Share

Bab 7. Salahkah jatuh cinta padanya?

"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk.

"Bund." Galing memegang tangan Bundanya.

Gayatri menoleh, memandang lurus putranya.

"Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi."

"Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum."

"Sepertinya kepergian mereka ada kaitannya dengan seni, Bund. Aku lihat tadi Raksa membawa stik untuk menabuh drum." kata Galing lagi.

"Lalu apa yang dilakukan kakakmu jika berhubungan dengan seni?"

"Memang Bunda ghak tau kak Galuh pandai bernyanyi? Dia penyanyi band sekolah Galing, yang suka menjuarai berbagai perlombaaan antar sekolah."

"Maksud kamu, kak Galuh menjadi penyanyi begitu?" Gayatri menebak, sebentar dia teringat Galuh yang waktu kemarin pulang dengan bekas make up. Beda denga Galing, Galuh anaknya memang suka tertutup. Tak banyak cerita kepadanya. Entah apa dia cerita sama ayahnya mengingat kedekatan mereka selama ini.

"Oh, tidak, tidak, Ling. Bagaimana mungkin Galuh menjadi penyanyi? Nyanyi di mana dia? Pakai baju apa? Apa dia melepas jilbabnya?" berbagai pertanyaan bergayut di pikiran Gayatri, hinggah tak sadar azhan maghrib telah bergema.

"Galing mau ke masjid, Bund." pamit Galing namun Gayatri masih mematung. "Bund,.." panggil Galing lagi.

"Percaya Galing, kak Galuh tidak akan mengecewakan Bunda." kata Galing penuh dengan keyakinan menggenggam tangan bundanya. Saat mereka tau ayah mereka selingkuh tadi, mereka telah mengikat janji untuk menjadi anak yang membanggakan Bunda agar Bunda tak lagi bersedih dengan kelakuan ayahnya.

Gayatri manggut-manggut. Lalu menepuk bahu anaknya pelan sebelum anak itu menghilang dengan sepedanya di ujung gang.. Galing tak pernah mengatakan yang asalan selama ini. Mungkin benar yang dia katakan, saat ini Galuh tidak sedang dalam pergaulan yang tidak baik. Apalagi kata-kata Galing tentang Raksa, membuat Gayatri lebih tenang. Namun walau bagaimanapun dia harus tau apa yang dilakukan Galuh di luar. Jika ditanya baik-baik, Galuh juga selalu marah-marah. Diam-diam Gayatri menyesali kenapa dia tak belajar sepeda motor. Pikirnya, karena sepeda motor juga cuma satu yang dipakai suaminya itu, untuk apa juga belajar, toh sepeda motornya juga ghak ada di rumah selain dua hari sabtu dan minggu. Setidaknya jika dia bisa, dia akan mencari tau di mana keberadaan Galuh. Sedangkan untuk mencari dengan Prayogi, dia enggan berhubungan dengan orang itu setelah kejadian yang menimpa rumah tangga mereka.

Gayatri menghembuskan nafas panjang. Dia bertekad akan berjuang sendiri untuk anak-anaknya, walau mungkin penghasilan yang dia dapat nanti mungkin tak banyak. Termasuk menghadapi masalah anak perempuannya kini.

******

"Hey, gimana kabarmu? Lama ghak ketemu. Aku dengar konter handphone-mu bertambah di mall yang baru berdiri itu." kata-kata Alan tiba-tiba mengagetkan Rendra yang duduk di sudut, menikmati indahnya suara penyanyi yang kini menyanyikan lagu kesukaannya, Satu Rasa yang kini lagi booming.

"Menurut kamu gimana lagi?" katanya dengan mengangkat sebelah bahunya. Matanya yang hitam kelam, masih memandang penyanyi di depannya dengan tak berkedip. Wajah itu ada yang mengingatkan dia dengan seseorang namun kini masih samar.

Alan yang datang mengambil posisi dengan duduk di depan Rendar sambil menyamping turut memindai penyanyi walau maksud Alan memang lain, karena dialah pemilik cafe ini dan dia juga yang harus menilai group anak-anak itu layak apa tidak terus di tempatnya. Terlebih saat malam minggu seperti ini.

"Makanya nikah. Lihat aku. Sekarang jadi anteng setelah menikah." tepuk Alan di pundak Renda.

"Kamu sih enak, bisa dapatkan gadis yang kaucintai dengan mudah, sedang aku, jatuh cinta aja sulit banget. Sekalinya dapat yang menggetarkan hati, ternyata dia emak-emak."

