Sebuah air terasa menetesi wajahku. Aku merasakan dinginnya air itu hingga perlahan sebuah hembusan terasa begitu segar di telinga. Aku pun tak tahu apa yang sudah tejradi padaku setelah diri ini dibawa ke istana mahluk gaib yang sungguh sangat mengerikan itu. Aku tahu, ini tak seperti yang aku bayangkan dengan indahnya. Hanya saja, aku mencoba untuk menyadarkan bahwa ini semua tidak nyata dan aku harus mencoba untuk tetap ingat terhadap sang pencipta.Semua tempat tempat aneh itu membuatku semakin yakin, perjalanan kali ini bukan berada di alam dunia. Bahkan aku tak tahu saat tangan ini seperti ditarik oleh wanita tanpa wajah yang jelas menuju ke suatu tempat saat itu. Aku pikir itu Syarifah, nyatanya bukan wanita itu. Wajahnya rupa-rupa bahkan kadang menyerupai orang yang aku kenal dan aku sayang. “Randu!”Suara Emak?“Randu?”Kalau ini … Bapak kayaknya.“Randu…”Hamzah? Inikah mereka?“Randu, jangan tinggalin gue. Gue belum nikah, Hamzah juga mau nikah. Malah lo mati duluan. Ndu!
..“Bawa aku pulang, Randu. Aku tersesat, sama sepertimu,” ucapnya dengan terisak, lalu memelukku. Namun, aku bisa merasakan tangannya dingin. “Tidak! Kamu bukan Nona Lisa.”Teringat dengan kejadian saat pertama kali masuk dunia lain, makhluk itu mirip dengan Syarifah dan mungkin ini juga sama, dia bukan Nona Lisa. Dia pasti bukan Nona Lisa. Dia pasti hanya siluman yang menyerupai orang orang terdekatku.“Aku ingin pulang bersamamu, Randu. Tolong aku,” isak Nona Lisa yang aku sudah memantapkan hati, tak lagi tergoda dengannya. Angin besar seperti berputar, langit mendadak gelap seperti akan turun hujan. Dia mendekat padaku, lalu menarik tanganku. Benar saja, hujan turun. Kali ini aku merasakan airnya. Beda dengan saat gelap tadi. Air ini terasa basah dan aku bisa memegangnya. Namun, bukankah hanya manusia yang bisa merasakan tubuhnya merasakan benda benda di dunia? Apakah ini pertanda aku masih hidup?“Kita harus berteduh, Randu. Ayo kita pulang!” ajaknya.Aku langsung mengibaskan
Aku masih seperti orang bingung. Tak sadar dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi deganku. Semuanya seperti berputar putar di otak tapi tak bisa aku ungkapkan. Mulut hanya bisa mengeluarkan napas saja, selebihnya memanggil Emak itupun hanya sekali setelah minum air yang diberikan Hamzah. Setelah itu seperti ada angin yang berhembus yang akhirnya membuatku merasa jadi aneh. Entah apa yang terjadi pada diriku ini. Aku diajak menuju ke ruangan di mana biasanya Ustad Husni meruqyah orang orang yang datang padanya dengan keluhan aneh. Di sini aku berada. Dikerumuni banyak santri santri, lalu mereka membacakan ayat ayat dan zikir serta doa. Kali ini mataku seperti berkunang kunang. Aku beberapa kali mengerjap, lalu seperti ada rasa kantuk yang mendadak terasa. “Jangan tidur, Randu. Tahan,” ucap Ustad Husni. Aku tak merespon. Seperti ada yang memaksaku untuk tidur. “Kamu dengar aku, Randu? Jangan tidur dan lawan hawa mengantuk itu kalau kamu ingin bebas dari aura negatif pada dirim
“Syarifah sudah Bapak lamarkan untukmu. Dia bersedia untuk kamu nikahi, kalau kamu sudah siap … ijab Qobul bisa dilaksanakan,” ucap Bapak membuatku langsung tercengang. Secepat ini ternyata niatku disambut baik oleh Syarifah. Apa mungkin dia selama ini mencintaiku? Apa selama ini diam diam dia terpesona dengan kegantenganku.“Pak Ustad, anak EMak kesurupan lagi kah? Dia bengong lagi pak ustad,” ucap Emak yang langsung membuatku tersadar. “Enggak, Mak. Randu sadar.”“Firdaus Hanafi, mau dipanggil siapa? Firda, Daus, Hana, Hanafi?” tanya Hamzah.Aku tersenyum. Terserahlah mereka mau memanggil apa. Namun, rasanya masih tersemat nama Randu di dalam hati ini. Selain unik, nama Randu adalah simbol kegantenganku. Dari nama itu aku bisa mendapatkan kesempatan jadi suaminya Nona Lisa, meski hanya sebatas lewat saja.“Jadi kapan ijab Qobulnya, Mak? Saya sudah siap,” ucapku langsung.“Kya … Fir udah nggak sabar tuh,” kekeh Ustad Husni.Aku tersenyum lalu menggelayut pada pundak emak. Emak me
Selama beberapa hari di pondok pesantren, aku tak melihat Syarifah pasca aku sadar seutuhnya. Mereka entah ke mana membawa Syarifah, bahkan Hamzah saja tak memberitahukan aku di mana dia pergi. Aku diminta Emak juga nggak boleh keluar dari rumah singgah ini dan tentunya, dilarang menunju ke asrama putri atau ke rumah ABah Yai. Padahal jaraknya hanya beberapa langkah saja dari asrama putra dan juga putri.Pagi ini, selepas mandi, aku putuksan menemui Abah Yai. Aku ingin menanyakan perihal keseriusan Syarifah yang mau aku nikahi. Aku tak tahu ini mimpi atau bukan, yang jelas aku ingin memulai semuanya dengan normal.“Bah, lagi santai?” tanyaku pada Abah Yai yang sedang duduk sambil memegang kitab entah apa.“Oh, sudah sehat, Fir?” tanya Abah.“Sudah, Bah. Ini alhamdulillah udah bisa jalan jalan keluar kamar. Namun, mohon izin … apa boleh saya berbincang serius berdua?” tanyaku.“Silahkan. Mau bicara apa?” Abah Yai meletakkan bukunya, lalu tersenyum ramah padaku. Aku diminta duduk di dep
.“Terus mau nya kapan?” tanya Hamzah.“Terserah Fir aja, gue kan manut.” Syarifah menjawabnya tanpa menatapku. “Ya kali lo mau usul, Peh. Mau dan siapnya kapan,” ucap Hamzah.“Besok, mau nggak?” tanyaku.“Be-sok?” Syarifah terlihat kaget sedangkan Hamzah hanya menggelengkan kepala.“Iya kan? Daripada lama lama bikin dosa karena nggak boleh berdua, kalau dan nikah kan enak. Bisa ngapa ngapain berdua, bikin anak misalnya.” Aku menjelaskan sedangkan Syarifah mencubit pahaku. Duh, belum apa apa udah KDRT duluan ini bocah, untung calon bini. “Yakin mau besok? Memangnya mahar udah disiapkan? Seserahan? Terus, yang buat makan makan di walimahan? Terus yang buat ngurus ngurus ke KUA? Butuh waktu, Fir. Nggak secepat kayak orang bikin anak, gila aja lo!” umpat Hamzah dan aku terkekeh mendengarnya.“Kan hanya usul.”“Nanti ini bisa didiskusikan sama Abah aja, Mas Hamzah. Soalnya Ifah nggak tahu baiknya kapan, maunya sih memang nggak usah lama lama. Biar bisa jewer telinga suami yang suka ba
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya