Share

bab 5. Kerja.

"Apa? Kenapa kamu menjebakku?" tanya Prayogi dengan segera bangkit dari duduknya. Namun tangan Sasmita kembali meraihnya dan mendudukkannya di dekatnya.

"Kalau aku tidak mengatakan hamil, mungkinkah kamu akan menikahiku?" 

"Brengset kamu, Mita." maki Prayogi geram.

Namun perempuan itu malah memamerkan senyumnya. "Kamu kan ghak mungkin berhubungan dengan wanita yang tidak sah denganmu. Makanya aku membuatmu sah denganku agar kamu tak segan lagi bermesraan denganku."

 "Kamu telah enjebakku untuk kedua kalinya."

"Yang menikmati saat itu juga siapa? Kamu kan?"

"Itu karena obat yang kamu campur di minumanku."

Prayogi yang langganan warung di sebelah salon Sasmita setiap mengirim barang ke Mojokerto, tiba-tiba saja pusing. Lalu Sasmita menawari untuk tidur sebentar di salonnya yang telah tutup. Dia sudah lama megenal Sasmita yang sering membelikan pegawainya jajan atau sekedar minuman di waung sebelahnya. Hanya sekedar bercanda dan ngobrol biasa. Gayanya yang sopan tak terbersit ada niat yang tersembunyi dari perempuan cantik yang hanya tinggal sendiri di rumahnya yang besar  dan di pinggir jalan itu.

"Aku sudah lama mengagumimu, Mas," terdengar suaranya yang merdu di telinga Prayogi yang saat itu kesadarannya terkikis oleh pengaruh obat yang dimasukkan Sasmita saat mengajakknya ngobrol, sudah kelimpungan menahan hasratnya. 

"Ini tidak mungkin aku lakukan. Kamu bukan istriku," kata Prayogi begitu tersadar dan mendapati dirinya tergeletak memeluk tubuh Sasmita yang masih tanpa sehelei benang pun.

"Kalau begitu kita menikah saja, Mas."

"Aku telah memiliki istri."

"Aku bisa mengaturnya, Mas."

"Kamu jangan mimpi aku kan pergi dari istriku." Kata-kata itulah yang membuat Sasmita berusaha mengikat Prayogi dengan mengatakan dirinya hamil setelah mendatangi Prayogi di tempat kerjanya di Sidoarjo, hinggah Prayogi kemudian menikahinya.

"Sekali lagi kamu mendatangi rumahku, aku takkan segan,.."

"Kamu mau apa? Mau membunuhku?" tantang Sasmita sambil membuka kancing baju atasnya.

Prayogi yang merasa haus setelah lama tak menikmati kemesraan, terlebih dengan servis yang tak memuaskan dari Gayatri semalam, menelan ludahnya.

"Aku bisa tenang tak mengganggu keluargamu, Mas. Tapi kamu harus datang padaku. Jika tidak, aku bisa menghancurkan keluargamu itu," ancam Sasmita. "Aku hanya butuh belaianmu, Mas." ucapkan dengan merapatkan tubuhnya ke tubuh Prayogi, mencium bibir pria yang kini di hadapannya.

      ******

Gayatri masih mengayuh sepedanya, hinggah sampai di rumah gedung. Memarkir sepeda mininya di depan rumah bertuliskan Griya rias Ratna tersebut. Tulisan yang masih sama sejak Gayatri menjadi penghuni di perumahan itu. Walau kini Griya rias itu sudah berubah menjadi WO {Wedding Organiser), mengikuti perkembangan dunia rias pengantin.

"Assalamualikum!" kata Gayatri begitu melihat seorang ibu setengah baya menyiram tanamannya. Dialah bu Ratna, pemilik WO.

"Waalaikumussalam," jawab Ratna dengan meletakkan alat siramnya. "Gayatri ya? Aku di WA bu Ratih katanya kamu mau kerja di sini. Tadi aku pikir kamu ghak jadi datang karena sampai siang begini."

"Maaf, Bu. Tadi ada sedikit masalah."

"Ayo masuk, ibu ambilkan kamu minuman di kulkas. Kamu pasti kehausan dengan mengayuh sepeda sampai di sini. Lihat, keringatmu sampai kayak orang mandi begitu."

"Terimakasih, Bu." Gayatri masuk dengan canggung. Namun sikap manis Ratna meluntruhkan kecanggungannya.

"Ini ada sedikit kue, dimakan, ya."

"Terimakasih, Bu. Ghak usah repot-repot. Saya di sini kerja, bukan tamu."

"Ghak usah sungkan, anggap rumah sendiri," kata Ratna lalu membuka lemari pakaian yang berisikan baju pengantin setelah membiarkan Gayatri istirahat.

"Kamu harus mengenal duluh isi almari-alamari ini. Ini pakaian pengantinnya."  Lalu dia beralih yang almari yang lebih panjang dan besar. "Kalau yang ini untuk terima tamu, orangtua dan kerabat."

Gayatri mengangguk paham.

"Aku jelaskan semua ini biar nanti kamu gampang mengambilnya." Pandangan Ratna kemudian mengarah ke Gayatri. "Bener kamu mau kerja setengah hari di sini?"

