"Aku berada dimana?" Aisyah bergumam memandang ke sekeliling ruangan.
Kamar sederhana ukuran 3x4 dengan satu lemari kecil dan kasur yang hanya muat satu orang."Apa yang sudah terjadi? dimana aku?" Aisyah bicara sendiri. Ia pun berusaha bangun dari tidurnya. Namun sakit di kepalanya seakan memaksa ia merebahkan kembali badannya diatas kasur kecil itu.Samar samar terdengar orang yang berbicara."Siapa sebenarnya mereka?" Aisyah berusaha mencari jawaban. "Bagaimana aku bisa berada disini ?" Aisyah bergumam. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi."Ya Allah, aku pingsan rupanya, tapi siapa yang membawaku kesini?"Belum sempat Aisyah berkata lagi, tampak seseorang membuka pintu kamar dari luar."Kamu sudah siuman rupanya, baguslah, seenggaknya aku nggak perlu repot repot nungguin kamu!" ujar seorang wanita cantik masuk menghampiri Aisyah."Karin...!" seru Aisyah tertahan. Matanya kembali berkaca kaca tatkala mengingat dengan jelas perlakuan Abimana kepada dirinya. Ia masih tidak percaya, wanita yang selama ini menjadi selingkuhan Abimana adalah sepupu yang sangat ia kasihi. Sepupu yang ia bantu dari kecil ternyata tega bersekongkol dengan Abimana untuk menghancurkannya."Tolong aku, Karin, aku berada dimana? badanku terasa lemas dan sakit sekali," ucap Aisyah memelas."Apaa...? menolong kamu? beruntung kamu tidak dibiarkan mati di jalanan juga oleh kami, cepat makan! kalau tambah sakit aku juga yang repot ngurusin kamu! denger ya, kalau bukan karena harta kamu yang belum kami miliki semuanya, mana mau aku berbaik hati memberi makan kamu!" bentak Karin."Apa Aisyah sudah bangun? cepat beri makan wanita itu sekarang! kalau sampai dia kenapa napa kita juga yang repot mencari informasi mengenai surat surat berharga lainnya!" terdengar suara seseorang yang tidak asing lagi bagi Aisyah."Mas, Abi..." lirih Aisyah. "Ternyata dia belum puas hanya dengan menguasai perusahaan dan rumahku saja, dia menginginkan semua asetku!" gumam Aisyah kesal.Dalam hati ia sangat menyesal karena telah mempercayai Abimana dengan sepenuh hati."Aku harus makan makanan ini, aku butuh tenaga untuk melawan mereka" ucap Aisyah dalam hati. Ia pun segera melahap makanan yang diberikan Karin sampai habis tak bersisa."Sudah berapa hari kamu nggak makan, Aisyah?" cibir Karin yang melihat Aisyah makan dengan lahap. Tak ingin membuang tenaga berdebat dengan Karin, Aisyah terdiam. Ia berfikir bagaimana caranya bisa keluar dari sekapan dua manusia jahat ini."Aduhh... Karin, tolong aku! kepalaku sangat pusing sekali, tolong bawa aku berobat!" Aisyah berucap dengan wajah memohon kepada Karin."Jangan pura-pura kamu, Aisyah!" bentak Abimana yang tiba-tiba muncul dihadapannya.Aisyah membuang muka sejenak karena merasa jijik melihat wajah Abimana."I...iya, Mas! aku sangat lemas sekali, tolonglah aku,Mas! kali ini saja," Aisyah kembali memohon."Sayang, bawa saja dia ke berobat, kalau dia mati kita belum mendapatkan semua harta dia, kita juga yang rugi dong, Sayang," ucap Karin bergelayut manja kepada Abimana."Ishhh...merepotkan aku saja kau ini, Aisyah! ayo, Sayang, kita siapkan mobil untuk membawa perempuan ini berobat," ujarnya penuh kekesalan.Aisyah yang mendengar langsung pembicaraan itu