Share

Aroma yang Mirip

Valeria tersentak mendengar ucapan Revan yang menyebut mereka sebagai teman dekat. Ia sudah hendak menjelaskan tentang Revan, namun Revan terlihat tersenyum ke arahnya lalu menggenggam tangannya.

"Teknisnya aku sedang mendekati wanita ini," lanjut Revan kembali membungkam mulut Valeria.

Lucia dan Rionandra terlihat terperangah, Rio yang mulai merasa kesal karena ada pria lain yang dekat dengan Valeria ketika hubungan mereka belum lama berakhir segera mengepalkan sebelah tangan. Ia melepas genggaman tangan Lucia lalu maju mendekat dengan tatapan tajam.

"Teman dekat? Aku tidak pernah melihat orang sepertimu dekat dengan Valeria sebelumnya."

"Sepertinya Valeria tidak banyak bercerita tentangku. Aku sungguh kecewa, Val. Padahal aku berharap kau memberi tahu siapapun tentangku."

Valeria yang mendengar ucapan Revan hanya tersenyum canggung, entah apa sebenarnya yang dilakukan pria ini. Sementara tatapan Rio semakin tajam terhadap pria itu, ia sungguh tidak suka dengan Revan yang memanggil Valeria dengan akrab.

"Tapi ngomong-ngomong kalian siapa?"

"Val adalah Kakak tiri kekasihku, Lucia. Jadi aku harus tahu siapa saja yang dekat dengan Valeria."

"Ah begitu? Salam kenal. Semoga kita bisa menjadi satu keluarga nantinya."

"Satu keluarga?" Tanya Rio dan Lucia sambil berpandangan.

Valeria melongo mendengar ucapan Revan yang semakin kacau, ia segera menarik lengan atas pria itu lalu berkata, "Ah sepertinya kami harus segera pergi, nikmati saja waktu kalian. Aku sudah sangat lapar Revan, ayo kita pergi."

Tanpa berpikir panjang Valeria segera menyeret Revan menyingkir dari sana. Setelah dirasa Rio dan Lucia sudah tidak berada di sekitar mereka, Valeria segera melepaskan Revan lalu bertanya dengan nada panik, "Apa maksud Bapak sebenarnya? Kenapa Bapak berkata seperti itu?"

"Saya dengar kamu dituduh menjadi penguntit, jadi saya hanya membantu kamu." balas Revan sambil mengangkat bahu.

Valeria terlihat memijat kepalanya mendengar balasan Revan yang tanpa beban. Lucia dan Rionandra yang sudah mendengar hal ini pasti tidak akan diam, mereka pasti akan terus mengulik tentang Revan. Dan ketika tahu bahwa Revan hanya berpura-pura, ia sendiri yang merasa akan lebih malu nanti.

"Bapak tidak seharusnya ikut campur dengan urusan saya," ucap Valeria sebal.

Mendengar hal itu, Revan terlihat menyilangkan tangannya di depan dada, merasa tersinggung dengan ucapan Valeria, "Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada saya karena bantuan ini?"

"Saya tidak meminta Anda untuk membantu saya."

"Sepertinya kamu senang dianggap sebagai penguntit. Baiklah, itu tidak akan terulang lagi, seharusnya saya diam saja tadi," balas Revan sinis lalu berjalan meninggalkan Valeria dengan langkah lebar.

Valeria menepuk bibirnya beberapa kali melihat raut wajah Revan yang ditekuk. Bagaimana bisa mulutnya begitu berani mengatakan hal itu pada atasannya sendiri? Jika Revan tersinggung, bukankah dia sendiri yang akan mendapatkan akibatnya?

****

Setelah kejadian kemarin, Revan benar-benar tidak mengusiknya. Ia hanya memberikan beberapa tugas kepada Valeria dengan dingin. Tidak ada lagi keramahan yang terlihat di matanya seperti saat ia mengajak Valeria untuk makan bersama.

Valeria berjalan kesana kemari dengan gelisah. Seharusnya ia tidak membuat atasannya marah. Melihat Revan tidak mengatakan sepatah kata apapun selama sehari ini membuat Valeria menjadi bingung. Ia harus bicara dengan Revan, ia tidak bisa terus didiamkan seperti ini. Lebih baik ia diomeli daripada melihat Revan yang hanya diam seribu bahasa. Itu lebih menakutkan. Bagaimana jika Revan diam-diam menulis surat pemecatan untuknya?

Valeria segera membuka pintu lalu berdeham, "Bapak marah kepada saya?" Tanyanya tanpa basa basi.

Revan mengangkat wajahnya lalu mengerutkan dahi, "Marah? Untuk apa saya marah?"

