Gelisah, harap-harap cemas aku berdiri di dalam kamar inap bayi Bang Bayu. Gadis kecil yang masih sesegukan itu hanya menatap kosong ke arahku.Lenganku terulur, menyodorkan susu formula mahal yang kata Bang Bayu adalah favoritnya. Minggu lalu saat ke supermarket, aku melihat sekaleng ukuran tiga kg saja mencapai satu juta rupiah.Bayi itu menolak, menggelengkan kepala ke kiri dan kanan. Lalu, tanda-tanda dirinya akan menangis lagi membuatku mundur dan enggan memaksa.“Cup, cup ... sabar, Sayang. Mau biskuit atau bubur?” tawarku.Bayi nan cantik itu mengerjapkan mata. Aku paham benar dirinya kelaparan, tapi seluruh tubuhnya sakit hingga selera makannya hilang.“Berat badannya turun banyak dalam dua hari, Kak.” Salah satu perawat tadi berbisik.Dia mengikutiku ke dalam ruang inap demi memastikan kondisi si kecil sebelum kembali ke ruang jaga. Wajahnya menggambarkan betapa cemas
“Kak, ini rumah sakit, tolong jangan ribut!” Perawat yang sedari tadi memantau Aisya berseru saat aku dan Ida terlibat cek cok.Tengah malam buta, saat seluruh manusia seharusnya beristirahat dalam tenang, aku dan Ida malah adu mulut dan tangan. Hampir saja aku menamparnya, menarik selendang mahal atau mungkin menendang lututnya.Di antara semua kata yang bisa diucapka, dia memilih kata sehina itu? Memangnya aku apa?“Tolong kerja samanya atau saya panggil sekuriti!” ancamnya lagi sembari membelalakkan mata pada kami berdua.Jelas-jelas di dalam ruang inap tersebut ada Aisya yang sedang sakit. Sungguh sulit membuatnya tidur dan makan, lalu setelah semua itu berhasil dilakukan aku dan Ida malah hampir membangunkannya.Seketika aku mundur. Mencoba mengalah lebih dulu sebelum semuanya terlambat. Ida juga melakukan hal yang sama dengan berpaling dariku dan lan
Akibat ucapan Bang Bayu tersebut, dia menerima tamparan dari Ayah Ida. Pria yang sedari tadi duduk mendengarkan pada akhirnya tidak tahan untuk tetap tenang.Pria itu menarik berat napas usai memberikan lima cap jari di pipi Bang Bayu. Tangannya gemetar, entah apa penyebabnya. Namun, manik matanya berkilau seperti menahan tangis.“Ja-jaga bicaramu, Bayu.”Bang Bayu mengusap pipi. Bibirnya sedikit meruncing, walau demikian tidak ada kata lanjutan yang diutarakannya pada orang tua Ida.“Mari kita pulang, Mak.” Ayah Ida berseru keras. Dia menyebut nama istrinya namun sorot matanya tidak bisa berpaling dari Bang Bayu. “Kita tidak usah kembali ke sini, tidak usah peduli lagi sama Bayu. Wajah kita sudah dicoreng, kita dihina.”“Baik, hati-hati di jalan.” Bang Bayu menyahut tenang.“Cepat!” pekiknya.
Aku mulai mengikuti proses perceraian resmi dari pengadilan dengan didampingi pengacara. Bang Fuad juga tidak lagi protes, patuh dan turut serta dalam setiap tahapan panjang yang akan memisahkan kami berdua.Hal sebaliknya terus terjadi pada Bang Bayu. Tuduhannya terhadap Ida kerap menerima bantahan, termasuk dari kedua mertuanya. Terkadang, dialah yang dituduh berkhianat, tidak memberi nafkah dengan baik hingga bersikap kasar pada Ida.Syukurnya, kami berdua sudah punya banyak bukti dan tidak ada yang direkayasa. Pemeriksaan di pengadilan juga sangat transparan hingga segalanya menjadi mudah.Tersisalah masa-masa akhir di mana kami akan bertemu di pengadilan untuk menerima putusan. Kondisi itu membuat segalanya menjadi canggung, untukku, Bang Fuad dan Bang Bayu. Sedang Ida, perempuan itu tidak pernah datang lagi, dia hanya diwakili orang tua dan pengacara yang disewa keluarganya.Siang itu, usai med
“Bisa bicara sebentar? Ke ruangan saya!” Pagi-pagi Pak Dama datang ke kantor dan langsung menghampiri meja kerjaku.Tidak sempat meletakkan tas atau melepas sweeter, pria itu sudah memanggil dengan mimik serius. Dia tidak menunggu sampai diriku berkata iya dan bergegas menuju ruang kerjanya yang masih tertutup rapat.Paham dengan apa yang dimaksud Pak Dama, aku beranjak meninggalkan kursi. Tatapan bingung dari beberapa karyawan lain juga tidak kuhiraukan, apa lagi bibir mereka yang mulai bergosip tentang alasan kenapa Pak Dama memanggilku ke ruangannya.Kuucap salam saat mendorong pintu ruangan Pak Dama. Pria itu sudah duduk di balik meja dengan sorot wajah serius dan sedikit gelisah.Dia berpura-pura tenang dengan membaca isi laporan yang kutinggalkan di mejanya kemarin, namun tangannya yang bermain-main dengan pulpen tidak bisa berbohong. Pak Dama khawatir, atau mungkin takut jika dirik
“Bisakah? Aku mohon ....” Nada bicaraku mengendur.Panik, bingung sekaligus malu. Aku telah menjadi pusat tontonan anak kost dan seluruh tetangga yang ada di gang ini. Mereka yang biasanya hanya terlihat saat pergi dan pulang bekerja, kini bisa kutemukan di depan rumah, memerhatikan kejadian yang berlangsung saat ini di depan mereka.“Banyak omong, minta tolong siapa kamu? Perempuan biadap!” Istri Pak Dama menyerangku.Dia mengambil gawai, merebut dan melihat nama yang tertera di layar. Bibirnya seketika tersungging, wajahnya menunjukkan betapa bengisnya dia terhadapku saat ini.“Lihat ini, Pa ... lihat ini! Perempuan yang Papa suka minta tolong sama orang lain. Papa kira, di dunia ini Papa akan jadi satu-satunya?” Istri Pak Dama berteriak.Alhasil, permasalahan yang menimpa kami semua terumbar. Beberapa orang mulai menggosipkanku, mencela dan
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar