Bab 58Memang karena tak ada hajatan besar, selepas ijab Qobul selesai aku ajak Syarifah pulang ke rumah satu hari setelahnya. Selain karena di pesantren ini Syarifah juga selama ini tidur di asrama putri, aku pun tak nyaman untuk menikmati romansa pengantin di tempat keramaian. Bisa bisa saat sedang proses persilangan, diganggu suara anak anak yang gaduh berebut tempat tidur juga seperti saat malam pertama kemarin. Aku dan Syarifah tidur terpisah lantaran Syarifah yang menemani teman temannya yang lain di asrama putri. Juga menghormati tamu lain yang menginap.“Abang mau langsung pulang, Bang?” tanyaku pada Abang yang malam ini sudah berkemas, padahal baru sehari aku menikah dengan Syarifah.“Abang nggak bisa cuti lama lama, bisa kena omel atasan, Fir. Lagian, Abang udah beberapa hari di sini. Urusan kamu nikah dan syukuran Emak kan sudah selesai, lagian di sini masih ada Siti.”“Siti juga pulang, Bang,” ucap Mbak Siti tak mau kalah.“Pulang semua, sepi rumah Emak,” ucapku.“Kamu d
Setelah malamnnya Bang Topan pulang, paginya Mbak Siti juga pulang dengan suami dan anak anaknya. Saat ini, rumah sudah sepi karena semuanya sudah pergi. Tinggalah aku, Syarifah, Emak dan Bapak. Aroma masakan sudah tercium kala aku baru bangun tidur. Empat hari setelah jadi pengantin baru, kami masih sama sama tersegel lantaran sibuk wara wiri dengan segala hal. Badan yang capek dan suasana yang memang tak mendukung membuat kami menunda untuk kesenangan terlebih dahulu.Suara murottal dari masjid menandakan waktu adzan subuh sudah sejak tadi berkumandang, aku pun melihat jam sudah pukul 5 pagi. Pintu kamar terbuka pelan, lalu nampak Syarifah muncul dengan sarung dan juga koko di tangannya.“Semalam cari ini kan?” tanyanya.“Iya. Udah kering memangnya?” tanyaku. Aku memang sempat mencari sarung baru dan koko baru pemberian Abah. Niatnya mau aku jadikan pakaian solat, ternyata sudah dicuci Syarifah dan belum kering.“Udah.”“Kenapa nggak bangunin aku sholat subuh?” tanyaku. “Takut ng
Pagi ini aku bangun lebih awal. Tentunya karena setelah aksi liarku yang menyenangkan, aku pun harus bangun pagi dan memanaskan air untuk Syarifah mandi. Kasihan kalau dia bangun agak siangan, kepergok Emak atau Bapak yang mau subuhan. Berhubung di sini pakai tungku, aku pun membuat api terlebih dahulu. Tak susah melakukannya, aku sudah terbiasa sejak kecil. Sebenarnya ada gas, cuma kosong karena Emak jarang memakainya. “Le, lek opo?” tanya Emak.“Mak? Udah bangun? Suaranya kedengaran ya?”“Nggak, ini udah jam 4. Emak biasanya memang bangun jam segini. Kok kamu bikin api? Mau buat apa?”“Biasa, Mak. Penganten baru, takut masuk angin kalau pake air dingin, Mak.” Aku nyengir saja.“Oalah. Ya udah, sini! Biarkan Mak yang lanjutkan,” ucap Emak menyingkirkanku.“Nggak usah, Mak. Nanti Ifah malu kalau EMak liatin kita mandi. Mamak ke mushola atau di kamar sajalah. Ya?”“Kenapa malu? Mak juga sudah biasa mandi pagi. Nggak harus jadi pengantin baru untuk keramas pagi pagi juga.”“Tapi, Mak …
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng
Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.“Asem!”Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu
“Kalau mau mati, nggak usah ngajak ngajak napa! Setan emang lo!” sungut Syarifah.“Ya kan gue setia, apapun keadaannya lo selalu gue ajak.” Aku merenges saja. Syarifah nampak kesal, tapi rautnya mendadak bingung saat baru melihat area tempat kami turun.“Eh, rumahnya yang mana?” tanya Sarifah. Baru kusadari ternyata kita sudah sampai di depan rumah Munaroh. Sepertinya sampai sekarang Bang Ocit belum datang. Soalnya rumahnya masih sepi kayak kuburan.“Tuh,” tunjukku dengan dagu tanpa berani menunjuk dengan jari. Ada dua makhluk bermata besar yang mengawasi kedatangan kami. Jika sampai aku menunjukan jari, mereka akan menganggapnya ini ancaman dan mungkin akan membuat kami diburu sebelum mendekat ke rumah itu.Rumah berlantai dua itu terlihat sangat mencekam dari auranya. Meskipun terkesan mewah karena berlantai dua, bagiku rumah ini cenderung angker jika dilihat dari indra ke-6 ku. Ada pohon asem di depan rumah itu dan banyak pohon pohon rindang yang menutupi sisi gerbang rumah Munar