"Bener, Bu,... saya bisa. Cuma nunggu anak-anak setelah berangkat sekolah saya ke sini. Soal pulangnya, jam satu atau dua. Sebelum anak-anak pulang, saya kan harus menyiapkan makanan untuk mereka."

"Alhamdulillah kalau begitu. Lagian kerjaannya juga ghak berat, kok. Cuma agak banyak kalau habis ada job. Selebihnya hanya menunggu barangkali ada custumer yang datang dan melayani mereka dengan baik."

Gayatri tersenyum mengangguk.

"Ok, mari ita mulai belajar kamu," kata Ratna sambil mengambil jarit, kebaya, dan kerudung terima tamu.

Ini yang akan kamu lakukan besuk setelah kru rias menyelesaikan riasannya," kata Ratna lalu memakai jarit, kebaya, dan terakhir, menaruh kerudung, memberinya peniti di bawa dagu, lalu menarik kedua ujungnya ke balakang. "Sekarang kerudungnya simpel, jadi gampang kamu pelajari," katanya mengulas senyum. Terakhir, dia meletakkan acsesoris di atasnya.

"Jadi deh bu Ratna terima tamunya," ucap Ratna sambil mengembangkan tangannya di cermin besar di depannya sambil terkekeh.

Gayatri yang memandangnya ikut tertawa kecil.

"Sampai di sini ada pertanyaan?"

"Masih belum, Bu," jawab Gayatri. Memiliki anak gadis memang tak membuatnya sulit. karena tiap hari Kartini atau ada keperluan tertentu dengan mengharuskan anaknya berdandan, dia yang mendandani anaknya sendiri. Lagi-lagi karena biaya. Dia tak mampu membawa anaknya ke perias.

"Kalau begitu, kita masukkan untuk besuk ke koper. Kamu boleh memakai buku itu kalau kamu takut lupa."

Gayatri kemudian memulai kerjanya dengan memulai dari baju pengantin yang ada tiga pasang. Membuka lemari panjang lalu mengambil baju terima tamu, baju ibu/bapak besan, dan terakhir baju sepasang kembar mayang, sesuai arahan Ratna.

"Berhenti sebentar, Tri. Capek," kata Ratna dengan menyelonjorkan kakinya. "Nanti kita lanjut ke baju keluarga."

"Yang bantuin biasanya siapa, Bu?"

"Mbak Tanti, ART. Tapi tidak secekatan kamu, suka bikin ibu pusing."

Gayatri tersenyum.

"Syukurlah kamu mau kerja sama saya. Lagian saya juga butuh teman. Serasa kesepian sendiri di rumah cuma dengan Tanti."

"Emang saya belum cukup menjadi teman?"

Ratna terkejut denga seseorag yang tiba tiba saja muncul dari belakang. Terlebih Gayatri yang tadi baru diceritai bu Ratna kalau dia hanya dengan Tanti.

"Dia Rendra, anak adik saya. Anaknya hanya dua. Sewaktu orangtunya membeli rumah di sebelah saya yang kebetulan dijual, dia katakan agar saya punya teman, karena anak-anak saya jauh semua. Kebetulan kerjanya dia dekat-dekat sini."

Gayatri tersenyum mengangguk saat Rendra, keponakan Ratna menyapanya dengan tersenyum.

"Saya pikir tadi tamu, Bude. Sampai saya menyelinap lewat belakang."

"Kamu kok tau aja ada orang cantik di sini."

Lelaki yang menyandarkan punggungnya di tembok dengan kaki disilang itu tertawa kecil. "Ya taulah Bude. Saya kan lelaki normal."

"Normal kok sampai 32 tahun masih jomblo."

"Belum ada jodoh aja, Bude."

"Jodoh itu dicari. Ghak didiemi aja. Nanti kalau ada yang nyarikan, katanya ghak menggetarkan jiwa."

Lagi-lagi Rendra terkekeh.

"Ini aja Gayatri, 33 tahun sudah punya anak gadis 14 tahun."

Rendra melototkan matanya kaget. "Lho, kirain masih gadis, ghak taunya emak-emak."

Gayatri tersenyum geli melihat reaksi Rendra.

"Kasihan deh, lho!" cibir Ratna. "Makanya cepet cari, ghak kirain emak-emak jadi gadis."

"Saya hanya menanti takdir yang menghadirkan wanita yang bisa menggetarkan hati saya," katanya sambil menatap Gayatri lekad, membuat Gayatri kikuk dibuatnya.

"Lalu sampai kapan? Sampai kamu tua? Sampai ubanan?" canda Ratna.

"Sampai kapanpun, Bude," katanya sambil menghadirkan senyum artinya kembali dengan sekilas untuk Gayatri.

"O, ya...nanti kamu jangan asing kalau kita sering bertemu," katanya ke Gayatri.

"Saya?" tanya Gayatri menunjuk tangannya ke dadanya.

"Kenapa begitu?" tanya Gayatri lagi setelah terdiam lama sambil memandang ke Ratna. Namun dia  hanya mendapatkan senyuman Ratna, sama seperti juga yang Rendra lakukan sebelum dia pergi. Sampai Gayatri bertanya-tanya maksud dari kata-kata itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status