"Saya minta maaf soal kejadian kemarin jika itu menyinggung Bapak. Saya tidak bermaksud melakukannya.

"Tidak perlu meminta maaf, kamu benar, itu bukan urusan saya, entah kenapa pula saya ingin mencampuri urusan kamu kemarin. Itu salah saya, bukan kamu." ujar Revan. Sebenarnya ia memilih diam hari ini bukan karena marah kepada wanita itu, namun ia merasa aneh kenapa ia ingin ikut campur kemarin. Valeria, wanita di hadapannya ini entah kenapa selalu saja membuatnya cemas padahal ia dan Valeria tidak memiliki hubungan apapun. Sejak kapan dirinya merasa tertarik dengan masalah orang lain?

"Lalu kenapa Bapak diam saja sejak kemarin?"

"Saya hanya memiliki banyak pekerjaan. Itu saja." Balas Revan enggan menjelaskan yang sebenarnya.

Valeria berdecak merasa sangat malu dengan jawaban Revan. Kenapa dia harus begitu percaya diri bahwa Revan terganggu dengan kejadian kemarin? Valeria bukan siapa-siapa baginya.

"Ah syukurlah saya pikir Bapak marah kepada saya. Kalau begitu ada yang ingin saya tanyakan Pak," ungkap Valeria kembali demi menutupi rasa malunya.

Valeria terlihat membuka suatu berkas laporan lalu menunjukkannya ke arah Revan, "Bapak meminta saya meninjau ulang berkas laporan mengenai kerjasama perusahaan dengan BestBuilding, laporan aslinya ada dimana ya, Pak?"

"Oh ada di lemari berkas paling atas, kamu ambil saja, itu yang warna kuning."

Valeria mengikuti arah telunjuk Revan, ia segera menghampiri lemari berkas itu yang berada di samping Revan. Valeria terhenyak, ternyata lemarinya tinggi sekali. Ia segera berjinjit untuk mendapatkan berkas itu.

"Sedikit lagi... Sedikiiit lagi..."

Namun karena kurang perhitungan, lemari pun ikut bergoyang karena seluruh susunan berkas itu ikut roboh.

Astaga!

Valeria menutup matanya mengira bahwa seluruh susunan berkas juga lemari itu akan menimpa tubuhnya, namun ia terhenyak menyadari bahwa tubuhnya tidak tertimpa apapun sama sekali. Valeria segera membuka mata, matanya melebar sempurna karena ternyata Revan melindungi dirinya. Tubuhnya dipeluk dengan erat oleh pria itu. Revan terlihat meringis merasakan lemari itu menimpa punggungnya dengan kuat.

"Kamu tidak apa-apa?

"Astaga Paak!" Valeria segera menjerit, ia segera bangkit lalu membantu Revan untuk mengangkat lemari itu. Dengan bantuannya, Revan berhasil mendudukkan kembali posisi lemari ke arah semula, "Saya baik-baik saja, Bapak sendiri bagaimana? Apa Bapak terluka?"

Meski Revan masih terlihat meringis, namun ia segera menggeleng, "Tidak apa-apa, lain kali hati-hati."

"Maafkan saya, Pak. Sungguh maafkan saya." ucap Valeria sambil menundukkan kepalanya beberapa kali dengan raut wajah bersalah.

"Sudahlah tidak apa-apa, kembali saja ke ruangan kamu."

"Benar Bapak tidak apa-apa? Apa saya tidak perlu memanggil dokter kesini?"

"Saya tidak apa-apa, lemari itu memiliki material yang ringan, jadi tidak perlu cemas. Kembali saja ke ruangan kamu,"

Meski masih merasa cemas melihat keadaan Revan, Valeria akhirnya mengangguk lalu meninggalkan ruangan.

Sepeninggal Valeria, Revan terlihat mengerutkan dahinya dengan bingung. Ketika ia memeluk Valeria, aroma parfum darinya entah kenapa mengingatkannya dengan aroma parfum seseorang. Wanita itu... Ya, aroma parfum Valeria terasa sangat familiar dengan wanita yang menghabiskan malam bersamanya saat itu. Ia memang sudah beberapa kali memeluk Valeria, namun itu hanya pelukan singkat. Sementara tadi pelukan mereka berlangsung cukup lama hingga ia menyadari hal ini. Parfum dan aroma mereka memang mirip.

Revan terlihat menatap ke arah Valeria dengan penasaran melalui kaca ruangannya. Apa wanita itu dan Valeria adalah orang yang sama?

Revan segera mengambil ponsel yang berada di saku jasnya lalu menempelkan benda itu ke arah telinga, "Erik, datang ke ruangan saya, ada yang ingin saya bicarakan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status