"Iya, sayang." Suara Jill terdengar serak. "Masuklah."
Jill menyibak selimut dan bangkit untuk duduk. Tangan kanannya meremas kepala yang mendadak pusing hingga keningnya berkerut dan matanya terpejam erat.
Bailey masuk, merendahkan daksanya di samping Jill. Mimik wajahnya menampilkan kekhawatiran yang dalam.
"Bu, Ibu kenapa?" tanya Bailey. Jill tersenyum sembari mengusap-usap kepalanya.
"Ibu hanya sedikit pusing karena terlalu lama berbaring," kata Jill. Matanya kemudian tertuju pada kedua tangan Bailey yang memegang nampan. "Apa itu? Aromanya enak sekali."
"Ah, ini kue pie apel dan bubur jahe!" jawab Bailey, meletakkan nampannya di kasur. "Ibu mau mencobanya?"
Mata Jill berbinar. Ia mengangguk cepat dengan senyum yang lebih mengembang. Bailey duduk, mengambil 1 potong kue pie apel dan menyuapi Jill.
Shaw berdiri di luar pintu. Ia tidak berani masuk sebab belum diizinkan. Senyumnya merekah melihat wajah Jill yang berseri dan Bailey y
Belum Edvard menjawab, Shaw sudah bertanya lagi."Kapan pertunangan tuan dokter Akhazel?"Shaw harus menghitung waktunya, memastikan acara pertunangan Akhazel tidak bentrok dengan rencananya agar ia dapat hadir.Edvard tidak lantas menjawab. Ia menatap lamat-lamat, memastikan Shaw tidak terluka. Walau ia yakin jika Shaw memang tidak terluka semalam, tetap saja Edvard ingin memastikannya sendiri. Usai tidak melihat satu gores luka pun, Edvard baru membuka suara."Pertunangannya bulan depan," kata Edvard. "Ada apa? Kau mencariku atau hanya mampir?""A—" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya."Dua-duanya," jawabnya sembari cengir-cengir.Sebuah anak panah tiba-tiba melesat dengan kecepatan tinggi dari arah barat. Shaw sontak menghindar dan mencoba menangkap anak panahnya tetapi tidak berhasil karena Edvard lebih dulu menarik tangan Shaw. Alhasil, anak panah tersebut jatuh menancap di tanah.Edvard melihat ke arah datangnya anak panah, memicingkan mata dan mempertajam penglihatann
"Bagaimana jika gagal? Tindakanmu memang sudah mulai berdampak, tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan." Edvard masih menolak setuju.Bukan keraguan yang menjadi batu penghalang terbesar bagi Edvard, melainkan ketakutan akan akibat yang bisa saja terjadi jikalau nanti kenyataan tidak sejalan dengan rencana. Memang, tidak ada yang mudah ketika itu tentang menyembuhkan luka dan trauma masa lalu."Hasil tidak akan mengkhianati proses, Tuan Dokter. Dan tidak ada perjuangan yang selesai dalam sehari, jika itu untuk sesuatu yang besar." Shaw meyakinkan. Sorot matanya memancarkan kemantapan hati, berbaur dengan membaranya api tekad yang terus membesar.Edvard kehabisan kata-kata. Ia melihat Shaw dengan dalam dan dalam.Bocah berusia 11 tahun itu tampak berbeda di matanya. Edvard seolah melihat ada jiwa lain dalam tubuh Shaw. Keberanian yang terpancar dari mata Shaw bukanlah keberanian yang biasa.Hembusan napas keluar dari mulut Edvard. Ia memalingkan wajah ke arah jendela dan merenu
"Mungkin faktor cuaca dan musim, Profesor." Zetranio menyahut dengan santai. Ia tidak ingin Haldarad cemas."Pasti lebih dari itu." Haldarad yakin.Zetranio menaruh nampan di atas meja dan memindahkan cangkir teh serta camilannya dari sana."Minum dulu, Prof," ujarnya, duduk di seberang Haldarad."Dua hari lalu aku memerintahkan beberapa prajurit untuk mengecek laut timur dan barat laut, dan hasilnya sama. Nelayan yang kutanyai pun mengatakan hal serupa." Haldarad melanjutkan, mengambil cangkir teh di depannya dan menyesapnya sedikit.Prajurit yang bertugas di daerah 4 mata angin melaporkan hal yang sama, tentulah pasti ada sesuatu. Dan Haldarad tidak bisa untuk tidak berpikir buruk karenanya.Zetranio mengetuk-ketukkan jemari tangan kanannya di atas lutut kanan. Ia tampak berpikir dan berpikir."Kalau sudah begini, aku tidak bisa menyembunyikannya lagi," ujar Zetranio, bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebuah berkas dokumen dengan sampul berwarna merah dan menaruhnya di meja depan
Diperhatikan lebih jeli, sang sosok tampak seperti orang baru. Shaw tidak memiliki ide akan siapa gerangan sosok tersebut. Sudah pasti bukan Fu, karena perawakannya berbeda. Sosok ini lebih tinggi dan berisi. Dari area kening dan tangannya, terlihat bahwa ia memiliki kulit yang lebih kecoklatan dibandingkan kulit Fu, serta kedua matanya terlihat lebih sipit.Tidak ada tanda pengenal di sisi kiri maupun kanan daksa sang sosok, membuat Shaw semakin bertanya-tanya dan berhati-hati. Haki yang ia rasakan menguar dari sang sosok sungguh tidak bisa ia remehkan.Sepersekian detik membisu. Hanya suara hembusan sarayu dan hewan malam yang terdengar, itu pun cukup jauh dari keduanya. Area jenggala di sekitar menjadi sangat hening dan sunyi, pertanda bahaya mengintai.Mencoba memberanikan diri, Shaw keluar dari persembunyiannya, melompat dan mendarat di dahan pohon seberang dari sang sosok."Kenapa kau ingin membunuhku?" tanya Shaw begitu tungkainya berpijak.Kehadiran Shaw yang tiba-tiba tak aya
