Langit tak secerah biasanya, sesuai dengan suasana hati Merin. Gadis itu menghanyutkan diri pada udara lembab. Menatap sedu rintik-rintik hujan yang menghujami layaknya jarum tajam.
Penghangat ruangan tampak bekerja lebih keras karenanya. Meski suaranya cukup mengganggu—dan Merin sudah membayangkan benda itu dibanting olehnya, dia tidak melakukannya. Energinya sudah terkuras habis menggulung kebencian pada Daffa. Bahkan setelah kematiannya, pria itu masih saja mengganggu hidup Merin.
Eldric selesai dengan urusan kamar mandinya. Dia segera menghampiri istrinya. Duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan Merin. Berusaha menahan Merin agar tidak terlalu hanyut dalam lamunan dan beralih padanya seorang.
“Sayang, kamu lagi mikirin apa?”
Berpaling dari langit, kelopak mata Merin masih sedu saat menatap Eldric. Kemudian perlahan naik pada rambut basah dan handuk putih melingkar di ten
Seorang pria botak berjaket bomber memasuki salah satu kafe terkenal di Washington D.C. Dia berjalan agak gelisah, tapi berusaha terlihat tak terguncang. Mendekati meja paling pojok dekat jendela. Di mana di sana, satu pria lainnya sedang duduk santai.Pria tua—dengan berewok tipis dan kupluk hitam bergambar kartun Mickey Mouse—memainkan sebatang rokok tak berasap. Walau terlihat jelas kerutan di dahi dan ujung mata, gaya pria itu tampak trendydengan balutan celana jeansdan kaos anak muda serba hitam. Kemudian dibalut dengan jaket kulit berantai yang warnanya hitam pula. Tubuhnya masih tegap dan dia menyemir ubannya dengan warna cokelat.Pelupuk mata pria itu menangkap kedatangan si pria botak. Datar, tanpa antusiasme sedikit pun.“Jo Casper melapor,” kata si pria botak sambil membungkukkan badan. Setelah menerima afirmasi dari Black berupa sekali anggukan, p
10 TAHUN YANG LALUBadai salju tahunan melanda ibukota Amerika Serikat. Salju sebesar biji jagung bagai terlempar dahsyat bersamaan dengan angin kencang. Saking cepatnya ia turun ke bumi, hampir satu jam salju-salju itu menggunung di jalanan dan tempat-tempat lainnya.Banyak mobil-mobil terjebak di tengah jalan. Tidak bisa bergerak karena gundukan salju yang menyebalkan malam itu. Pria dengan kupluk hitam bergambar karakter Mickey Mouse duduk di kursi kemudi. Bajunya tampak lusuh. Dia juga merasa pegal, mual, dan nyeri di beberapa bagian.Ruas-ruas jari yang besar dan berurat memutar volume radio menjadi lebih nyaring. Supaya berita tentang badai ini terdengar jelas di kuping majikannya.Sekaligus menenggelamkan suara wanita di jok belakang—penuh riasan glamour— yang tak henti-hentinya mengomel. Namun, tetap saja. Sebagai seorang rendahan, dia tak boleh melewatkan satu omelan itu dan wajib senantiasa menjawab. Meladeni majikan dengan kata-kata menenangkan akan berakhir sia-sia.“Ada b
Hari terakhir Eldric bekerja sebelum cuti. Semangat pria itu membumbung tinggi. Dilihat dari binar gembira dan senyuman lebar yang ditorehkan sejak bangun pagi. Caranya melahap roti bakar pun sambil berseri-seri.“Kamu tahu? Aku seperti meladeni anak TK di hari pertama masuk sekolah,” ledek Merin.Gerakan mengoles selai cokelat pada roti dibuat sehalus mungkin. Merin menyetarakannya dengan melodi dari lagu klasik yang diputar pagi itu. Kadang, gadis itu kesulitan menahan tawanya karena suasana hati Eldric yang tidak setenang melodinya, melainkan lebih menggebu-gebu. Dan, pria itu sama sekali tidak terpengaruh.“Apa kerjaanmu banyak hari ini?” Merin selesai dengan oles-mengoles, lalu menempatkan roti itu ke piring Eldric. “Kamu juga harus coba roti selainya,” timpal Merin.“Tidak, banyak. Cuma menangani tiga kriminal istimewa yang hampir sampai pada tahap akhir,” beber Eldric.Kilat penasaran tercermin dari mata Merin. Dia menyidekapkan tangan di meja. “Oh, ya? Siapa yang terburuk?”“N
Lengkingan listrik meyayat otak remaja yang tampak pucat dan lesu. Banyak garis membelah kulit bibirnya. Namun, penampilan Daniel Harrison bisa dibilang lebih baik dari sewaktu Eldric melihatnya di layar besar.Kaos dalam lusuh telah berganti dengan kemeja dan celana yang layak pakai. Begitu pula dengan rambut ikal yang ditata rapi. Hanya saja, dia merasa angin kencang terus menyerbu ke arahnya.Lengkingan itu terhenti dan tersisa desauan angin. Daniel segera menurunkan tangan dari telinga. Kelopak mata berbulu lentik dibuka selebar-selebarnya. Dia pun mendapati situasi berbeda.Euphoria di sirkuit.Menganga, Daniel berputar. Menggosok-gosokkan mata biru yang ditanamkan di syarafnya. Dia tidak sendirian di tempat ini. Amat sangat banyak orang di sini memenuhi kursi penonton. Aneh sekali sebab mereka semua tidak berfokus pada seorang anak yang berada di tengah sirkuitKebingungan Daniel bertambah saat sorak sorai mereka semakin nyaring. Ke suatu titik yang pasti. Mata Daniel lantas men
Bolak-balik Eldric memangku tumpukan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Bagian Merin menyiapkan perlengkapan dan perbekalan, termasuk makanan, minuman, obat-obatan dan P3K.Keduanya telah meninjau Fantasia Island berhari-hari. Pulau itu memang menjadi hak milik Eldric dan Merin, tapi yang menjaganya tidak berubah. Ialah keluarga Luthers, ada Pak James Luther, Bu Kareen Luther, dan—satu-satunya bayi laki-laki berusia enam bulan—Jake Luther.Mereka adalah imigran legal yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk merawat pulau-pulau tak berpenghuni. Tentunya dibantu fasilitas lengkap berikut tempat tinggal, sandang, pangan, dan keamanan. Serta ada tim yang akan melakukan pemeriksaan berkala setiap tahunnya.Meski baru berkomunikasi secara virtual dengan Pak Luther, Eldric mendapat kesan baik dari obrolan mereka.Bagi Eldric, Pak Luther adalah sosok yang bersahaja.Merin menggeser gorden raksasa dalam dua arah. Kelap-kelip bintang-bintang terlihat menaungi Sydney di malam hari. Gemerla
Kursi rotan bergoyang tenang di depan hangatnya bara api. Menopang Eldric yang sedang rileks membaca buku. Musik klasik Una Voce Poco Fa lumayan meredam gemuruh petir di luar sana. Akhirnya semua barang telah dibenahi. Kini, dia dan istrinya tinggal menikmati hari pertama setelah perjalanan panjang yang melelahkan.Menantikan malam yang akan sangat memabukkan.Di atas karpet berbulu putih yang halus, Merin menekuk lutut sementara cahaya layar laptop memantul ke wajahnya. Kadang dia mengigiti buku-buku ibu jari, lalu mengotak-atik kibord lagi.Eldric mengintip di balik lembaran-lembaran buku.“Bukankah pekerjaanmu sudah diselesaikan sebelum berangkat?”“Heem, masih ada yang harus kurevisi sedikit,” kata Merin membuat perumpaan sekecil jarak ibu jari dan telunjuk.“Jangan sampai terlalu larut. Kamu akan menyisakan tenaga untukku, kan?” rengek Eldric manja sambil memeluk buku.“Apa sih ....”Semburat kemerahan muncul di kedua bilah pipi Merin. Gadis itu membenamkan dahi di atas kibord, t
Saling bertautnya tangan Loey dan Olivia menambah kelegitan pada malam itu. Mereka mencoba beradaptasi pada hubungan ini sebaik mungkin. Semburat merah muda kerap kali muncul di kedua bilah pipi Olivia. Gadis itu mendadak seperti putri malu yang menguncup disentuh senyuman Loey.Sementara untuk Loey, ini merupakan hal baru baginya. Setelah melewati puluhan purnama, akhirnya dia membuka diri untuk orang lain—tepatnya, teman; sahabat; kerabat kerja. Dia bingung sendiri menentukan peran Olivia sebelum dia memilihnya menjadi yang teristimewa. Karena dulu di mata Loey, semua orang yang berada di sekelilingnya berada dalam satu garis lurus. Orang-orang asing yang punya tujuan ketika berkomunikasi dengannya.Mereka sekadar bertemu. Melakukan tugas dan tujuan, lalu berpisah. Kemudian dia akan mendapati dirinya seoran
Kelopak mata Merin terbuka kasar. Seiring dengan deru napas yang belum beraturan. Mimpi yang mampir terasa amat melelahkan. Dia tidak mengingat secara detail, tapi mimpi itu meninggalkan bekas kekhawatiran menyesakkan di relung hati. Namun, dia penasaran akan penyebabnya. Mimpi seperti apa itu?Berbaring menyamping membelakangi Eldric, Merin tertegun. Terdapat sedikit celah untuk mengingat. Kilasan mimpi itu tergambar dalam potongan-potongan kecil. berbumbu kegelapan yang menyelimuti di dalamnya. Eldric. Pulau itu.Punggung suaminya tampak menjauh. Berlari terus-menerus masuk ke dalam gelapnya hutan di Pulau Fantasia. Tidak peduli seberapa keras dia memekikkan nama Eldric, pria itu tak kunjung berbalik. Dia seolah terjebak di dalamnya, tanpa mengucapkan selamat tinggal.Merin mendapati dirinya roboh. Bersimpuh di atas pasir sembari tak henti-hentinya memohon. Hatinya bagai dipukul besi. Tangis darah mengalir dari pelupuk