seketika seakan mendapatkan kekuatannya kembali. Ia mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar menahan amarah.Sepeninggal mereka, Aisyah berjalan mengendap-endap ke dapur, ia mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat membela diri nantinya. Mata cantiknya tertuju kepada pisau dapur yang tergeletak sembarang. Tanpa pikir panjang ia pun segera mengambil pisau tersebut dan menyembunyikannya dibalik baju."Mas, mobilnya sudah siap, aku jemput Aisyah dulu di kamar, ya!" seru Karin kepada Abimana.Tak berapa lama, Aisyah mendengar derap langkah kaki Karin dan Abimana menuju kamarnya. Ia pun berpura pura tidur menahan sakit agar Karin dan Abimana tidak curiga.Mereka pun dengan sigap menggotong tubuh kecil Aisyah, sehingga dengan sekejap tubuh Aisyah sudah berpindah ke dalam mobil.Ia di dudukkan di jok depan. Abimana lantas memasangkan safe belt kepada Aisyah. Ia merunduk mendekati Aisyah sehingga Aisyah menghirup bau alkohol yang menusuk hidungnya dari mulut Abimana, membuat Aisyah seketika merasa ingin muntah. Namun, Aisyah berusaha menahannya agar tidak ada yang curiga kalau ia sebenarnya tidak sakit."Cepat masuk ke dalam mobil sekarang! temani Aisyah ke dokter! seru Abimana kepada Karin."Masa aku duduk di belakang sih, Sayang" bibir Karin mengerucut merajuk."Apa nggak sebaiknya kita membawa anak buahmu ikut serta, Sayang?" tanya Karin."Nggak perlu, wanita ini sakit, mana mungkin dia punya kekuatan untuk kabur!" ucap Abimana angkuh.Tak lama terdengar suara mobil dihidupkan.Mobil pun melaju pelan keluar dari area villa yang dijadikan tempat di sekapnya Aisyah.Di tengah perjalanan, tak jauh dari kompleks villa, Aisyah yang pura-pura sakit berusaha membuka safebelt dengan tangan kirinya, supaya Abimana tidak curiga."Jangan banyak bergerak, Aisyah! atau aku berubah pikiran membiarkanmu mati tanpa pengobatan! hardik Abimana melirik ke arah Aisyah, tetapi kembali fokus ke jalanan."Kenapa tidak menjawab hah! apa Kamu tuli ya! aku makin muak melihatmu seperti ini, Aisyah! kamu tak lebih dari perempuan mandul dan miskin yang tidak..." belum selesai kalimat hinaan itu dilontarkan Abimana, dengan gerakan yang sangat cepat Aisyah menancapkan pisau dapur yang dibawanya ke paha lelaki itu, lalu mencabutnya lagi, dan menusukkannya lagi dengan cepat."Arghhhhhhh...sakit...kurang ajar kau, Perempuan sialan!" umpat Abimana sambil meringis memegang pahanya yang berlumuran darah segar."Mas, Abi...! " jerit Karin melihat Abimana berlumuran darah.Mobil pun tanpa arah melaju pelan.Tanpa menghiraukan ucapan Karin dan Abimana, Aisyah segera memegang stir mobil dan menginjak rem sehingga mobilpun berhenti tiba-tiba. Beruntung jalanan sepi dan tidak ada satu kendaraan pun yang melewati mereka."Kurang ajar kau, Wanita sialan," hardik Karin kepada Aisyah. Ia pun segera turun dari mobil dan membuka pintu mobil depan untuk menolong Abimana yang masih kesakitan.Melihat pintu mobil terbuka, dengan sekuat tenaga Aisyah mendorong tubuh Abimana sehingga terjatuh ke pinggir jalan raya.Karin yang tidak siap akan kejadian itu pun ikut tertimpa bobot tubuh Abimana."Aisyah...!"Pekik Karin tertahan, ia sadar harus segera menghentikan pendarahan pada paha Abimana dan membawa