Sapiku memang yang dipotong hanya satu, akan tetapi sebenarnya aku merelakan dua sapi. Karena sesuai perjanjian, setengah untuk aku setengah lagi untuk yang pelihara. Karena aku ambil satu untuk dipotong, yang urus selama ini juga ambil satu. Kini sapiku tinggal tiga. Samson yang dipotong, tinggal Herkules dan dua sapi betina.Aku masih di desa, urusan kuliah kutinggal untuk sementara, Wulan juga terus ikut aku. Beberapa relawan masih di desa. Relawan dari remaja mesjid yang paling banyak membantu. Mesjid dan kantor desa mereka bersihkan.Mamak juga mulai melobi dinas sosial dari propinsi untuk mendapatkan bantuan buat warga, sebagai mantan wakil bupati mamak masih punya koneksi di pemerintahan.Empat hari pasca bencana, desa sudah bersih dari lumpur dan sudah kering dari banjir. Kendaraan roda dua banyak yang rusak karena terendam banjir. Bang Torkis datang, dia membawa bantuan satu truk bahan makanan dan pakaian. Om Firman juga datang, dia membawa telur bebek satu truk kecil. Pada
Bang Sandy datang, tidak seperti biasanya yang selalu gerak cepat, ini seminggu setelah banjir baru dia datang. Ternyata mereka juga kena dampak banjir. Tidak sempat menyelamatkan isi rumah karena mereka mengungsi. Umar juga datang , dia juga ternyata sangat sibuk mengatur lalu lintas yang macet parah karena banjir. Sementara ayah' dan mamak seperti masih kurang semangat, akan tetapi sepertinya mereka berusaha tampak biasa saja di depan orang. Kami punya anggota keluarga baru, yaitu Udin, dia sangat setia mengikuti ayah ke mama saja, ke kebun ikut, ke pesantren ikut, bahkan ke mesjid pun selalu ikut. Akan tetapi belakangan ini Udin sering pergi sendiri, karena kata ayah, capek diikuti Udin terus.Kata mamak dari luar Udin seperti orang kebanyakan, biasa saja, akan tetapi jika dia bicara baru ketahuan, dia memang keterbelakangan mental. Tidak parah memang. Tapi dia tidak tahu cari uang, tidak tahu bekerja, yang dia tahu ikuti orang saja. Entah keterbelakangan jenis apa ini. Dia h
PoV Nia Ucok dan Bang Parlin pergi mencari Rahman, entah apa yang akan mereka lakukan pada lajang tua tersebut. Aku sebenarnya tidak heran, karena dari dulu sudah beredar gosip Rahman seperti itu. Aku jadi khawatir dengan Bang Parlin yang masih merasa bersalah. Takut emosinya tak stabil hingga melukai orang. Aku juga sebenarnya merasa bersalah sekali, aku masih ingat ucapanku tersebut, akan tetapi aku kemudian sadar, semuanya itu sudah takdir Allah. Kuambil HP, lalu menghubungi Bang Parlin."Bang, jangan hukum orang karena berpenyakit, kelainan menyimpang itu penyakit, bukan kejahatan," kataku kemudian."Iya, Dek, terima kasih sudah mengingatkan," jawab Bang Parlin."Kok berterima kasih, Bang?""Jadi Abang harus apa?" Entahlah, aku juga tidak tahu harus bilang apa, akan tetapi ucapan terima kasih itu seakan menyindirku yang jarang berterima kasih, atau memang aku yang masih sensitif."Bang, sudah di mana?" tanyaku kemudian."Ini, kami sudah bertemu Rahman," kata Bang Parlin."In
Aku dapat pekerjaan, ini seperti kembali' ke masa dulu, padahal sudah lama aku menikmati hidup tanpa memikirkan pekerjaan. Kali ini aku harus turun tangan, menteri sosial mau datang, Aku tentunya tak ingin sambutan untuknya kurang meriah.Kebetulan Butet dan Ucok masih di rumah, kami bekerja bersama, Bang Parlin mengurusi tenda dan panggung. Butet melatih anak-anak menyambut pejabat. Aku mengurus konsumsi. Saleh jadi andalan membuat kue. Sedangkan Ucok mengurus menghias desa.Dana penyambutan ternyata cukup banyak juga, cukup untuk segala keperluan, para pemuda dan pemudi desa dilibatkan. Sapi bantuan juga sudah mulai datang, penyerahan secara simbolis akan dilakukan oleh menteri sosial. Desa kami jadi ramai, sampai malam jam sepuluh sudah selesai semua. Saat pekerjaan sudah selesai datang serombongan pria berbaju loreng khas ormas. "Kami siap membantu keamanan, akan kami jaga panggung ini malam ini," kata seorang di antaranya. Bukan lagi Gulmat. Mungkin ini dari kota kabupaten."
