Share

Bab 4. Terjebak.

“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”

“Kamu siapa?” tanya Gayatri masih memandangi wanita di depannya. Wanita yang sepertinya lebih muda darinya yang sudah 33 tahun.

“Sama seperti mbak Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya, saya juga istrinya. Saya Sasmita.”

Gayatri terkejut. wanita itu bahkan kini telah datang ke rumahnya, sebelum dia mau mengutarakan kepada suaminya agar anak-anak tidak tau persoalan mereka.

 Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya? Gayatri mengeja sendiri namanya setelah teringat wanita itu menyebutnya. Bagaimana wanita itu tau nama lengkapnya? Siapakah dia? Atau karena begitu dekatnya dia dengan suaminya sampai dia telah mengetahui namanya dengan baik? Hadiwijaya,.. begitu lama nama pengusaha terkenal itu tak pernah disebut siapapun dalam keluarganya setelah apa yang Gayatri lakukan dengan menikahi Prayogi, lelaki kalangan biasa teman  SMA-nya yang bisa masuk di sekolah elit karena beasiswa.

“Tolong duduk di depan sebentar, saya akan memanggilnya,” kata Gayatri berusaha menahan wanita itu agar tak masuk. Gayatri masuk rumah dengan mendapati Prayogi dengan burung peliharaannya di belakang rumah. Melihat Gayatri yang datang, Prayogi berusaha melempar senyum namun diacuhkan oleh Gayatri.

“Aku belum mengatakan kepadamu, Yah,.. kamu jangan berusaha merusak anakku dengan membawa wanita itu ke rumah kita.”

“Aku tak mungkin melakukan itu.”

“Tapi kenapa kini dia telah berada di sini?” tanya Gayatri menekankan suaranya dengan pelan agar tak terdengar anak-anaknya.

Prayogi yang terkejut segera keluar dengan mempercepat langkahnya.

“Dari mana kamu tau rumahku?” tanya Prayogi begitu mendapati wanita yang berdiri di depannya.

Wanita itu mendekati Prayogi, Lalu mencium bibirnya tanpa malu. Gayatri yang menyaksikan semua itu seolah sesak rasa di dadanya. Sementara Prayogi berkali kali memandang ke arah Gayatri dengan perasaan tak enak.

“Bawa saja wanita itu dari sini, Yah. Jangan sampai anak-anak mengetahui semua ini.”

“Kenapa baru sekarang ngomong begitu Mbak?”

“Maksud kamu?”

“Kamu jangan serakah, Mbak. Dia telah menikah dengan saya, seharusnya hari liburnya yang dua hari, sehari di tempat mbak, sehari di tempat saya. Bukan di mbak Gayatri terus seperti kemarin.”

Gayatri menatap suaminya dengan bingung. “Apa maksudnya ini, Yah. Kenapa dia malah mengatakan aku telah mengurungmu, bukankah selama tiga minggu kamu ghak pulang karena kamu bersamanya?”

“Aku di mes, Tri,” kata Prayogi yang membuat Gayatri tak habis mengerti.

“Sebulan yang lalu dia menikahiku setelah aku hamil dan menuntutnya. Lalu dia pergi begitu saja, dan tak datang lagi. Mungkin dia ghak suka dengan orang hamil kali ya? Apa duluh saat mbak hamil dia juga begitu?”

Gayatri hanya menatapnya jengkel. Wanita tanpa perasaan! “Bawa dia pergi, Yah,” katanya kemudian.

 Prayogi yang kebingungan, menatap Gayatri lekad.

“Aku mau pergi, aku ada janji dengan orang yang akan memberiku pekerjaan. Kamu sekarang bisa bebas bersamanya.”

Kening Prayogi berkerut. Oh, karena itukah dia tak lagi mengambil uang itu semuanya, karena dia kini telah memiliki pekerjaan, bathinnya.

“Mbak, kenapa Mbak sekarang mau bekerja, saya ghak akan mengganggu keuangan mas Prayogi, harta saya sudah lebih dari cukup. Saya hanya,..” Wanita itu mendekat ke Gayatri. “membutuhkan kehangatannya. Aku rasa mbak tau betapa hebatnya dia di ranjang,” bisiknya lirih, namun membuat telinga Gayatri seolah meledak.

“Bawa dia, Yah,  sebelum anak-anak tau,”  ucap Gayatri keras dengan mata yang mulai penuh embun.

Prayogi mendekati wanita di depannya. “Kamu pulanglah duluh, nanti aku ke sana,” katanya kemudian.

Wanita itu menatap Gayatri dan Prayogi bergantian. “Bener, mas? Aku tunggu ya.” Dia kemudian  memesan taksi online.

