Share

Bab 8. Pertemuan kita kembali.

"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman.

"Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.

Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya.

"Kak,..."

"Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.

Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman."

"Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu.

"Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah saya hadang Kakak, apalagi mau nitipkan gadis saya. Bisa-bisa saya ghak ketemu dia lagi," ucap Raksa terkekeh.

"Kalau kemudian dia jatuh cinta sama saya, gimana?" Lagi-lagi Rendra menggoda.

Gadis itu tersenyum. "Kayaknya ghak mungkin, deh!" ujarnya mantap dengan mengerlingkan matanya ke pemuda di sebelahnya.

Sialan! Rutuk Rendra dalam hati. Bocil saja juga ghak tertarik sama aku. Bener-bener deh aku bujang lapuk yang ghak laku.

Mereka tertawa bersama.

"Yakin betul ghak tertarik? Emang  aku kurang ganteng?"

"Ganteng sih ganteng, Kak. Apalagi body Kakak! Ghak tipeku aja," katanya lalu menggerai tawa kecil. Sialan, tuh bocil!

"Udah. Ayo kalau gitu," ucap Rendra lalu membukakan pintu belakang mobilnya untuk gadis itu.

"Raksa, aku duluan. Hati-hati, ya!" pamit gadis itu sebelum pergi, membuat Rendra ngiri. "Nanti kalau ada apa-apa, telpon ya."

"Iya, kamu juga hati-hati. Kalau dia macam-macam, tendang aja."

"Apa?" Rendra melototkan matanya.

"Bercanda, Kak,..maaf!" kata Raksa dengan mengatukkan kedua tangannya.

Rendra mendengus kesal sambil melajukan mobinya. "Sepertinya cinta banget kamu sama dia" cibir Rendra.

Gadis itu tersenyum, senyum yang sama persis dengan emak-emak itu, bathin Rendra. Ih, siapa juga nama si emak itu, kenapa lupa ghak tanya Bude?

"Kamu kelas berapa?"

"Sembilan, Om."

"Om?" ulang Rendra ngakak. "Emang aku kelihatan tua banget? Temanmu aja panggil aku,...Kak."

""E,..maaf, Kak," ralat gadis itu.

"Umurmu?" tanya Rendra lagi mulai curiga mengingat kelasnya.

"Empat belas tahun, Kak," jawabnya. "Emang kenapa? Sensus penduduk?" tanyanya ngakak.

Rendra mendelik. Melihat gadis itu tertawa, dia gemes banget. Dasar bocil!

"Rumahmu sebelah mana? Sudah masuk perumahan ini."

"Perumahan yang tipe kecil sendiri, Kak. Jalan Gading II. Apa Kakak tau?"

"Emang kenapa ghak tau?" Rendra mengamati gadis itu dari kaca mobilnya. Benar-benar mirip. Usianya juga sama dengan usia anak emak itu. Ah, otakku makin ghak waras!

"Kakak orang kaya, barangkali gak tau."

Rendra terkekeh. "Kamu bocil, bisa aja ngomongnya."

"Tuh, Kak,.. yang di ujung sendiri." Gadis itu mengarahkan telunjuknya.

Hinggah sampai juga di depan rumah yang ditunjukkan gadis itu. Sebuah rumah sederhana yang halaman depannya tertata rapi dengan berbagai bunga-bunga menghiasi. Semerbak melati menusuk indera penciuman Rendra. Yang yang aneh, tiba-tiba bersarang di hati Rendra. Entah apa karena bau melati itu yang membawa aroma mistik Nyi Loro Kidul, ataukah karena seseorang yang tengah berdiri di depan teras rumah.

"Lho, Mas,..kok sama Galuh."

Galuh yang sudah menjejeri bundanya, tersenyum. "Ban Raksa bocor di gang depan, Bund. Kebetulan, Kak,..."

"Aku Rendra," sela Rendra dengan masih tak berkedip menatap Gayatri. Oh, Tuhan,..kenapa jantungku tak beraturan begini?

"Kak Rendra lewat, dihadang Raksa biar aku dapt tumpangan." Galuh menjelaskan sambil menelisik Rendra yang tengah menatap bundanya.

"Kak Rendra, terimakasih!" Galuh mendekati Rendra, berusaha mengalihkan perhatian Rendra.

"Eh,...i,..iya," Rendra tergagap.

"Kak Rendra kenapa?" Galuh menjejeri Gayatri. "Kaget ya, lihat kami?"

