“Saya minta maaf pada semua. Saya dalam keadaan gak sadar itu. Kasian Mbak Dinda. Ke mana dia?” tanya Bu Dokter sembari menitikkan air mata.Tampak penyesalan dari raut wajahnya dan Bu Teti sekilas memandang permata warna hijau di ujung liontin kalung yang dipakai oleh Bu Dokter. Wanita berumur separo abad ini kenal betul dengan permata tersebut.Bu Teti mengingat hal tersebut sampai Bu Lastri dan Bu Dokter beranjak pulang. Namun, belum juga bisa tahu jawabannya. Akhirnya, saat Gito hendak berpamitan antar Pak Kiai, wanita separuh baya ini baru bisa mengingat soal permata hijau.“Le, Ibu tadi liat permata hijau di liontin Bu Dokter barusan,”ujar Bu Teti pada anak semata wayangnya ini.“Emang kenapa, Bu?” tanya Gito sembari melihat Pak Kiai yang sudah menunggu di dekat motor.“Itu milik yang punya rumah kosong dekat warung Bu Hesti,” ungkap Bu Teti yang seketika membuat Gito terperanjat.“Hah! Kenapa ada di Bu Dokter? Entar kita bahas. Aku mau antar Pak Kiai dulu. Assalammu’alaikum,” k
“Permaisuriku. Akhirnya kita bisa bertemu. Kini tak ada lagi yang bisa menghalangi kita,” ucap sosok berbulu lebat lirih bersama embusan dinginnya udara pagi.“Siapa kamu? Lepaskan dia!” teriak Gito bersama Pak Kiai yang berjalan setengah berlari ke arah sosok tersebut.Sosok tersebut menghilang dan tubuh Dinda tergeletak di bawah pohon mangga. Gito melepas jaket lalu membopong tubuh wanita muda tersebut naik ke bentor yang telah dipesan dari semalam.“Saya pamit, Kiai. Assalammu’alaikum,” ucap Gito sembari menyalami Pak Kiai lalu segera naik ke bentor.“Wa’alaikummussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Disegerakan saja, Mas. Semoga ini jalan kalian.”“Aamiin. Insyaallah, Kiai.”Bentor pun meninggalkan lingkungan ponpes menuju panti asuhan. Selama perjalanan, Gito membisikkan ayat-ayat suci agar sang wanita yang telah berhasil membawa separuh jiwanya ini segera siuman.“Sayang, ada apalagi ini? Mas jadi khawatir dengan keselamatanmu,” ucap Gito sembari memeluk tubuh Dinda yang menggigil
Paaakk ... lariii ...!” teriak sang sopir sambil menyeret lengan sang bos.Pak Brahim segera tersadar langsung berlari ke arah mobil dan segera berlalu. Sepeninggal kedua pria, tampak di tengah air muncul kepala naga amat besar dengan mata membara dan lidah berapi menjulur yang gagal mendapat mangsa.“Kurang ajar, kau, Brahim!” Tiba-tiba kuncen Gunung Kemukus muncul di pinggir pantai tak jauh dari jilatan kepala naga yang membara. Pria renta ini sangat murka dengan kelakuan menyimpang sang murid. Gagal sudah memberi makan peliharaan Ratu Gunung. Kuncen tersebut sibuk putar otak agar mendapat darah suci anak hasil ritual.Sekilat cahaya tubuh pria renta ini lenyap. Hanya tersisa desiran angin bersama lenyapnya cahaya kehijauan mutiara serpihan sirip ajaib sang ratu.Berjarak tiga puluh kilometer dari pantai, mobil milik Pak Brahim telah sampai ke sebuah hutan kecil. Pria berkepala plontos ini meminta sang sopir memarkir mobil di pinggiran hutan. Setelah turun dari mobil, berdua dengan
“Kalo gitu, mending Mas Gito berbicara dengan polisi soal ini. Agar cepat terungkap penyebab kematiannya,” kata Bu Lastri sambil mulai meneteskan buliran bening dari kedua sudut mata.“Innalillahi wa’ innalillaihi raji’un, meski saya tak ingin mempercayainya dan berharap ini adalah salah mayat hanya karena kesamaan nama semata,” ucap Gito dengan raut muka sedih.Akhirnya, Bu Lastri mengajak Gito untuk berbicara dengan para polisi demi menjelaskan tentang kejadian sebenarnya. Mereka akhirnya telah duduk berhadapan dengan kedua polisi tersebut. Gito menyatakan kalau tak tahu jika Bu Dokter dalam pencarian selama seminggu.Pria muda ini menceritakan semua kejadian semalam kepada dua polisi tersebut. Polisi meminta kesediaan Bu Lastri dan Gito untuk datang ke kantor sebagai saksi dalam kasus meninggalnya Bu Dokter. Bu Lastri bersedia ikut bersama mobil polisi, sedangkan Gito akan datang setelah selesai urusan dari Pak Kiai.Kedua polisi pamit dengan mengajak Bu Lastri ikut serta dan Gito
