kuat, membuatnya hanya menangis.

“Maaf aku telah menyakitimu.”

Malam-malam Gayatri yang kesulitan tidur, mengguyur tubuhnya dengan mandi air hangat. Dia kemudian  bersujud dengan mengadukan nasibnya ke Tuhannya. Rasa lelah yang sangat membuatnya hinggah tertidur di lantai di kamarnya, di atas sajadahnya.

 Prayogi yang terbangun saat azhan subuh dan mendapati Gayatri tak lagi di pelukannya, segera bangun. Namun saat dia turun dari ranjang, telah mendapati Gayatri tertidur di lantai. Wajahnya yang lelah membuat Prayogi merasa bersalah kembali atas apa yang telah diperbuatnya. Diangkatnya Gayatri untuk ditidurkan di peraduan, lalu diciumnya keningnya sebelum dia beranjak ke kamar mandi dan membangunkan kedua anaknya.

“Bund, bangun.  Sepertinya Bunda belum sholat subuh,” kata Prayogi setelah menyelesaikan salam, dengan mencium kembali pipi wanita di depan hidungnya yang tengah tidur miring di depannya.

Di luar kesadarannya, tangan yang biasanya lembut itu kini mengibaskan wajahnya dengan keras.  Rasa pengar menghantam hidung Prayogi. Bahkan dalam tidur pun, Gayatri begitu membencinya, bathinnya ngilu.

Gayatri terbangun hampir kehilangan waktu subuhnya. Syukurlah dia hanya perlu membuat ikan. Dan yang ada cuma telor yang tentunya hanya bisa dibuat untuk telur dadar.

Dilihatnya uang yang sengaja diletakkan Prayogi di meja riasnya. Berkali-kali Gayatri ragu untuk mengambil uang itu. Namun jika tidak diambil, bagaimana dia akan melewati toko Bu Ratih saat dia ke Bu Ratna nanti? Dalam jengkel dia kemudian mengambil uang merah lima lembar untuk melunasi hutangnya. Selebihnya dia diamkan saja, tanpa mengurusnya seperti biasanya.

“Ini untuk sehari-hari, yang ini untuk sekolah anak-anak, yang ini untuk tabungan kita.” Begitu yang sering Prayogi dengar jika dia memberi uang dan Gayatri selalu mengucap terimakasih dan memilah-milah uangnya untuk ditempatkan di keperluan rumah mereka.

 Prayogi kini memperhatikan uang yang tadi malam ditaruhnya, memandangnya dengan tatapan penuh luka. Luka yang telah dibuatnya sendiri.

Baru saja Gayatri bermaksud mengeluarkan sepedanya, seorang wanita dengan penampilan sexi berdiri di depannya. Tubuhnya yang ideal dengan dada menantang. Dia memakai celana jeans ketat dengan kaos yang pres body. Rambutnya yang disemir kekuningan tergerai indah sepunggung. 

“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”

“Kamu siapa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status