Aku masih seperti orang bingung. Tak sadar dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi deganku. Semuanya seperti berputar putar di otak tapi tak bisa aku ungkapkan. Mulut hanya bisa mengeluarkan napas saja, selebihnya memanggil Emak itupun hanya sekali setelah minum air yang diberikan Hamzah. Setelah itu seperti ada angin yang berhembus yang akhirnya membuatku merasa jadi aneh. Entah apa yang terjadi pada diriku ini. Aku diajak menuju ke ruangan di mana biasanya Ustad Husni meruqyah orang orang yang datang padanya dengan keluhan aneh. Di sini aku berada. Dikerumuni banyak santri santri, lalu mereka membacakan ayat ayat dan zikir serta doa. Kali ini mataku seperti berkunang kunang. Aku beberapa kali mengerjap, lalu seperti ada rasa kantuk yang mendadak terasa. “Jangan tidur, Randu. Tahan,” ucap Ustad Husni. Aku tak merespon. Seperti ada yang memaksaku untuk tidur. “Kamu dengar aku, Randu? Jangan tidur dan lawan hawa mengantuk itu kalau kamu ingin bebas dari aura negatif pada dirim
“Syarifah sudah Bapak lamarkan untukmu. Dia bersedia untuk kamu nikahi, kalau kamu sudah siap … ijab Qobul bisa dilaksanakan,” ucap Bapak membuatku langsung tercengang. Secepat ini ternyata niatku disambut baik oleh Syarifah. Apa mungkin dia selama ini mencintaiku? Apa selama ini diam diam dia terpesona dengan kegantenganku.“Pak Ustad, anak EMak kesurupan lagi kah? Dia bengong lagi pak ustad,” ucap Emak yang langsung membuatku tersadar. “Enggak, Mak. Randu sadar.”“Firdaus Hanafi, mau dipanggil siapa? Firda, Daus, Hana, Hanafi?” tanya Hamzah.Aku tersenyum. Terserahlah mereka mau memanggil apa. Namun, rasanya masih tersemat nama Randu di dalam hati ini. Selain unik, nama Randu adalah simbol kegantenganku. Dari nama itu aku bisa mendapatkan kesempatan jadi suaminya Nona Lisa, meski hanya sebatas lewat saja.“Jadi kapan ijab Qobulnya, Mak? Saya sudah siap,” ucapku langsung.“Kya … Fir udah nggak sabar tuh,” kekeh Ustad Husni.Aku tersenyum lalu menggelayut pada pundak emak. Emak me
Selama beberapa hari di pondok pesantren, aku tak melihat Syarifah pasca aku sadar seutuhnya. Mereka entah ke mana membawa Syarifah, bahkan Hamzah saja tak memberitahukan aku di mana dia pergi. Aku diminta Emak juga nggak boleh keluar dari rumah singgah ini dan tentunya, dilarang menunju ke asrama putri atau ke rumah ABah Yai. Padahal jaraknya hanya beberapa langkah saja dari asrama putra dan juga putri.Pagi ini, selepas mandi, aku putuksan menemui Abah Yai. Aku ingin menanyakan perihal keseriusan Syarifah yang mau aku nikahi. Aku tak tahu ini mimpi atau bukan, yang jelas aku ingin memulai semuanya dengan normal.“Bah, lagi santai?” tanyaku pada Abah Yai yang sedang duduk sambil memegang kitab entah apa.“Oh, sudah sehat, Fir?” tanya Abah.“Sudah, Bah. Ini alhamdulillah udah bisa jalan jalan keluar kamar. Namun, mohon izin … apa boleh saya berbincang serius berdua?” tanyaku.“Silahkan. Mau bicara apa?” Abah Yai meletakkan bukunya, lalu tersenyum ramah padaku. Aku diminta duduk di dep
.“Terus mau nya kapan?” tanya Hamzah.“Terserah Fir aja, gue kan manut.” Syarifah menjawabnya tanpa menatapku. “Ya kali lo mau usul, Peh. Mau dan siapnya kapan,” ucap Hamzah.“Besok, mau nggak?” tanyaku.“Be-sok?” Syarifah terlihat kaget sedangkan Hamzah hanya menggelengkan kepala.“Iya kan? Daripada lama lama bikin dosa karena nggak boleh berdua, kalau dan nikah kan enak. Bisa ngapa ngapain berdua, bikin anak misalnya.” Aku menjelaskan sedangkan Syarifah mencubit pahaku. Duh, belum apa apa udah KDRT duluan ini bocah, untung calon bini. “Yakin mau besok? Memangnya mahar udah disiapkan? Seserahan? Terus, yang buat makan makan di walimahan? Terus yang buat ngurus ngurus ke KUA? Butuh waktu, Fir. Nggak secepat kayak orang bikin anak, gila aja lo!” umpat Hamzah dan aku terkekeh mendengarnya.“Kan hanya usul.”“Nanti ini bisa didiskusikan sama Abah aja, Mas Hamzah. Soalnya Ifah nggak tahu baiknya kapan, maunya sih memang nggak usah lama lama. Biar bisa jewer telinga suami yang suka ba
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng
Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.“Asem!”Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu