“Wooaah, mimpi apa aku barusan, menyebalkan sekali, bisa-bisanya aku dikejar naga.” Nuwa bangun dari tidur dengan napas tersengal-sengal. Sebelum tidur tadi dia mencoba membaca buku yang betul-betul bertuliskan bahasa full arab tanpa translate sama sekali, tanpa petunjuk tanpa harakat. Tugas dari Syeikh Dayyan, untuk besok diceritakan kembali. Namun, imajinasi Nuwa malah melayang bebas. Buku tak terbaca, ia pun mengkhayal menjadi dewi yang memimpin perang sambil terbang ke sana sini, melawan naga. Tak menang, dia yang hampir ditelan oleh naga. Wanita itu tak bisa tidur lagi. Matanya kemudian memandang kalender di depan mata. Teringat Nuwa perpisahannya dengan Kai sudah satu tahun jika menggunakan kalender masehi. Satu tahun sudah pula ia kehilangan bayi dalam kandungannya. Namun, sampai sekarang ia belum berminat sama sekali untuk membentuk sebuah keluarga baru. Padahal banyak pinangan datang dan pergi. “Satu tahun lalu, Kai. Kau dulu pernah bilang bahwa tujuh tahun waktu yang dibu
Kai, dia yang menjagaku sejak aku kehilangan orang tua juga dua kakakku. Di usia tujuh tahun tepatnya aku menjadi yatim piatu. Aku dipaksa menyaksikan eksekusi mati keluargaku dengan cara ditembak mati. Tentu saja atas tuduhan pemberontakan yang tak pernah kami lakukan. Hanya aku yang disisakan hidup. Kata tentara biadab itu, karena mataku indah dan suatu hari nanti aku pasti akan jadi gadis yang cantik. Aku tak paham apa maknanya, dan ternyata dia ingin menjadikanku pelacurnya. Sejak saat itulah aku kerap menangis. Aku lapar dan haus, lalu Kai muncul dan memberikanku jatah makannya, dibagi dua denganku. Selalu seperti itu. Suku kami tidak ada yang kaya lagi, semuanya miskin, bahasa menyedihkannya kami adalah orang yang layak diberikan sedekah dan zakat. Perlahan-lahan kesedihanku memudar. Aku harus bangkit.Aku berniat tidak boleh terus-menerus menyusahkan Kai, di mana waktu itu dia sudah menjadi pelatih wing chun. Yang aku dengar, dia orang hebat dan kuat. Sejak saat itu aku menc
“Kenapa dia, dari tadi senyum-senyum sendiri. Dipikir dia handsome kalau begitu? Tidak!” Nuwa menggebrak meja. Semua mata tertuju padanya, termasuk Dayyan yang sedang asyik membaca cerita tentang dia.“Lanjutkan membaca halaman selanjutnya,” ucap Syeikh Dayyan pada yang lain. “Eh, tumben tidak marah denganku, padahal aku sedang butuh pelampiasan,” gumam Nuwa perlahan. Dia buka buku dan lanjut baca walau terbata-bata. Dayyan sendiri membalik halaman berikutnya. Dalam waktu tiga tahun menunggu itu. Aku belajar seperti apa katanya. Terkadang aku curi-curi waktu hanya agar bisa bertemu dengannya. Tiga tahun yang sangat lama. Aku kerja apa saja membantu tetangga, bibi, paman, atau yang bisa dikerjakan untuk bisa mengisi perut. Walau Kai memang membagi dua hasil kerjanya padaku tapi tetap saja aku malu menerimanya begitu saja.Ramadhan, syawal, dzulhijjah, terasa sangat hambar tanpa perayaan sama sekali. Hanya kebersamaan sederhana yang kami lewati dengan hangat. Hingga tak terasa akhirny
Lalu aku diam, tak tahu harus bilang apa lagi. Mengajak dia berduel, sudah jelas aku yang akan kalah. “Ya, sudah aku temui tentara tadi saja. Aku akan katakan kalau kita belum menikah.” “Kau jangan gila, Nuwa.” Dia menahan tanganku. “Sedikit,” jawabku sambil tersenyum. “Aku hanya menawarkan pilihan terbaik padamu. Kalau kau denganku kau hanya akan menjadi istri seorang pengurus kuda.” “Aku tak peduli.” “Cobalah berpikir sebentar, kau ini tak sabaran jadi orang.” “Memang! Aku bilang iya artinya iya. Aku tak akan menikah kalau tidak denganmu, titik!” Kai terlihat memijit kepalanya. Apa perkataanku ada yang salah? Rasanya tidak. Terus dia masuk ke dalam rumahnya, keluar membawa sesuatu. “Ini baju adat suku kita saat akan menikah. Cukup lama aku mengumpulkan uang agar bisa membuatnya. Semoga ini cocok untukmu. Kalau memang tidak ada keraguan di hatimu selepas Isya datanglah kemari. Akan aku selenggarakan pesta pernikahan walau hanya sederhana. Tapi kalau kau tidak datang aku meng
