"Ada apa kalian kesini? " tanya Mas Tio, terdengar jika ia tak suka dengan kehadiranku dan juga Papa. "Duduklah dulu, jika ada tamu itu seharusnya kau menyambutnya dengan baik, bukankah begitu ajaran yang Rasulullah SAW berikan? " ucap Papa sarkas. "Duduklah, dan katakan ada perlu apa kalian datang kemari!" ucap Mas Tio dengan suara yang cukup tegas menurutku, tapi itu tak menyurutkan keberanianku. "Jadi kedatangan kami kemari ingin meminta kalian segera meninggalkan rumah ini, " ucapku sembari menatap tajam Mas Tio dan Mbak Tiwi yng sudah duduk di depanku. "Atas dasar apa kamu menyuruh kita pergi dari sini? Rumah ini peninggalan orangtua ku, jadi sudah pasti rumah ini milikku. ""Mas lupa? Darimana rumah ini berasal? " "Ya aku tahu, uangnya dari Papa mu kan, tapi rumah ini atas nama orang tuaku, jadi akulah sebagai anak kandung yang mewarisinya bukan kamu, " ucap Mas Tio dengn senyum jumawa. "Oh ya? Lalu sekarang aku tanya dimana surat rumah ini berada? " "Ada kok a
"Dasar wanita serakah! Bukankah hartamu sudah banyak! Lalu untuk apa lagi rumah kecil yang kami tempati ini! Seperti itukah sikapmu terhadap saudara yang sedang sudah seperti kami ini! " langkahku terhenti saat mendengar makian dari Mbak Tiwi. Ck! Sungguh memuakkan, dasar manusia tak tahu malu, dia lupa jika dulunya dia lebih kejam dari pada aku? Karena terlanjur kesal aku kembali menoleh pada Mbak Tiwi, lantas aku mendekatinya dan tanpa tedeng aling-aling, aku merampas kembali uang yang baru saja kuberikan padanya untuk membayar kontrakan tadi."Ini definisi wanita serakah yang sebenarnya, bukankah aku sudah berbaik hati dengan memberikan sedikit uang untuk tempat kalian bernaung? Tapi sayang, manusia tak tahu diri sepertimu rasanya tak pantas untuk mendapatkan sedikit kebaikan dariku, " desisku sembari menatap tajam Mbak Tiwi."Hei, kembalikan uangku, bukankah kau sudah memberikannya pad kami! " pekik Mbak Tiwi.
"Masa sih Mas Tio sampe mau ceraikan Mbak Tiwi? " ucap Mas Anam padaku, saat aku sudah berada di peraduan dam kini tengah memeluk suamiku."Iya, Mas, begitulah kejadiannya tadi, sungguh aku tak menyangka aku mengira Mas Tio dan Mbak Tiwi adalah pasangan yang cocok, cocok dalam berbuat hal yang memalukan. ""Yah mungkin memang selama ini Mas Tio berbuat begitu karena tekanan dari Mbak Tiwi kali, dan sekarang ia baru sadar. ""Iya, Mas, tapi setidaknya mereka jangan seperti itu juga, apalagi ini di depan Dea, anaknya, kasihan Dea, anak sekecil itu harus ikut merasakan masalah yang menimpa orang tuanya. ""Yah, mau gimana lagi, Dek,&nbs
"Memangnya berapa hutang dia, Bang?" tanyaku pada Bang Jemi."Kenapa rupanya? Mau kau bayarkan?" sentak Bang Jemi padaku."Hanya bertanya apa tidak boleh? Memang seberapa besar sampai kalian harus menyita rumah Lintang?""200 juta, sanggup kau bayar ha!" aku membulatkan mata, besar sekali hutang yang Lintang punya, untuk apa uang sebanyak itu? Berbagai Pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benakku."Untuk apa kau hitang sebanyak itu Lintang?""Untuk, untuk nebus Mas Bagas, Mbak," ucap Lintang lirih tapi aku masih bisa mendengarnya."Kenapa? Suamimu itu bersalah, jadi sudah seharusnya dia mempertanggungjawabkan perbuatannya! Lalu kenapa tidak juga keluar?""Ternyata penjaga nya minta 350 juta, Mbak, jadi uangnya tak cukup.""Lalu kenapa tak kau kembalikan uangnya kalau tidak cukup.""Sudah berbunga, Mb
"Padahal aku pengennya perempuan lagi, Mas.""Kan udah, Dek?""Iya tapi kan sama Mama.""Yah nanti kita buat lagi kalau si utun sudah lahir," Mas Anam menaik turunkan alisnya sembari tersenyum menggodaku."Mas Anam apaan sih, malu didengar Bu Dokter." ucapku tersipu."Hehehe, ya gak papa, Dek, namanya juga suami istri, ya kan, Bu Dokter?""Itu sudah biasa Bu Riri, jadi dimaklumi," jawab Bu Dokter sembari tersenyum. Setelah selesai periksa dan semuanya baik-baik saja, akhirnya kami pamit pulang, tapi sebelum itu Dokter meresepkan vitamin untuk aku konsumsi beberapa minggu kedepan.
