"Aku ...." Mas William menjeda ucapan. Tatapan sendunya membidik tepat pada kedua mata ini. "Aku malu. Sangat malu padamu.""Malu?" Dahiku mengernyit.Mas William membuang muka seraya mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menatapku lagi."Aku merasa enggak pantas menjadi papanya. Sudah terlalu banyak kesalahan yang kulakukan padamu, Lusi. Bukan hanya membiarkanmu berjuang sendirian melahirkan putri kita, tapi juga sering menorehkan luka. Aku gagal, aku payah. Aku enggak becus menjadi suami dan papa yang bertanggung jawab," tuturnya dengan mata berkaca-kaca."Bukannya karena Mas marah dan benci padaku?" Kuremas kembali gamis di pangkuan demi menahan diri agar tak meneteskan air mata."Marah? Tentu. Saat itu aku sangat marah padamu. Aku kecewa, hatiku sakit. Tapi semua itu enggak seberapa dibandingkan rasa maluku. Aku merasa menjadi laki-laki paling tidak berguna di dunia. Apalagi dengan kondisi lumpuh dan enggak berdaya. Untuk mengurus diri sendiri saja kesulitan, apalagi mengurus kalian?
Kupandangi wajah Hafsha yang sedang tidur seraya mengusap pipinya lembut. Tersenyum mengagumi bulu matanya yang panjang dan lentik persis seperti Mas William."Papamu sudah datang, Nak. Kamu mau 'kan bertemu dengannya, hm?" Aku bergumam sendiri, lalu menoleh pada meja kecil di dekatku dan meraih kartu nama dari sana.Aku berpikir sejenak, lalu mengambil ponsel dari meja dan mulai menekan angka demi angka dari nomor ponsel Was William. Jari berhenti bergerak ketika hanya tinggal menekan ikon memanggil. Keraguan kembali hadir mengganggu sampai akhirnya ponsel kuletakkan lagi.Tiga hari sudah berlalu dari pertemuan kami di kafe itu, tapi aku belum memberi kabar. Bukan tak memperbolehkan dia untuk bertemu dengan putrinya. Tentu saja boleh. Hanya saja, aku belum siap dengan diri sendiri. Takut akan semakin sulit melupakan jika kami sering bertemu."Mungkin sebaiknya aku datang menemui dia ke hotel. Hafsha butuh papanya. Begitupun dengan Mas William yang berhak mencurahkan kasih sayang pada
Aku spontan menoleh dan sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang to the point itu. Aku kembali menghadap lurus ke depan sambil menggeleng."Kenapa? Aku yakin enggak sedikit pria yang mencoba mendekatimu. Bahkan ada yang sudah coba melamar, kan?"Kembali aku menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut."Maaf. Aku terpaksa memata-mataimu."Kubuang napas kasar, lalu kembali memalingkan wajah darinya."Apa lagi yang Mas tahu tentangku?""Banyak. Kecuali kegiatan kalian di dalam rumah.""Haruskah memata-mataiku seperti target operasi?""Terpaksa. Aku ingin tahu semuanya tentangmu, juga tentang Hafsha," jawabnya dengan tenang. "Benar 'kan pertanyaanku tadi?""Iya.""Kenapa ditolak? Apa ... mereka jauh dari kriteriamu?"Aku menggeleng."Lalu?""Mereka semua insyaallah orang baik. Menolak bukan berarti aku tidak suka dengan orangnya. Tapi memang aku enggak siap untuk menikah lagi. Aku sudah nyaman hidup sendiri. Bisa fokus merawat Hafsha dan membahagiakan diri sendiri."Hening.Mas Willilam ta
Rujuklah denganku.Permintaan Mas William selalu terngiang-ngiang. Terbayang-bayang setiap saat sampai aku tak bisa tidur nyenyak. Saat dia mengatakan itu, aku membeku sesaat. Jujur saja. Separuh hati senang, tapi separuh hati menentang. Seakan ada dua sisi dalam diri yang sedang berperang dan entah sisi mana yang akan menang.Aku masih mencintainya, tapi tak yakin siap kembali bersama. Merasakan pernikahan dua kali dan gagal kedua-duanya meninggalkan bekas dan trauma. Merasa diri ini tak pantas bersanding dengan siapa pun.Penolakan kuberikan saat itu juga, tapi Mas William tak gentar. Setiap hari datang ke sini dengan menggunakan Hafsha sebagai alasan. Ada saja yang dia lakukan untuk menarik perhatian. Dia memberikan kejutan-kejutan kecil seperti yang sering dilakukan saat kami masih suami istri dulu."Sebentar," ujarku, lalu beranjak bangun dari sofa dan berjalan lesu menuju pintu.Memikirkan masalah cinta ini memberikan beban tersendiri. Aku dilema. Kepala dari semalam pusing buka
"Mas! Mas!"Aku yang baru pulang membeli jajanan untuk Hafsha dari supermarket sedikit heran, ketika melihat Alia lari keluar rumah dengan raut wajah panik."Ada apa?""Itu, Mas. Mbak Lusi.""Iya. Kenapa dengan Lusi?" desakku tak sabar."Mbak Lusi pusingnya sudah enggak tahan. Dia minta tolong aku antar ke dokter.""Tuh, kan, apa kubilang."Aku ikut panik dan segera memutar balik arah menuju mobil yang kusewa dari rental."Kamu ikut saja. Tolong jagain Hafsha nanti di rumah," pintaku pada gadis muda itu."Iya, iya. Aku kunci pintu rumah dulu." Dia bergegas mengunci pintu rumah, lalu mengambil alih Hafsha dari gendongan dan naik ke mobil.Sesampainya di depan gang, kami segera turun dan berlari menuju kontrakan. Beberapa warga yang berpapasan terlihat heran melihat kami yang terburu-buru seperti ini."Lusi? Buka pintunya, Lus!" seruku seraya mengetuk pintu kontrakan. Sudah coba kubuka langsung, tapi ternyata dikunci."Kamu tidur? Buka dulu pintunya! Ayo ke dokter!" seruku lagi dengan d
Setelah tiga hari menjalani perawatan, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Mas William setia menemani di rumah sakit sampai mengantar pulang dengan kursi roda. Dia juga membantuku menjaga dan mengurus semua keperluan Hafsha.Sementara, aku yang tak bisa beraktivitas sendiri ini mau tak mau terpaksa merepotkan orang lain. Alia selalu ada untuk membantu dan menginap di kontrakan ini. Aku merasa bersalah dan malu, tapi Alia selalu menenangkanku.Aku yang tak bisa berjalan sempurna ini harus diantar dan dipapah dengan sangat hati-hati ketika hendak ke kamar mandi. Untung saja yang tak berfungsi dengan baik itu sebelah kiri dan syukurnya, sekarang bisa digerakkan walau masih terasa berat.Setiap pagi saat bangun tidur, aku mengikuti intruksi yang diajarkan dokter. Harus dibiasakan menggerakan tangan dan kaki lagi atau selamanya akan kaku. Tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Aku ingin kembali normal dan bisa menggendong Hafsha dengan leluasa."Jangan nangis terus."Aku mendongak dan mendap
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"