Setelah malamnnya Bang Topan pulang, paginya Mbak Siti juga pulang dengan suami dan anak anaknya. Saat ini, rumah sudah sepi karena semuanya sudah pergi. Tinggalah aku, Syarifah, Emak dan Bapak. Aroma masakan sudah tercium kala aku baru bangun tidur. Empat hari setelah jadi pengantin baru, kami masih sama sama tersegel lantaran sibuk wara wiri dengan segala hal. Badan yang capek dan suasana yang memang tak mendukung membuat kami menunda untuk kesenangan terlebih dahulu.Suara murottal dari masjid menandakan waktu adzan subuh sudah sejak tadi berkumandang, aku pun melihat jam sudah pukul 5 pagi. Pintu kamar terbuka pelan, lalu nampak Syarifah muncul dengan sarung dan juga koko di tangannya.“Semalam cari ini kan?” tanyanya.“Iya. Udah kering memangnya?” tanyaku. Aku memang sempat mencari sarung baru dan koko baru pemberian Abah. Niatnya mau aku jadikan pakaian solat, ternyata sudah dicuci Syarifah dan belum kering.“Udah.”“Kenapa nggak bangunin aku sholat subuh?” tanyaku. “Takut ng
Pagi ini aku bangun lebih awal. Tentunya karena setelah aksi liarku yang menyenangkan, aku pun harus bangun pagi dan memanaskan air untuk Syarifah mandi. Kasihan kalau dia bangun agak siangan, kepergok Emak atau Bapak yang mau subuhan. Berhubung di sini pakai tungku, aku pun membuat api terlebih dahulu. Tak susah melakukannya, aku sudah terbiasa sejak kecil. Sebenarnya ada gas, cuma kosong karena Emak jarang memakainya. “Le, lek opo?” tanya Emak.“Mak? Udah bangun? Suaranya kedengaran ya?”“Nggak, ini udah jam 4. Emak biasanya memang bangun jam segini. Kok kamu bikin api? Mau buat apa?”“Biasa, Mak. Penganten baru, takut masuk angin kalau pake air dingin, Mak.” Aku nyengir saja.“Oalah. Ya udah, sini! Biarkan Mak yang lanjutkan,” ucap Emak menyingkirkanku.“Nggak usah, Mak. Nanti Ifah malu kalau EMak liatin kita mandi. Mamak ke mushola atau di kamar sajalah. Ya?”“Kenapa malu? Mak juga sudah biasa mandi pagi. Nggak harus jadi pengantin baru untuk keramas pagi pagi juga.”“Tapi, Mak …
“Jaga diri di rumah, kalau nanti aku ngabarin nggak bisa, jangan maksain diri nyusul ya? Temani Emak dulu di rumah,” ucapku sebelum pergi meninggalkan Syarifah.“Kalau lama, aku minta nyusul lah. Enak aja di sana lirik lirik anaknya bos,” sungutnya.Aku tersenyum. “Nggak lama, paling lima menit keluar. Kan masih sehat,” kekehku.“Ck, apaan sih?” Syarifah tersipu. “Aku pergi dulu, chat aja kalau kangen.” Aku mengecup keningnya lagi, setelah dirasa memang perlu untuk membuat Syarifah yakin aku pergi untuk bekerja dan berusaha menafkahinya. “Ya, hati hati di jalan.”AKu pamitan pada Syarifah, Emak dan Bapak. Mereka semua tersenyum saat mengantarku pergi dan aku pun berusaha tersenyum, meski berat meninggalkan istri yang sedang lucu lucunya. Aku menuju ke kota, tapi mampir dulu ke Pesantren. Aku sudah janjian sama Hamzah, dia bilang mau nitip sesuatu sebelum aku pergi. Aku melihat Hamzah sedang duduk kursi halaman ndalem, rumah Abah Yai.“Cie, yang udah jadi mantu Yai. Gimana, Gus? Am
.“Eh, masih ingat kerja rupanya? Aku kira sibuk dengan istri,” ucap Nona Lisa begitu aku masuk ruangan.“Istri juga kan butuh makan, Non,” jawabku sambil duduk di kursi.“Siapa yang nyuruh kamu duduk? Berdiri di sana saja,” ucap Nona Lisa yang justru galaknya melebihi Bu Bos.“Hm, baiklah Non. Saya diminta buat ke ruangan ini sama Bu Bos. Katanya dipindahkan di meja Manager. ““Enak ya jadi kamu? Disayang Momy saya, dikasih kerjaan dengan jabatan tinggi pula.” Nona Lisa terlihat sangat menyebalkan sekali hari ini. Mana ada kerjaan enak. Semakin tinggi jabatan ya semakin berat tugas dan tanggung jawabnya.“Alhamdulillah, rezeki setelah menikah.”“Mau pamer?” “Astaga, ada masalah apa sih Non sama saya? Saya hanya diminta buat menghadap Nona loh, bukan ngajak kelonan syaraf,” ucapku.“Suka suka aku lah. Kerjaanmu sekarang banyak, nih! Kerjain semua, kamu sering keluar nanti buat pantau perkembangan cabang cabang di berbagai kota. Bisa jadi nggak pulang berhari hari, istri sudah tahu?”
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng
Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.“Asem!”Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu