Sawitri bersiap untuk mengantar putra bungsunya ke rumah sakit untuk mendapatkan imuniasi lanjutan. Aaraf sekarang sudah sepuluh bulan, sudah belajar berjalan. Kadang-kadang sedikit merepotkan sebab Aaraf sudah pandai menjangkau benda-benda di sekelilingnya yang membuat bayi gembul itu penasaran. Bahkan kedua kakaknya sering dibuat gemas. Sesekali juga keduanya harus mengalah, terutama Safiya, sebab adiknya lebih butuh perhatian. Namun di antara ketiganya, Aidin lah yang paling sering membuat drama. Selalu ada rasa cemburu di hatinya, bila sang adik yang lebih sering digendong.“Abang, kan sudah besar. KashHan bundanya kalau Abang sering minta digendong,” bujuk Safar pada putranya, saat anak itu merajuk sebab Sawitri hanya menggedongnya sebentar. Sementara Aaraf juga sedang rewel karna bayi itu sedang tumbuh gigi.Namun sebisa mungkin Sawitri menyamakan perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada ketiga anak-anaknya.Pada Safiya yang beranjak remaja juga Sawitri selalu meluangkan
“Kak, itu kayanya mama Liana, Ya?” Sawitri mengguncang pelan bahu Safiya kemudian menunjukkan ke arah poli anak. Tampak Liana yang sedang duduk memangku Eldrik yang menggunakan bye bye fever di dahinya.“Iya, itu mama, Bunda. Sama adek Edrik kayanya,” sahut Safiya mengikuti arah pandangan ibu sambungnya.“Ayo kita sapa!” ajak Sawitri. “Mas, itu mbak Liana kayanya anaknya lagi sakit,” ucap Sawitri lagi.Kemudian Safar berbalik dan melihat mantan istrinya itu sedang duduk memangku anaknya. Namun ia tak melihat Daren. Apa suami Liana itu tak menemani?“Nggak ambil nomor antrian dulu ka, Sayang? Biar nggak terlalu jauh dapatnya,” tanya Safar mengingat waktu hampir siang. Pria ini juga sebenarnya tak enak menyapa Liana bila suaminya tak ada. Meski ada Sawitri namun ia merasa lain saja. Meski mengatakan sudah tak ada perasaan apapun, namun namanya dua manusia dewasa pernah bersama di masa lalu pasti tetap ada rasa lain. Entah itu perasaan suka yang masih tersisa, atau perasaan kecewa dan be
Mendung kembali memayungi langit sore. Mendung gelap yang menutupi rona jingga di ufuk barat juga membawa angin yang meniupkan daun-daun yang mulai bersemi. Bukan hanya dedauna yang kering yang gugur namun juga dedaunan yang hijau jatuh terhempas ke bumi yang mulai basah karna rintik hujan. Butiran bening yang jatuh dari langit itu laksana mutiara yang terlepas dari tali gelang yang putus. Jatuh satu-satu dan pecah di atas tanah hingga partikelnya membuat jalanan batako di depan rumah bu Mutia menjadi basah. Sesekali sang nyonya rumah melirik keluar dari balik jendela. Melihat hujan yang mulai deras dan iringan petir yang mengaum di atas langit, membuat bu Mutia sedikit khawatir menunggu kepulangan pak Cipto. Sudah beberapa kali wanita ayu ini menghubungi nomor ponsel suaminya, tapi tak aktif. Bu Mutia berharap agar suaminya tak menyetir sendiri, sebab pandangannya akan terbatas oleh derasnya hujan yang sudah sangat curah. Hampir magrib namun pak Cipto belum juga tiba di rumah. I
“Astagfirullah! Mas!” bu Mutia terperanjat kaget dari tidurnya. Gelegar petir yang cukup keras disertai cahaya kilat yang menembus di celah jendela kamar besar itu, membuatnya terjaga. Juga karna elusan di pipinya dari sebuah tangan yang terasa cukup dingin. “Maaf, Sayang. Mas bikin kamu kaget. Capek nunggu, ya?” pak Cipto mendekat lalu ikut naik keatas pembaringan kemudian merebahkan dirinya di samping istrinya yang lelah menunggunya pulang. “Iya, Mas. Nggak biasanya kamu telat pulang kaya gini. Telepon juga nggak aktif,” sahut bu Mutia memberikan punggung pada suaminya. Lelakinya itu sudah mandi, wangi sabun menguar dari tubuh yang masih cukup kekar itu. bahkan terlihat pak Cipto baru selesai menunaikan sholat isya. Terlihat dari sarung shalat yang masih ia pakai, hanya atasannya saja yang sudah pak cipto buka. Lelaki ini hanya menggunakan kaos singlet putih saja. Kemudian pak Cipto memeluk erat tubuh yang tiap malam memberinya kehangatan, lalu ia layangkan kecupan berulang dan d