“Emang kamu gak ngerasain bau segar ini?” tanya Bu Teti masih dengan menghidu sambil mendongak, seakan-akan ingin menghabiskan udara segar sebanyak-banyaknya.Gito hanya menggelengkan kepala dan tersenyum. Pria muda ini mendekati Bu Teti dengan menggandeng tangan Dinda lalu memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manis calon istrinya.“Alhamdulillah. Kalian udah mengikat diri, nih?” tanya Bu Teti sambil memperhatikan raut wajah keduanya.Dinda hanya tersipu malu mendengar pertanyaan dari calon mertuanya. Gito lalu menggenggamkan jemari Dinda ke sang ibu.“Bu, tolong titip dia, ya. Hanya restu Ibu yang kami minta,” ucap Gito sembari menunduk.Bu Teti dan Dinda tak bisa menahan haru mendengar ucapan Gito. Mereka menitikkan air mata. Wanita separuh baya ini menepuk-nepuk tangan Dinda lalu mencium kening wanita muda dan juga putranya.“Ibu berdoa untuk kebaikan kalian. Semoga Allah melancarkan segala urusan kalian.”“Aamiin,” ucap sejoli bersamaan dan tanpa sadar Gito merangkul Dinda
Namun, sepi tak berpenghuni. Bu Lastri sendirian. Wanita ini semakin cemas dan ketakutan. Dia hanya ingat satu nama.“Dindaaaa ...!”Bu Lastri hanya cemas akan keselamatan Dinda. Putri asuhnya yang selalu diselimuti kabut misteri. Feelingnya kuat bahwa kejadian ini adalah fatamorgana semata imbas dari misteri tersebut.“Astaghfirullah hal azhim ... audzubillah himinas syaiton nirojim!”Bu Lastri berteriak sekuat tenaga. Dia harus segera kembali ke kehidupan normal. Wanita ini berlari mengelilingi semua ruangan panti asuhan. Kemudian, wanita separuh baya tersebut dengan berurai air mata keluar menuju halaman depan. Kakinya tersandung di tangga teras.Bu Lastri dengan berjalan tertatih-tatih sambil meringis menahan sakit memaksakan diri menuju halaman belakang. Sepi. Pendengarannya lebih fokus dan tetap tak ada suara apa pun. Semua makhluk menghilang. Wanita separuh baya ini sendirian.“Ya Allah! Apa yang terjadiii? Pada ke mana semua?”Wanita ini semakin terisak-isak, memandang sekelil
“Aku adalah malaikat pelindungmu dari kau bayi. Dan aku mengingin kau jadi permaisuri,” jawab sosok tersebut.Dinda tak mampu melihat sosoknya, tapi bisa merasakan bibir dan tubuhnya disentuh oleh sosok tanpa wujud tersebut.“Hentikan! Pergilah!” teriak Dinda yang seketika membangunkan santriwati di kamar sebelah.Santriwati yang mendengar jeritan tersebut mengucek-kucek kedua mata yang masih lengket. Dengan baca bismillah, dia memakai jilbab lalu bangkit dari ranjang. Santriwati ini menekan saklar untuk menyalakan lampu. Tampak jam di dinding menunjukkan 12 malam. Dia membuka pintu lalu berjalan menghampiri kamar Dinda. ‘Tok tok tok!’“Mbak Dinda ...!”Santriwati tersebut berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil nama penghuni kamar. Namun, Dinda tak menyahut maupun membuka pintu. Bahkan, jeritan Dinda semakin kencang, hingga penghuni kamar yang lain ikut terbangun.Mereka berbondong-bondong mendatangi kamar Dinda. Dua orang santriwati berinisiatif memanggil ibu pengasuh mereka. Beb
Mereka pun berpisah jalan, rombongan Pak Kiai menuju masjid, sedangkan Ibu Asrama kembali ke belakang langsung menuju musala.••°••°•°••Sehabis Salat ZuhurTerjadi hal mengejutkan dari di halaman masjid. Meja yang dipakai oleh Pak Kiai untuk meletakkan kantung plastik berisi sabun, tiba-tiba terbakar. Asap pembakaran tersebut beraroma wangi kasturi lalu dalam sekejap berbau anyir darah dan busuk bangkai. Bau tak sedap tersebut menguar memenuhi seluruh halaman ponpes bahkan sampai ke belakang, di tempat asrama putri. Pak Kiai segera meminta salah satu santri menyampaikan imbauan ke seluruh penghuni ponpes untuk segera memakai masker.Salah seorang pengurus ponpes segera memberikan masker ke pengasuh asrama. Dalam hitungan menit, seluruh penghuni ponpes telah memakai masker. Pak Kiai segera mengirim pesan ke Ibu Asrama memintanya untuk melakukan rukiah bagi Dinda.Akhirnya para penghuni asrama putri seketika berkumpul di musala. Bu Asrama bersama pengurus yang lain telah bersiap un