"Iya, bagai pinang dibelah dua. Hanya satunya lebih tinggi," kata Rendra menutupi gugupnya. Terlebih melihat Gayatri hanya memamerkan senyumnya.

"Ok, aku pulang duluh, ya." Rendra masuk ke mobilnya. "O, ya,...suaramu bagus!" pujinya.

"Terimakasih," ucap Galuh masih pura-pura tak mengerti kalau Rendra sering mencuri pandang ke bundanya.

"Terimaksih, Mas," ucap Gayatri denga mengingat dua kata yang diucapkan Rendra,...suaramu bagus!

Rendra pun melajukan mobilnya dengan tersenyum sendiri. Sebuah kebetulan, lirihnya.

"Galuh!"panggil Gayatri setelah mengunci pintunya.

Galuh menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Boleh Bunda tau, kenapa Rendra mengatakan, suaramu bagus?" tanya Gayatri dengan menyiapkan diri jika Galuh akan marah-marah seperti biasa. Namun yang terjadi malah sebaliknya, dia berbalik dan memeluk bundanya.

"Maafkan Galuh, Bund. Selama ini Galuh bersikap tidak baik kepada Bunda."

Gayatri yang terhanyut dengan perubahan sikap Galuh, membalas memeluk dan mengelus punggungnya. "Binda hanya ingin kita bisa menjadi teman. Kamu bisa bercerita tentang papun ke Bunda."

"Selama ini Galuh hanya bisa menyalahkan Bunda karena uang saku Galuh yang berkurang. Galuh tidak pernah tau kalau Bunda justru lebih menderita dampai berpuasa agar pengelaran kita tak banyak."

"Bukan begitu, Galuh. Auyah hanya sedang ada masalah sampai tidak bisa pulang. Setelah ini kita akan baik-baik saja," kata Gayatri berusaha menenangkan putrinya.

"Tidak ada yang baik-baik saja, Bund. Bahkan perempuan itu telah berani ke rumah kita."

Hati Gayatri tersayat. Ternyata apa yang ingin dia tutupi kini telah diketahui Galuh. Apa karena itu hinggah kini dia baik padaku? Ternyata di balik setiap ujian ada hikmahnya. Hanya saja kenapa ujian ini terasa berat untukku? Keluh Gayatri. Dia yang selama hidupnya hanya mengabdikan diri untuk suaminya dengan mengurus keluarganya, mengurus suaminya, kini bisakah menyisakan ruang lain untuk ditinggali seseorang selain dirinya di hati suaminya?

"Kamu belum menjawab pertanyaan Bunda soal kata-kata Rendra." Gayatri berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin anaknya tau tentang kesedihannya.

"Kak Rendra tadi ada di cafenya kak Aan saat Galuh bernyanyi," ucap Galuh menunduk.

"Jadi benar kamu menjadi penyanyi?"

"Anak-anak yang gabung di band sekolah ingin mengasah kepandaian mereka dalam bermusik. Kalau aku sih, pingin punya uang. Makanya kami manggung di cafe-cafe." Masih menunduk, Galuh menjelaskan kepada Gayatri. Dia takut bundanya akan marah. Namun ternyata Gayatri malah memeluknya.

"Maafkan Bunda, Nak,... maafkan, Bunda. Di usiamu yang belia kamu harus berfikir untuk bekerja."

Galuh yang tadi menunduk,  sesenggukan tak kuasa menahan tangis. "Kita akan lalui semua ini bersama, Bund. Ada aku dan Galing yang amat menyayangi Bunda."

Tak terasa airmata Gayatri pun ikut tumpah. "Kamu gantilah baju dan tidur. Jangan lupa sholat Isya'" ucap Gayatri kemudian.

Waktu telah menunjukkan angka sepuluh malam. Saat melewati ruang keluarga, Galing telah tertidur. Gayatri sendiri sampai belum sholat Isya' karena terlalu khawatir dengan Galuh yang tadi belum pulang.

Gayatri ke belakang mengambil air wudhu sambil membersihkan diri. Lalu masuk ke kamarnya hendak mengerjakan sholat. Mukena Gayatri sekarang memang di kamar. Dibukanya pelan pintu kamar. Saat itu Prayogi yang membuka kaosnya untuk mengganti kaos yang lebih dingin, kaget melihat Gayatri yang tiba-tiba saja masuk. Namun keterkejutan Gayatri lebih besar sampai membelalakkan matanya,melihat penampilan tubuh Prayogi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status