Kulihat Bu menteri sampai bertepuk tangan menyaksikan Bang Parlin menjinakkan sapi. Bupati ikut bertepuk tangan. Para hadirin pun bertepuk tangan semua.Acara lanjut lagi, pemberian tali asih kepada keluarga korban yang meninggal. Aku tak sanggup melihat seorang pria yang istri dan dua anaknya tewas. Dia menangis, setelah menerima amplop dari Bu Menteri, Pria itu justru menghambur memeluk Bang Parlin yang berdiri di belakang Bu Menteri."Bang, Parlinn," katanya sambil terisak-isak.Bu menteri sampai ikut meneteskan air mata, Bang Parlin menepuk-nepuk pundak pria tersebut."Andaikan aku menuruti kata-kata Bang Parlin, ya, Allah," kata pria itu sambil sesunggukan."Sudah, sudah, semuanya sudah takdir Allah, kamu tidak salah, kamu benar, berjuang menyelamatkan keluarga, tapi apa boleh buat, Allah berkehendak lain, percayalah, kita dinilai Allah dari niatnya, kamu sudah berniat menyelematkan keluarga," Kata Bang Parlin seraya menepuk-nepuk punggung pria tersebut.Pria itu lalu dituntun Ba
Benar juga prediksi Bang Parlin, setelah banjir besar, ikan di sungai kembali normal. Kami makan siang di pinggir sungai. Ini acara tak terduga, semua karyawan kebun ikut. Bermula dari panen mulai pagi, siangnya sudah melangsir sawit. Saat mau makan siang, para supir truk dan kernetnya ternyata mau ikut makan, tentu saja lauknya kurang. Jadilah Bang Parlin dapat ide, makan di pinggir sungai kali ini. Setelah tidak ada kegiatan Bang Parlin memang sering merawat sungai itu. Ada bubuh dipasang Bang Parlin. Bubuh adalah perangkat ikan yang terbuat dari bambu. Dikasih umpan dan diletakkan di dasar sungai. Ini seperti pesta saja, ada sekitar dua puluh orang, memang rejekinya mereka, bubuh pun dapat banyak ikan. Cara masaknya sederhana saja, ikan dibersihkan lalu dipanggang di pinggir sungai. Bumbunya pun sederhana saja, hanya cabe, garam dan kecap. Akan tetapi terasa nikmat sekali. Para Bapak-bapak supir ambil petai china untuk lalapan."Buat restoran aja sini, Bu, menunya ikan sungai
Lama kutunggu jawaban Bang Parllin, akan tetapi dia tetap diam, matanya lurus melihat ke langit-langit kamar. Keningnya berkerut, seperti ada yang dia pikirkan."Manopause itu apa, Dek?" tanyanya kemudian."Ya, ampun, sampai satu menit aku tunggu jawaban Abang, justru gak tau apa yang dibahas," kataku sedikit kesal."Abang lagi berpikir apa itu manopause, seperti pernah dengar tapi lupa apa artinya,""Abang dengar dari mana?""Itulah yang Abang lupa itu, Dek," "Manopause itu, Bang, di mana seorang wanita tidak lagi datang bulan, tidak lagi bisa hamil, tidak lagi... basah," kataku kemudian."Oh, gitu,""Iya, Bang, mulai saat ini Aku tak bisa layani Abang lagi, gak ada lagi naik jabatan, hak ada lagi mendaki gunung, gak ada lagi garap sawah," kataku."Waduh!""Itulah, Bang, sekarang aku tidur dulu," kataku sambil berbalik.Entah kenapa aku jadi mudah tersinggung, kurang menikmati hubungan dengan suami. Ini mungkin gejala-gejala manopause. Entah bagaimana dengan suamiku selanjutnya, sem
"Kami ke kota dulu, Bang," Aku permisi pada Bang Parlin pagi itu."Ngapain?""Urusan ibu-ibu,""Oh, paling belanja, yuk kuantar," kata Bang Parlin lagi."Gak usah, Bang, kami pergi sendiri,""Lo, mau ngapain, dicurigai ini," Bang Parta ikut bicara."Pokoknya urusan emak-emak, bapak-bapak di rumah dulu," kata Rina."Ah, gak beres nih emak-emak setengah abat," Kata Bang Parta sambil tertawa."Udah, aku yang antar," kata Bang Parta lagi."*Gak usah, aku bisa nyetir sendiri kok," Kak Sofie ikut bicara."Lo, makin mencurigakan ini, selama ini kan kita selalu pergi berdua?" kata Bang Parta kemudian.Aduh, bagaimana lagi harus kubilang biar para Siregar ini percaya. Akhirnya aku tarik Bang Parlin menjauh."Bang, kami ke kota mau bawa kakak berobat, ini penyakit perempuan, bapak-bapak gak usah ikut dulu," kataku."Ah, kamu pun Dek, ikut-ikutan aneh, jika seorang istri sakit, tentu suaminya yang paling tahu, dia yang bawa berobat, bukan adik iparnya," kata Bang Parlin."Aduh, gimana ya bila