Usai pulang dari masjid untuk Shalat Isya berjama’ah bersama Bhani dan Bhira, Dayyan ingin membaca kelanjutan cerita Nuwa tadi. Namun putri kecilnya datang dan ikut tidur di pangkuannya. Sampai Bhira terlelap baru ia lanjutkan membaca perjalanan hidup salah satu muridnya yang unik luar biasa. “Ayah, besok siang aku sudah mulai latihan lagi bersama Guru Nuwa,” ucap Bhani ketika melewati kamar ayahnya. “Oh, iya, ada yang harus dibawa ke sana?” “Tidak ada. Aku ikut bersama Bibi Maira saja.” “Tidak usah, besok sepulang mengajar Ayah antar ke sana langsung. Tunggu saja di depan sekolah,” jawab Dayyan. Lelaki itu menebak mungkin Nuwa belum tahu Bhani anak siapa, atau tahu tapi tak ikut campur antara perkara ayah dan anak. Namun, entahlah, isi kepala Nuwa sulit sekali ditebak. Dulu Dayyan sempat mengira kalau Nuwa pembawaannya serius seperti kayu lurus, ternyata … tak bisa dipercaya orangnya absurd juga. Sudah tenang semua sudah tidur, Dayyan mencari sampai di lembaran mana cerita tadi
“Oooh, kau, aku kikis kepala botakmu baru kau tahu.” Aku ingin maju, tapi Kai menahanku. “Jangan marah-marah Nuwa. Anggap saja tong kosong nyaring bunyinya.” “Tong sampah masih lebih baik daripada dia. Benci sekali aku melihat si tua ini.”“Sudah, lebih baik kita mandikan kuda-kuda ini. Siang nanti kita pulang.” Kai memang selalu bisa menenangkanku. Waktu berjalan terus dengan hanya kami berdua saja. Perlahan-lahan aku bisa menunggang dan membawa kuda berlari kencang. Terkadang demi menghindari keributan dengan tentara Xin Hua kami pulang pergi lewat hutan, cari jalan aman. Hidup berdua dalam himpitan ekonomi yang kadang Tuan Wong jika tidak senang hati, akan membayar gaji kami berdua sangat sedikit. Sering pula kami mencari sayuran liar ketika di pekarangan belakang sudah habis. Apa saja asal kami masih bersama. Latihan yang diberikan Kai memberikan hasil luar biasa pada tubuhku. Pernah Kai minta maaf padaku. Aku pikir kenapa, rupanya dia ingin menguji daya tahan otot di perutku
Bagian terbaik dalam hidupku di sini adalah, ketika menyelamatkan anak-anak itu dari penjara bedebah sialan anak buah Xia He. Karena setelahnya aku merasa hidupku jadi berbeda. Orang-orang mulai mengenalku, tapi aku tidak mengenal banyak orang. Kendala bahasa menjadi penyebab. Juga cara bicara orang di sini sangat keras, seperti marah-marah setiap hari. Hei, menurutku pribadi itu seperti menakut-nakuti orang. Sudahlah yang lelakinya di sini badannya besar-besar. Khalid si pegulat itu salah satunya. Eh, tapi dia kalah denganku yang kecil, kurus, kerempeng, dan seperti kekurangan gizi ini.“Hah, dia mengalahkan pegulat. Kenapa aku tidak tahu berita ini? Luar biasa. Apa yang kau makan setiap hari. Makan batu atau kayu?” gumam Dayyan melanjutkan baca cerita salah satu muridnya. Aku masih mengurus kandang kuda. Ya, aku tidak mahir urusan lain, karena dari dulu sudah putus sekolah. Sampai akhirnya Kak Maira datang dan membawa tiga orang anak lelaki yang masih kecil tapi sudah kelihatan ba
Ternyata tidak hanya di dunia nyata orangnya aneh, tapi di dalam mimpi pun sama juga. Pernah Nuwa datang sebagai panglima pasukan perang yang anak buahnya wortel semua. Sebagai bentuk Dayyan menghargai kegigihan Nuwa dalam menulis olehnya diberi nilai C, daripada D. Besok paginya. Dayyan membagikan buku satu demi satu kepada mereka. Sudah diberi nilai dan Nuwa bersorak sendirian. “Waahh, tinggi nilaiku C. Akhirnyaaaa.” Senang sekali wanita itu dapat vitamin C. “Yang tinggi itu nilai A dan B, bukan C. Kau paham?” tanya Dayyan. “Tidak. Yang penting dinilai. Selesai.” “Baik, sebelum kelas dimulai, ada beberapa kata yang harus aku sampaikan pada kalian, sebuah nasehat untuk kita semua sebenarnya.” Dayyan menghela napas sejenak. “Dalam hidup ini setiap yang bernyawa pasti akan mati. Wajar sebagai manusia kita bersedih, menangis pun boleh, yang tidak boleh itu meratap sampai menyalahkan takdir. Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-hambanya.” “Apakah dia sedang berkata tenta