"Tidak usah hiraukan mereka, Shaw," lirih Bailey yang duduk di depan Shaw."Aku tahu." Shaw membalas singkat.Bailey menghentak tali kekang, memacu kuda lebih cepat lagi. Wilton di belakang pun mempercepat laju kudanya.Sampai di mansion, Wilton langsung pergi lagi setelah sang sosok dibawa ke balai pengobatan. Ia keluar bersama Bexter dan Ryson, dan berpisah di depan gerbang. Wilton pergi ke barat, ditugaskan Ascal untuk memanggil Edvard, sedangkan Bexter dan Ryson ke utara untuk mengambil anak panah yang dikubur Shaw."Sudah. Dia akan baik-baik saja." Bailey menepuk pundak Shaw, mencoba menenangkan sahabatnya yang masih cemas dan murung.Ascal yang keluar dari ruang pengobatan berhenti beberapa meter di belakang Shaw dan Bailey. Ia diam, memperhatikan kedua bocah di hadapannya."Aku takut, Bailey. Walau aku merasakan aura gelap darinya, tapi aku yakin dia orang baik. Dia sempat terlihat sedih tadi," tukas Shaw.Petarung di arena tidak boleh memiliki perasaan. Itu adalah prinsip yang
"Saya baik-baik saja, Tuan Muda," balas Wilton seraya tersenyum."Hah, ya sudah." Bailey pasrah dan beralih menatap Shaw. "Kalau ada apa-apa kabari aku. Apapun itu, hal kecil sekali pun."Perjalanan kisah mereka memasuki tahap serius yang kian mendebarkan setiap harinya. Terlebih kali ini Shaw hendak melaksanakan tugas dari sang ayah, menghadirkan rasa tidak sabar dalam hati Bailey, untuk mendengar setiap perkembangannya.Shaw mengangguk, memasang senyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi."Kalau ingat," tanggapnya. Bailey berdecak.Terkadang ia iri dengan kebebasan Shaw, membuatnya berandai-andai terlahir bukan dari keluarga bangsawan Zanwan, bukan sebagai pewaris tahta. Namun, bukan berarti ia tidak menyukai takdir hidupnya. Ia hanya ingin bisa sebebas Shaw."Ya sudah. Aku pergi dulu," pamit Bailey, menunggangi kuda dan pergi ke sekolah bersama Wilton. Shaw pun menunggangi kudanya, namun menuju arah yang berbeda.Di tengah jalan, Shaw bertemu sekumpulan anak ya
Shaw melajukan kudanya ke selatan, pulang ke rumah Spencer. Ia mengambil jalur pemukiman penduduk. Ketika melewati alun-alun distrik, untuk beberapa menit laju kudanya melambat dan pikirannya mengelana. Teringat ia pada sebuah kepala yang pernah tergantung di sana.Kini alun-alun itu kosong. Hanya terlihat beberapa prajurit yang berjaga di pos sebelah alun-alun, dekat dengan perumahan."Entah hari ini, esok, lusa, atau hari seterusnya, kepala seseorang mungkin akan tergantung lagi di sana." Shaw bergumam pelan, menghembuskan napas dan melanjutkan perjalanan.Dedaunan terlihat berserakan memenuhi halaman ketika ia sampai di depan rumah. Padahal tidak lama ditinggal, tetapi rumah tua itu sudah seperti rumah yang lama tidak dihuni.Shaw menalikan tali kudanya di tiang halaman samping dekat dapur. Rencana untuk langsung membuat bekal pun ia tunda dan memilih membersihkan rumah serta halaman lebih dulu.Sekelumit rasa rindu pada Spencer dan Gracie menyeruak, hadir begitu saja. Shaw seolah
Shaw tidak ingin peduli. Benaknya mengatakan ia harus segera pergi, jadi ia lanjut memacu kudanya. Namun, bayangan itu muncul lagi. Meski begitu, Shaw tetap berusaha mengabaikan.Seakan memperjelas bahwa Shaw adalah target, bayangan tersebut terus kembali menunjukkan entitasnya. Ia melesat dari pohon ke pohon di sekeliling Shaw.'Kecepatannya lebih tinggi dari semua mata-mata yang pernah kutemui. Apakah dia Fu? Hanya Fu yang bisa secepat ini. Tapi ... mengapa Fu tidak langsung menemuiku?' Shaw bertanya-tanya dalam hati.'Tunggu—' Lagi, Shaw membatin. Ia merasakan keberadaan haki lain, selain dari haki sang mata-mata yang melesat. 'Lebih dari satu orang!'Semerbak aroma bunga lili menguar tajam dalam sekejap, tercium harum di hidung Shaw. Aneh.Merasa ganjil, Shaw pun berhenti. Lagi. Ia menghirup udara memastikan aroma yang masuk ke indra penciumannya itu.'Apakah ini benar-benar aroma bunga lili?' Benaknya bertanya, yang lebih kepada menebak.Selain harum, aromanya segar dan manis. Na