Kelas berlangsung sangat sunyi dan sepi. Sejak masuk tadi Dayyan hanya meminta para siswi membaca halaman lanjutan saja. Iya, kelas memang tenang tapi tidak dengan hati lelaki bermata abu-abu itu. Setiap pergerakan Nuwa kini menjadi salah di matanya, tapi dia tidak berani menegur, takut kelepasan dan jujur di depan banyak orang. ‘Kenapa dia, ya, hening sekali hari ini?’ tanya Nuwa dalam hati. Terkadang ia melihat lelaki itu melirik ke arahnya. Namun, segera memalingkan pandangan. ‘Apakah aku salah pakai baju hari ini, atau aku tak usah pakai baju saja, ahahaha, astaghfirullahhaladzim.’ Ngucap Nuwa dalan hatinya. Lalu ia tak sengaja menjatuhkan kitabnya yang tebal. Biasanya apa pun yang wanita Suku Mui itu lakukan selalu saja salah di mata Syeikh killer tersebut, sampai naik emosi Nuwa setiap hari. Namun, hari ini benar-benar tenang suasana. “Tumben tak marah-marah beliau, biasanya jangankan aku menjatuhkan kitab. Bernapas saja aku salah,” gumam wanita itu perlahan. Iseng, Nuwa ja
Kelas akan berakhir sebentar lagi. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk memberikan ceramah tujuh menit khusus untuk akhwat yang hadir. “Dengarkan semua baik-baik,” ucap Dayyan walau debar jantungnya masih belum bisa diajak kompromi. Apalagi Nuwa pindah duduk dekat gerombolan Anjali. Mereka berdua jadi berhadap-hadapan langsung. “Ehm, begini, kita semua tahu bagaimana batasan aurat perempuan dalam Islam. Semua bagian kecuali dua telapak tangan dan wajah. Namun, demi menghindari fitnah lebih besar yang bisa jadi para perempuan juga tidak sadar, oleh pemerintah diminta menggunakan cadar dan sarung tangan.” “Na’am Syeikh,” jawab semua siswi bersamaan termasuk Nuwa. “Jangan asal-asalan memperlihatkan aurat kalian di depan lelaki yang bukan mahrom. Khawatir ada tindak kejahatan yang tidak bisa dicegah. Bukan berarti membenarkan tindak pelecehan, tentu saja ada hukuman jika naud’zubillah misalnya sampai terjadi.” Dayyan merasa dia tak pantas, memberikan ceramah itu, karena dia sendiri me
Nuwa, perempuan Suku Mui yang dilahirkan dengan marga Wei. Darah penduduk desa itu percampuran antara orang Xin Hua dan Arab yang sejak ribuan tahun lalu memang sudah ada. Sebab itulah mereka memiliki kulit putih pucat dan mata besar. Nuwa yang menikah di usia 15 tahun dan sekarang baru saja menginjak angka 21 tahun tergolong masih sangat muda belia memang menjadi janda. Namun, apa daya ketika umur Fu Kai memang tidak panjang. Hanya lima tahun saja mereka menjadi sepasang suami istri tanpa keturunan. Lalu darah yang masih sangat muda dan telah merasakan manisnya pernikahan serta mendapatkan suami yang sangat baik dan peduli dengannya, terkadang membuat Nuwa tersiksa juga. Dia adalah perempuan yang ditakdirkan terlahir dengan memiliki tenaga dan energi yang lebih dari yang lain. Ditambah latihan yang keras sejak kecil pula. Ketika gelora datang pada malam hari di Syam, Nuwa selalu saja bingung. Di Syam memang siang hari ketika musim panas sangat panas. Namun, di malam hari angin yan
Minggu pagi yang cerah, memang saatnya wanita bermata besar itu beristirahat dari melatih anak-anak juga kursus bahasa Arab yang mulai menjemukan. Seharian ia hanya tidur-tiduran saja di dalam rumah. Ingin keluar hari panas bukan main. Namun, pintu rumahnya diketuk beberapa orang sepertinya. Ia pun lekas ambil baju panjang, khimar serta cadar. Ingat pesan Syeikh killer ketika melangkahkan kaki ke luar rumah harus tutup aurat. “Oh, kalian, aku pikir siapa. Ada apa, rindu denganku?” Nuwa mempersilakan masuk Anjali, Fani, serta padma. Tak ada kabar mereka mau datang, alhasil Nuwa hanya suguhkan makanan pagi tadi. “Wah, Nuwa, enak juga masakanmu, ya, rasanya di sini tidak ada orang yang rajin sepertimu, memotong wortel dan lobak sampai kurus-kurus begini.” Fani makan, tapi ia tak mau pakai sumpit, seperti Nuwa. “Oh, iya jelas, aku kan, cantik, penyabar, dan pintar masak.” Nuwa mengambil sayur pakai sumpit, tiga temannya heran. “Siapa yang bilang begitu, Nuwa?” tanya Anjali. Cantik, p