"Huh dasar sombong, bukannya mempersilahkan masuk malah ditanya lagi apa, apa dia buta kalau aku sudah menunggu mereka hingga jamuran disini dari tadi ?" gerutuku yang tentunya hanya dalam hati, mana mungkin ku lontarkan kata-kata barusan pada Riri. Bisa berabe nanti."Mbak, Mas, maaf. Aku kesini mau minta tolong," ucapku dengan wajah yang kubuat sesedih mungkin."Tolong? Tolong apa?""Aku mau tinggal disini untuk sementara sampai aku mendapatkan kerja.""Kamu? Mau tinggal disini? Apa aku gak salah dengar?""Enggak, Mbak, aku minta tolong ijinkan aku tinggal dirumahmu, Mbak kan tahu rumahku disita sama Bang Jemi, sekarang aku gak tau lagi mau tinggal dimana, sedangkan uangku sekarang hanya tersisa lima puluh ribu lagi," sengaja aku menjual kesedihan pada mereka, biar mereka mengadihaniky dan mengijinkan aku untuk tinggal disini."Bagaimana, Mas?" tanya
Kumasukkan uang yang baru saja diberi oleh Mas Anam, otakku terus berpikir untuk melakukan sesuatu yang sekiranya akan membuat mereka kapok untuk tidak lagi semena-mena terhadapku. Mereka belum tahu sedang berhadapan dengan siapa sekarang.Kakiku terus saja melangkah entah sudah sampai dimana saat ini aku, kuputuskan untuk istirahat sejenak di warung dekat aku berdiri saat ini, tenggorokanku rasanya sangat haus, seperti habis berjalan puluhan kilometer jauhnya. Sembari minum dan duduk di kursi yang disediakan pemilik warung, aku memikirkan apa yang akan aku lakukan untuk membalas Riri si sombong itu.Saat mataku melihat kekanan dan kekiri tiba-tiba mataku terhenti pada satu objek yakni bensin. Yah, ide brilian terlintas di otakku. Aku akan membakar rumah Riri si sombong itu. Rasakan kau Riri, kali ini riwayatmu akan tamat. Seandainya Riri cacat maka dengan sangat mudah aku akan merebut Mas Anam dari sisi Riri karena sudah kupastikan Ma
Kuedarkan pandanganku mencari spot atau sesuatu yang sekiranya mudah untuk dibakar hingga api akan dengan mudah menjalar ke seluruh rumah Riri. Hingga aku menemukan gazebo berbahan daun kering dan kayu yang sengaja dibuat mepet dengan tembok rumah Riri. Rasanya dewi fortuna sedang berada di pihakku saat ini, dengan mudahnya aku menemukan celah untuk melancarkan aksiku kali ini.Sebelum aku membakar gazebo tersebut, ku pastikan sekali lagi kalau keadaan di sekelilingku aman. Dan saat kurasa memang beneran aman, aku kembali menuju gazebo yang kutemukan tadi. Kusiramkan sedikit demi sedikit bensin di gazebo, lalu sisanya ku siramkan ke sebagian dinding rumah Riri. Kini saatnya ku nyalakan korek api yang tadi aku beli.Crash, api kecil menyala dari korek yang aku bawa, hahaha, selamat tinggal Riri, semoga nasib baik berpihak padaku, salah siapa kau selalu menghalangi kebahagiaan hidupku, kini nikmatilah neraka duniamu, bye, Riri. Saat aku akan melempar korek yang masih aku pegang, tiba-t