Tak lama taxi telah datang menjemputnya, setelah dia membisikkan sesuatu di telinga Prayogi. 

Gayatri membuang mukanya melihat adegan itu. Dia lalu melangkah, mengayuh sepedanya dengan airmata yang telah luruh satu persatu menetes di pipinya. Prayogi yang memandang punggung Gayatri yang sudah tak tampak di belokan gang, merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia terjebak dengan wanita itu. Dan kini rumah tangganya berada di jurang kehancuran. Biduk yang duluh dia perjuagkan dengan membawa Gayatri pergi meninggalkan keluarganya yang kaya raya, itu kini telah retak.

“Dia tak baik untukmu, Tri. Jangan bergaul dengannya.” Sambil mengayuh sepeda Gayatri teringat mamanya, Garnis, yang melarang dia bersama Prayogi. Saat itu dia baru menyelesaikan SMA dan berusaha diambil dari kediaman Prayogi, tempat dia pergi setelah dua hari tak pulang ke rumahnya.

Namun watak keras Gayatri tak mengindahkan kedua orangtuanya. Dia nekad bersama dengan Prayogi dan tak mau pulang, karena jika pulang, dia takkan bisa keluar lagi untuk bertemu dengan Prayogi. Keluarga Prayogi yang tak bisa berbuat apa-apa dengan nekadnya dua anak baru 18 tahun yang ingin bersama, akhirnya menikahkan mereka tanpa sepengetahuan orangtua Gayatri. Sejak saat itu Gayatri tak lagi menemui keluarganya. Demikian juga dengan keluarganya yang seolah tak lagi mengenal siapa Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya.

“Mama, maafkan saya,” lirih Gayatri mengucapkan itu. 

Prayogi setelah menatap kepergian Gayatri, dia melangkah ke dalam rumah. Namun alangkah terkejutnya dia melihat kedua anaknya berada di balik pintu. “Sejak kapan kalian berada di situ?”

“Kenapa?  Ayah malu setelah kami mengetahui semua perselingkuhan Ayah?”  Galuh  mengucapkan semua itu dengan wajah membunuh.

Prayogi menunduk.

“Ayah tega ya, berbuat semua ini di belakang Bunda. Apa salah Bunda, Yah? Bunda bahkan ihlas menahan lapar dengan  terus menjalankan puasa, saat jatah Ayah tak pulang, sementara Ayah enak-enakan bersama wanita macam dia.” Galing membuka suaranya.

“Ayah tak pulang bukan karena dia, Ling.”

“Lalu karena apa?”

“Ayah telah khilaf, tapi ayah takut pulang karena takut menyakiti Bunda.”

“Ayah tidak tau betapa Galuh sampai melakukan kerja yang sampai kini tak bisa Galuh cerita hanya untuk mencari uang saku tambahan karena uang saku Galuh makin menipis sementara kebutuhan di sekolah banyak sekali.”

“Maaafkan Ayah, Nak,” ucap Prayogi berusaha merangkul kedua anaknya, namun Galing segera pergi keluar dan mengayuh sepeda gunungnya. Sementara Galuh malah masuk kamar.

“Galuh!” panggil Prayogi ke kamar Galuh. Gadis itu menutup pintu kamarnya rapat.

Prayogi menatap pintu kamar anaknya yang terbuat dari triplek dengan tatapan penyesalan. Anak gadis yang selama ini bermanja dengannya, kini telah membencinya.

Dengan langkah layu, Prayogi menyambar kunci motornya, juga jaket. Perjalanan yang melelahkan pikirannya setelah beberapa jam kini telah menghantarkan dirinya ke pintu sebuah salon kecantikan.

“Akhirnya kamu datang juga, Sayang,” sambut Sasmita senang dengan mendaratkan ciumannnya di bibir Prayogi. Prayogi yang merasa risih menghindari tatapan mata pegawai Sasmita dan pengunjung salon. Salon milik Sasmita memang sudah terkenal dan selalu ramai oleh pengunjung. Lima pegawinya bahkan masih kewalahan.

“Kita ke dalam, MIta, aku perlu bicara.”

“Mbak Reina, tolong dihandel duluh, ya. Jangan mengganggu saya," katanya dengan penuh riang.

Reina, asistennya, mengangguk.

“Mas aku kagen kamu, lho!” katanya manja setelah Prayogi duduk. Perempuan itu lalu memeluk Prayogi dengan manja. Lalu berusaha lebih dekat dengan Prayogi.

“Mita, lepaskan aku, aku tak mungkin menyentuhmu, karena kamu hamil.“

"Siapa bilang aku hamil?”

“Apa? Kenapa kamu menjebakku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status