“Wah, banyak juga jadinya,” ucap Nuwa ketika membuka adonan bakpao yang telah ia diamkan dan tidak ajak bicara selama satu jam. Isian sayur dan daging ayam telah selesai ditumis oleh Nuwa. Lalu diambilnya tepung yang telah ia pukul-pukul lagi itu, diisi sayur sedikit demi sedikit sampai adonan habis. Jadilah 40 bulatan bakpao yang sudah mulai dikukus mana yang mengembang sempurna. “Jadi, untuk Rizki, Farhan, dan Bhani, ada 40 bakpao. Paling aku hanya makan lima saja, 35 bagi tiga.” Nuwa kemudian membagi menjadi tiga tempat. Untuk rumah Maira 10, untuk rumah Naima 10. “Eh, tunggu dulu, berarti aku harus ke rumah Bhani, yang artinya rumah Syeihk. Eh, tambah jadilah gibah tentang kami. Aduh, gimana, ya, mana sudah janji. Kalau dimakan siang, nanti ketahuan murid-murid yang lain tak enak hatiku jadinya.” “Oh, begini saja, antar ke rumah Bibi Gu, ah tidak, udah biasa panggil Mufei, terserahlah, antar ke sana saja, lagi pula aku tidak tahu rumah Bhani di mana. Capek kali aku disuruh car
“Nuwa, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Gu yang pindah duduk di sebelah wanita Suku Mui itu. “Alhamdulillah, baik, Mufei, kenapa?” Mata Nuwa berbinar.“Kau masih menyendiri?” tanya wanita bermata biru itu lagi. Nuwa sepertinya paham ke mana arah pembicaran Gu. “Iya, masih, tap—” “Kalau misalnya Ibu ingin membuat kalian saling mengenal bagaimana?” Jeng jeng jeng. Telinga Dayyan langsung tegak mendengar isyarat ibunya. “Kalian itu siapa, Mufei?” tanya Nuwa lebih pasti. “Kau dan Hanif, kan, sama-sama sendiri.” Gu tersenyum. Dayyan yang duduk di ruang tamu jantungnya mulai berdebar lebih kencang. Kalah start dia dengan ibunya sendiri. “Eeheheheh, haduh, Mufei, Hanif itu masih perjaka, bukan?”“Iya, kenapa?” “Keutamaannya, kan, menikah dengan gadis.” Nuwa cari-cari alasan. Dia tak suka dengan modelan pemalu dan lugu seperti itu. Pun Hanif kurus seperti tiang listrik sudah jelas no six pack. “Tapi dengan janda tidak ada larangan, apalagi kalau jandanya solehah dan pemberani sep
Pintu rumah Fani diketuk. Gadis itu sedang tidak mengenakan tutup kepala. Ayahnya yang membuka pintu. Lalu tiba-tiba saja ayah Fani mengangkat dua tangannya. Ada dua perempuan masuk dari depan sambil menodongkan pistol. “Ayah,” ucap Fani. Namun, detik itu juga kepalanya pun ditodong pistol. “Mana yang namanya Fani?” tanya penyusup yang masuk. “A-aku, Fani, apa maumu?” jawab gadis itu sambil gemetar. Lekas ia ambil perlahan ponsel di saku gamis. Fani berniat untuk meminta tolong pada Nuwa. Namun, ponsel itu pun dirampas dan diinjak sampai hancur. “Kau teman Nuwa?” Penutup wajah penyusup itu dibuka. Lili di sana bersama satu orang bawahannya. “I-iya, tapi Nuwa tidak di sini, dia di rumahnya.” “Diam, jangan bicara sebelum aku minta. Bersikaplah seperti biasa seolah-olah kami tidak pernah datang. Tunggu perintah dari kami besok. Malam ini kami akan menginap, dan satu pun dari kalian tidak boleh buka suara. Kalau tidak. Dor. Percayalah pistol ini kedap suara. Kalian akan jadi mayat
Wanita Suku Mui itu merasa heran kenapa Fani diam saja. Biasanya dia selalu bertanya hal-hal kecil sepanjang pelajaran berlangsung. Nuwa merasakan pena yang dipegang temannya selalu salah menuliskan kata-kata. “Kau sakit? Aku antar pulang, ya?” Nuwa memegang tangan Fani, terasa dingin di musim panas yang terik. “Tidak. Aku baik-baik saja, ayo, Nuwa.” Lalu Fani diam. “Ayo ke mana? Katakan apa yang terjadi Fani? Ada yang menyakitimu? Siapa? Lelaki atau perempuan? Ayo kita selesaikan.” “Tidak ada, Nuwa. Kita menulis saja, nanti Syekh marah.” “Peduli apa aku kalau Syeikh marah. Kau aneh sekali dari tadi. Bukan seperti Fani.” “Ehm, harap tenang, sebentar lagi akan dibagikan soal.” Dayyan menegur dua orang yang asyik berbicara itu. Sejenak keduanya tenang.Masuk pesan di ponsel Fani, berasal dari mata-mata yang menunggu di luar gedung. Ia meminta Fani keluar dan berganti peran. Karena takut Fani pun menurutinya. Ia izin sebentar pada Syeikh Dayyan. “Ada latihan sebentar lagi, kalau t