"Buset kamu! Ceritanya naksir istri orang?"

"Mungkin saja, anaknya aja udah 14 tahun kata Bude, masak juga ghak punya suami?"

"Kali aja suaminya out." kata Alan sambil terkekeh.

"Do'a ghak bener kamu."

"Emang kalau out, kamu mau tuh janda punya anak perawan?"

Rendra tersenyum penuh arti. "Kalau dia, sih,.. mau aja. Habisnya, rasanya lain banget saat pertama tadi aku melihatnya, terlebih saat dia mendongakkan wajahnya, serasa ada yang copot di dadaku."

"Huh!" Alan memukul sahabatnya. "Tadi? Baru tadi melihatnya?" Alan ngakak.

Rendra mengangguk. "Bener, nih aku ghak ngobus. Aku sampai ghak bisa tidur siang kepikiran dia terus."

"Bener-bener nih kamu da gila!" kata Alan menyandarkan punggungnya di kursi. Lagu berganti kembali dengan lagu hits Tri Suaka dan teman-temannya, Merayu Tuhan.

"Ini lagu, kenapa makin bikin aku teringat aja sama istri orang itu."

"Buset! Istghfar kamu, Ren!" kata Alan lalu kembali ngakak melihat muka sahabatnya yang ngenes. "Emang cantik banget?"

"Cantik itu relatif, Lan. Yang menggetarkan hati itu yang jadi spesial." kata Rendra lalu menatap penyanyi di depan mereka. "Eit, apa aku udah gila apa gimana y, itu anak mirip banget dengan emak-emak itu."

"Kamu udah otak ghak bener, sampai-sampai bocil itu juga kamu rasa kayak dia. Jangan-jangan aku juga sama saat kamu lihat, mirip dengan dia!" Alan tertawa.

"Beneran, mirip. Emang kamu dapat dari mana dia?" pertanyaan Rendra sambil mengarahkan pandangannya ke gadis yang bernyanyi.

"Mereka band sekolah. Seharusnya malam minggu ini bukan mereka yang ngisi. Band yang seharusnya ngisi kabur. Yah, begitulah kalau sudah tenar, suka ghak datang dengan alasan ada aja."

"Tapi sambutan penonton bagus sama mereka ." kata Rendra dengan melihat tepukan dan antusias pengunjung cafe yang raa-rata masih anak muda. Mereka bahkan merekam dengan handphone-nya. Kali aja habis ini juga akan nongol di status wa mereka, atau di I*, Tik Tok,.. biasanya kan begitu kalau anak-anak muda, beda dengan aku, kelu Rendra. hal-hal seperti itu sudah ghak ada di kamusnya. Sudah lewat kedaluarsa.

"Bener, aku juga dari tadi perhatiin begitu. Suara anak itu bagus banget, Terlebih kalau lagi duet sama yang nabuh drum, lagu yang mereka bawakan hidup banget."

"Maksudnya?" tanya Rendra menautkan alisnya. Kebetulan mereka mulai beranjak duet lagu 'Masya Allah'.

"Gimana ghak hidup, lihat aja tatapan mesra mereka yang menghidupkan. Kayaknya mereka sejoli deh!"

"Bocil-bocil juga sejoli. Kalah deh yang tuaan gini."

"Jangan ngiri!" kata Alan sambil beranjak dari kursinya. "Aku tinggal duluh ngurus kerjaan aku, cafe mau tutup." ucapnya sambil menepuk bahu Rendra pelan.

Rendra masih betah duduk di sana, sekali lagi memandangi wajah cewek di atas panggung. Bukan karena ada getaran walau wajah mereka mirip. Sampai semua pergi, Rendra pun baru pergi. Dilajukan mobilnya untuk kembali ke rumahnya, namun karena teringat ada barangnya yang tertinggal di konternya, dia kembali ke mall untuk mengambil. Pegawainya yang baru tau barang Rendra ketinggalan, mengangsurkannya.

Rendra lalu kembali melajukan sedannya membela kota Gresik yang sudah agak sunyi, hinggah dia berhenti saat dari kejauhan seorang pemuda melambaikan tangan menyuruhnya berhenti. Melihat penampilan pemuda itu yang agak urakan dengan celananya yang sobek-sobek, antara ragu dan takut, Rendra pun keluar dari mobilnya seperti arahan pemuda itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status