Semilir angin subuh meniup dedaunan yang ikut bertasbih di pagi buta ini. Dinginnya subuh diiringi gerimis halus diluar sana, membuat sebagian orang lebih senang menarik elimut kembali setelah penghambaan diri kepada sang Ilahi ditunaikan.Diluar masih cukup gelap, lampu jalan pun masih menyala. Sinarnya membias diantara gerimis yang turun, menampilkan siluet alam yang begitu indah.Dua rakaat sudah pak Cipto tunaikan. Memohon pengampunan atas dosa yang ia lakukan kemarin bersama perempuan masa lalunya. Perempuan yang kembali datang membawa luka cinta dalam hatinya.Meski kemarin pak Cipto mengatakan hanya mencintai istrinya saja, namun wajah sendu dan tatapan memohon dari Marina seolah enggan pergi dari benaknya. Mengusik hatinya yang ingin setia pada satu wanita saja.Rasa lelah dan netra yang masih ingin terpejam membuat pak Cipto ikut-ikutan menarik selimut lagi. Emejam dibawah hangatnya selimut kuning gading berwangi lavender kesusakaan istrinya.Lelaki ini kembali masuk ke dala
“Mas, kemarin habis pelukan dengan perempuan siapa?” Bu Mutia menyerahkan kemeja kerja itu pada pak Cipto dengan netra yang berkaca, membuat pak Cipto diam membeku, kelu sesaat. Tatapannya nanar tertuju pada kemeja yang ia gunakan kemarin.Lelaki ini pikir istrinya tak akan menemukan kemeja itu. Kemeja yang jelas tercium wangi lembut khas seorang perempuan."Mas!" Hardik bu mutia pelan. Dadanya terasa dihimpit batu saat melihat suaminya terdiam seolah terkejut melihat bu Mutia menemukan kemeja itu."A-apa maksudnya, Sayang?" Gugup pak Cipto balik bertanya berusaha menyembunyikan kegugupannya."Kamu berbohong lagi, Mas. Jelas kemejamu berbau parfum perempuan." Netra bu Mutia berkaca. Buliran bening itu menggumpal seolah tak tahan untuk tak jatuh."Sayang, nggak gitu." Pak Cipto mendekat ingin menggapai istrinya yang nampak terluka.Lelaki ini telah berbohong. Sebab tak mungkin jujur. Namun kebohongannya justru bisa dibaca oleh istrinya."Jangan mendekat, Mas!" elak bu Mutia begitu sak
Lili cukup terkejut saat menerima telepon dari ibunya. Tak biasanya wanitanya yang melahirkannya itu izin dulu bila akan sambang ke desa. Padahal ibunya bukan ingin menginap di rumah Lili dan Herdi, tapi beliau akan menginap di rumah nenek. Hal biasa yang ibunya lakukan di akhir pekan."Nanti ibu, datang sendiri, Li. Bawalah cucu ibu. Biar ibu ada teman," kata bu Mutia di telepon."Lho kok ibu datang sendiri?" Lili bertanya heran. Tak biasanya. Semenjak ibu dan ayahnya rujuk, kemana-mana mereka pasti berdua."Nggak apa-apa. Ayahmu masih sibuk. Sedangkan ibu, sudah kangen dengan rumah di kampung." Suara bu Mutia terdengar tenang. Tak mungkin memberitahukan tentang khilaf yang ayahnya lakukan. Meski pak Cipto tak mengaku, firasat dan bau parfum itu sudah menjadi bukti. Setidaknya, bu Mutia yakin bila mereka pasti melakukan pelukan."Apa perlu aku kasi tahu mas Herdi untuk jemput ibu? Mas Herdi akan ada pelatihan di kota selama tiga hari, Bu." "Boleh, tapi kalau suamimu sibuk, nggak us
Pak Cipto benar-benar telah memblokir nomor telepon Marina . meski bayangan memohon wanita itu kerap hadir menghantui benaknya, namun lelaki ini berusaha keras melupakan bayangan wajah itu.Wajah terluka bu Mutia benar-benar membuat pak Cipto merasa bersalah. Meski sejak kejadian itu bu Mutia terlihat enggan berdekatan dengannya, tapi setidaknya ia berhasil menggagalkan wanitanya itu pergi lagi.Cukuplah apa yang ia lakukan bersama Marina kemarin menjadi dosa terakhir. Ya, dosa yang kembali terulang. Dosa nikmat yang dulu menjerumuskan pak Cipto dalam kubangan penyesalan.Ah, mengapa Marina harus hadir kembali. Apa tak ada lelaki lain yang mendekati?. Benak pak Cipto bertanya-tanya. Marina jelas masih muda. Masih empat puluhan, masih cantik dan segar, tapi mengapa harus tergila-gila pada pak Cipto yang sudah berumur ini. Meski tak dipungkiri, pak Cipto juga masih tampan dan gagah. Tubuhnya cukup terjaga. Bahkan perut lelaki yang sudah memiliki dua cucu ini, tetap proporsional. Meski