Share

Jerat Pemikat
Jerat Pemikat
Author: Maey Angel

Bekal

“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.

“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi.

Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.

“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.

“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.

“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.

Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, hanya divisi lain.

“Lo liat ada yang aneh nggak sama bekal si Hamzah itu? Masa belatung dimakan gitu. Nggak jijik apa?” bisikku.

“Ih, jijay deh. Mana mungkin dia makan belatung. Kamu ada ada saja,” omel Sarifah yang ternyata memang tak suka jika aku sudah mengatakan keahlianku ini. Hanya dia yang tahu kelebihan indra ke -6 ku karena dia adalah teman masa kecil hingga masa dewasaku ini. Asiknya, diterima kerja di kantor yang sama jadinya bisa ada teman curhat yang nyambung. Dia memang punya kelebihan yang sama denganku. Hanya saja, indra penglihatannya sudah ditutup tapi masih bisa merasakan jika ada yang aneh aneh.

“Serius, Fah. Tuh, di sendoknya isi belatung semua,” tunjukku pada sendok berisi belatung yang jelas hanya aku yang bisa melihatnya.

“Randu … berisik ah! Lo bikin gue nggak nafsu makan nih!” sungut Sarifah. Dia memukulku dengan buku yang ada di tangannya. Meski begitu, jelas Sarifah penasaran setelah ini. Dia bisanya gitu, habis mukul aku dan marahin aku pasti langsung samperin yang aku lihat.

“Ham, makan apa?” teriak Sarifah membuat lelaki yang sibuk makan itu menengok.

“Ramen dong. Enak banget, Fah. Mau?” tawarnya.

“Boleh liat?”

Benar saja. Sarifah mendekat ke arah makanan itu, lalu melihatnya sendiri. Aku memilih beranjak menuju kamar mandi karena setelah ini, pasti Sarifah akan menyusul.

“Ueek! Anying emang! Bisa bisanya si Hamzah makan makanan setan gini!” raung Sarifah yang sudah membuang isi perutnya itu.

“Hahaha, dibilangin nggak percaya. Liat belatungnya?” tanyaku.

“Nggak lah, tapi gue cium aromanya. Astaga, taik lo aja nggak kayak gitu baunya,” ucapnya.

“Sembarangan!”

Aku bersandar di dinding sambil memperhatikan Sarifah yang membersihkan wajahnya. Dia pun ikut bersandar di sisiku dan menepuk pundakku.

“Lo harus bantu dia buat sadar. Jangan sampe kasusnya kayak si Memet. Gawat kan?”

Memet adalah sahabat kami. Dia meninggal dunia setelah mengalami keanehan yang tak dicegah sejak dini. Sama halnya dengan Hamzah, keanehan seperti ini memang harus dikasih tahu alasan dan penyebabnya agar tak berujung pada kematian.

“Coba lo ajak pergi bareng, biar nanti gue bantu pantau," ucapnya.

"Oke."

Suasana kantor yang lengang membuatku bekerja santai. Hari ini, bos sedang tidak berada di tempat. Aku dan karyawan yang lain pun tidak harus was was dan santai sejenak ketika bekerja. Anggaplah istirahat karena jika ada bos, semua aktivitas kami tak luput dari omelannya.

“Sore nanti, nge-gym yuk!” ajakku.

“Sorry, bray. Aku ada janji sama Munaroh,” tolaknya.

“Munaroh lagi? Ah, kapan sih bang Ocit datang,” ledekku yang sampai heran dengan sahabatku itu.

"Ayolah, lama nggak gym bareng kan kita?"

"Ntar gue kabari, gue tanya Munaroh dulu," ucapnya.

Munaroh adalah janda kaya yang tinggal di kontrakan kami. Lebih tepatnya, dia adalah pemilik kosan yang aku dan Hamzah tempati. Orangnya udah setengah tua alias paruh baya, bahkan kulit sudah hampir kisut separuhnya. Namun, entah kenapa sahabatku ini sangat senang jika diajak pergi olehnya. Padahal stok wanita cantik itu banyak, tapi kenapa milih janda kisut yang sudah habis sari sarinya. Heran, juga aneh sendiri.

"Gimana?" Tanyaku setelah pekerjaan selesai.

"Bisa, cuma setengah jam saja katanya."

"Siplah!"

Sore itu aku menjalankan rencana, aku sengaja pergi ke tempat gym selepas pulang kerja. Aku yang memang betah jadi jomblo ini mendadak seperti playboy gadungan karena mengajak Sarifah.

"Udah di mana katanya si Hamzah?" Tanya Sarifah yang sudah sampai bersama ku tak selang lama.

"Gak diangkat!" jawabku.

"Nah kan? Ini pasti udah jelas, sirep! Kita ke TKP," ajaknya bersemangat.

Baru saja kaki hendak menapaki langkah selanjutnya, suara cukup aneh membisik di telingaku.

Next??

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status