Dayyan sedang membersihkan senapan laras panjangnya sembari mengawasi dua anaknya belajar. Bhira tidak bisa jauh-jauh dari ayahnya. Anak gadis itu bahkan duduk di pangkuan ayahnya sampai tertidur. Satu tahun lebih sudah dua anak Dayyan tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Banyak memang yang menawarkan diri. Namun, kali ini Dayyan ingin memilih sendiri, bukan dijodohkan seperti dulu saat bersama Feme. Ketika Bhira sudah tertidur lelap, ada pesan masuk ke ponsel Dayyan. [Kapten, ada pergerakan aneh di dekat rumah Nuwa.] Laporan selesai. [Selidiki dan tangkap kalau ada yang aneh] balas ayah Bhani. [Masalahnya yang aneh itu Nuwa sendiri, Kapten] [Anehnya di mana?] [Dia banyak mengikat selendang di tiang-tiang tempat latihan. Aku takut dia bunuh diri] [Ya cegah kalau begitu] [Tapi kita tidak boleh mendekat?] Dayyan memejamkan mata membaca pesan dari bawahannya dulu, sebab mereka juga dulu takut dengan Nuwa. “Jangan-jangan dia benar mau gantung diri lagi. Ah, tidak bis
Tak fokus Dayyan menyetir mobil pulang ke rumah. Kadang salah belok, kadang ingin menabrak sesuatu, kadang begini, kadang begitu. Bayangan aurat Nuwa masih berputar-putar di wajahnya. “Astaghfirullahhalladzim. Ya Allah, harusnya aku tundukkan pandangan tadi, bukan aku lihat sampai selesai. Aku yang salah di sini, bukan dia.” Ayah Bhani menarik napas panjang berusaha meredam debar jantungnya yang kian menjadi. Sejak kecil ia sudah diberi tahu batasan antara lelaki dan perempuan. Bahkan pendidikan di Syam dengan jelas memisahkan ruang antara perempuan dan lelaki. Kecuali pengajar lelaki yang diperbolehkan mengajar perempuan, pun tak banyak, dia salah satunya.Jika di rumah, Dayyan hanya melihat bagian tubuh saudari perempuan dan ibunya sebatas rambut, wajah, leher, tangan sampai siku dan kaki tak sampai betis. Baju pun longgar sekali. Di dalam kamar ia tidak tahu bagaimana para saudarinya karena oleh Ali ada larangan masuk kamar tanpa salam. Lalu aurat perempuan yang bukan mahrom yan
“Terlambat lagi, katanya harus disipilin, tak bisa dipegang memang perkataan syeikh satu ini.” Nuwa menekan kata syeikh dengan giginya yang rapat. “Biarlah terlambat, Nuwa. Aku sedang malas belajar, nilaiku tak naik-naik dari B, B teruuuus sepertinya sampai kelas ini berakhir,” ucap Anjali. Satu geng itu duduk di depan kelas, sudah lima belas menit yang lalu harusnya Dayyan datang. “Masih bagus dikasih nilai B, aku C terooos sepertinya sampai kiamat,” gerutu Nuwa. Dayyan memang pelit membeli nilai. “Nuwa,” panggil Padma, gadis Nepal itu selain belajar bahasa arab dia juga belajar bahasa Inggris. “Six pack itu apa?” tanyanya yang masih polos. “Ha ha ha, kenapa kau bertanya hal seperti itu?” Lirikan mata Nuwa agak lain. “Di buku disebutkan kalau dulu Rasul dan para sahabat bentuk tubuhnya six pack, kau kan paling lancar bahasa Inggris, bisa tidak berikan ilustrasinya padaku.” “Six enam, pack kotak, enam kotak kalau lurus saja kau artikan, tapi … arti yang sebenarnya adalah perut l
Kelas berlangsung sangat sunyi dan sepi. Sejak masuk tadi Dayyan hanya meminta para siswi membaca halaman lanjutan saja. Iya, kelas memang tenang tapi tidak dengan hati lelaki bermata abu-abu itu. Setiap pergerakan Nuwa kini menjadi salah di matanya, tapi dia tidak berani menegur, takut kelepasan dan jujur di depan banyak orang. ‘Kenapa dia, ya, hening sekali hari ini?’ tanya Nuwa dalam hati. Terkadang ia melihat lelaki itu melirik ke arahnya. Namun, segera memalingkan pandangan. ‘Apakah aku salah pakai baju hari ini, atau aku tak usah pakai baju saja, ahahaha, astaghfirullahhaladzim.’ Ngucap Nuwa dalan hatinya. Lalu ia tak sengaja menjatuhkan kitabnya yang tebal. Biasanya apa pun yang wanita Suku Mui itu lakukan selalu saja salah di mata Syeikh killer tersebut, sampai naik emosi Nuwa setiap hari. Namun, hari ini benar-benar tenang suasana. “Tumben tak marah-marah beliau, biasanya jangankan aku menjatuhkan kitab. Bernapas saja aku salah,” gumam wanita itu perlahan. Iseng, Nuwa ja
Kelas akan berakhir sebentar lagi. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk memberikan ceramah tujuh menit khusus untuk akhwat yang hadir. “Dengarkan semua baik-baik,” ucap Dayyan walau debar jantungnya masih belum bisa diajak kompromi. Apalagi Nuwa pindah duduk dekat gerombolan Anjali. Mereka berdua jadi berhadap-hadapan langsung. “Ehm, begini, kita semua tahu bagaimana batasan aurat perempuan dalam Islam. Semua bagian kecuali dua telapak tangan dan wajah. Namun, demi menghindari fitnah lebih besar yang bisa jadi para perempuan juga tidak sadar, oleh pemerintah diminta menggunakan cadar dan sarung tangan.” “Na’am Syeikh,” jawab semua siswi bersamaan termasuk Nuwa. “Jangan asal-asalan memperlihatkan aurat kalian di depan lelaki yang bukan mahrom. Khawatir ada tindak kejahatan yang tidak bisa dicegah. Bukan berarti membenarkan tindak pelecehan, tentu saja ada hukuman jika naud’zubillah misalnya sampai terjadi.” Dayyan merasa dia tak pantas, memberikan ceramah itu, karena dia sendiri me
Nuwa, perempuan Suku Mui yang dilahirkan dengan marga Wei. Darah penduduk desa itu percampuran antara orang Xin Hua dan Arab yang sejak ribuan tahun lalu memang sudah ada. Sebab itulah mereka memiliki kulit putih pucat dan mata besar. Nuwa yang menikah di usia 15 tahun dan sekarang baru saja menginjak angka 21 tahun tergolong masih sangat muda belia memang menjadi janda. Namun, apa daya ketika umur Fu Kai memang tidak panjang. Hanya lima tahun saja mereka menjadi sepasang suami istri tanpa keturunan. Lalu darah yang masih sangat muda dan telah merasakan manisnya pernikahan serta mendapatkan suami yang sangat baik dan peduli dengannya, terkadang membuat Nuwa tersiksa juga. Dia adalah perempuan yang ditakdirkan terlahir dengan memiliki tenaga dan energi yang lebih dari yang lain. Ditambah latihan yang keras sejak kecil pula. Ketika gelora datang pada malam hari di Syam, Nuwa selalu saja bingung. Di Syam memang siang hari ketika musim panas sangat panas. Namun, di malam hari angin yan
Minggu pagi yang cerah, memang saatnya wanita bermata besar itu beristirahat dari melatih anak-anak juga kursus bahasa Arab yang mulai menjemukan. Seharian ia hanya tidur-tiduran saja di dalam rumah. Ingin keluar hari panas bukan main. Namun, pintu rumahnya diketuk beberapa orang sepertinya. Ia pun lekas ambil baju panjang, khimar serta cadar. Ingat pesan Syeikh killer ketika melangkahkan kaki ke luar rumah harus tutup aurat. “Oh, kalian, aku pikir siapa. Ada apa, rindu denganku?” Nuwa mempersilakan masuk Anjali, Fani, serta padma. Tak ada kabar mereka mau datang, alhasil Nuwa hanya suguhkan makanan pagi tadi. “Wah, Nuwa, enak juga masakanmu, ya, rasanya di sini tidak ada orang yang rajin sepertimu, memotong wortel dan lobak sampai kurus-kurus begini.” Fani makan, tapi ia tak mau pakai sumpit, seperti Nuwa. “Oh, iya jelas, aku kan, cantik, penyabar, dan pintar masak.” Nuwa mengambil sayur pakai sumpit, tiga temannya heran. “Siapa yang bilang begitu, Nuwa?” tanya Anjali. Cantik, p
“Wah, banyak juga jadinya,” ucap Nuwa ketika membuka adonan bakpao yang telah ia diamkan dan tidak ajak bicara selama satu jam. Isian sayur dan daging ayam telah selesai ditumis oleh Nuwa. Lalu diambilnya tepung yang telah ia pukul-pukul lagi itu, diisi sayur sedikit demi sedikit sampai adonan habis. Jadilah 40 bulatan bakpao yang sudah mulai dikukus mana yang mengembang sempurna. “Jadi, untuk Rizki, Farhan, dan Bhani, ada 40 bakpao. Paling aku hanya makan lima saja, 35 bagi tiga.” Nuwa kemudian membagi menjadi tiga tempat. Untuk rumah Maira 10, untuk rumah Naima 10. “Eh, tunggu dulu, berarti aku harus ke rumah Bhani, yang artinya rumah Syeihk. Eh, tambah jadilah gibah tentang kami. Aduh, gimana, ya, mana sudah janji. Kalau dimakan siang, nanti ketahuan murid-murid yang lain tak enak hatiku jadinya.” “Oh, begini saja, antar ke rumah Bibi Gu, ah tidak, udah biasa panggil Mufei, terserahlah, antar ke sana saja, lagi pula aku tidak tahu rumah Bhani di mana. Capek kali aku disuruh car