Abimana ke rumah sakit terdekat.Melihat pemandangan tersebut, Aisyah hanya tersenyum geli, jijik bercampur dengan dendam menjadi satu. Ia tak menghiraukan makian yang dilontarkan Karin kepadanya.Dengan cekatan Aisyah segera menutup pintu mobil dan membersihkan semua darah yang membasahi jok mobil dengan lap yang sudah disediakan. Ia pun segera tancap gas membawa mobil kesayangannya menjauh dari area tersebut.Tanpa bisa berbuat banyak, Karin dan Abimana hanya bisa berteriak menyaksikan kepergian Aisyah membawa kabur mobilnya.Abimana meringis menahan sakit, penglihatannya mulai kabur, kepalanya berdenyut hebat, sekuat tenaga ia merobekkan bajunya dan mengikat luka tusuk yang dibuat Aisyah kepadanya."Mas, bagaimana ini? kan aku sudah peringatkan kamu untuk mengajak anak buahmu, Mas!" sentak Karin gusar."Tolong mas sekarang, Karin! bawa mas ke rumah sakit segera," tutur Abimana dengan suara melemah. Ia merasakan sakit dan perih yang luar biasa."I...iya..Mas, sebentar, aku panggilkan taksi online dulu ya, aku minta pertolongan warga dulu," ucap Karin lembut sambil berteriak meminta pertolongan warga.Namun sayang, jalanan ini sepi sekali, karena berada di area perkebunan teh, dan hari sudah mulai sore."Bertahan ya, Mas, tunggu taksi online nya " bisik Karin.Abimana yang merasa sudah tak bertenaga hanya bisa mengangguk pasrah. Ia merasakan lemas pada seluruh persendian nya."Kurang ajar! berani beraninya kamu melawan saya, Aisyah!" umpat Abimana geram dalam hati. Ia masih tidak percaya, Aisyah yang kelihatan tidak berdaya mampu melukainya seperti ini."Akan ku temukan kau nanti, Aisyah! akan ku seret kau dari tempat persembunyianmu," hatinya sesumbar."Aaaaaaaarrgggghhhhhh...sakit!!!"Abimana tiba tiba menjerit kesakitan. Abimana merasa semuanya menjadi kabur dan gelap.Abimana pingsan. Melihat Abimana pingsan membuat Karin sangat panik, sedangkan taksi online yang Karin pesan belum nampak."Mas...mas...bertahan ya, Mas! sebentar lagi mobilnya datang kok," ucap Karin. Matanya melebar melihat darah yang terus merembes membasahi potongan kemeja yang menutup luka Abimana."Tolong...tolong...!" Karin menjerit meminta pertolongan. Namun seakan suaranya hanya habis sia-sia, tak ada satupun orang maupun kendaraan yang melintasi mereka. Hari pun mulai beranjak gelap. Kabut pun mulai turun, suasana sepi dan mencekam kini dirasakan Karin.Rasa takut dan cemas akan keadaan Abimana menguasai hatinya.Di tengah kecemasan, Karin melihat sebuah taksi berhenti tak jauh dari tempat mereka berdua.Sopir taksi itupun dengan cepat membantu Karin membawa Abimana menuju rumah sakit terdekat.Setibanya di rumah sakit, Abimana yang mengalami pendarahan h
Di tempat lain,Selepas membersihkan sisa darah Abimana yang masih tercecer di jok mobil dan mengamankan pisau yang digunakan untuk melukai Abimana, Aisyah mengemudikan mobilnya dengan kencang, ia takut Abimana menyuruh anak buahnya untuk mengejar dirinya.Hamparan perkebunan teh dan sayur mayur yang menyegarkan mata, tidak jua membuat Aisyah merasa nyaman. Ia masih merasa trauma dengan kejadian yang baru saja dialaminya.Jalanan yang dilalui Aisyah semakin kecil dan berkelok, maklum saja, orangtua Aisyah membeli villa keluarga itu di tempat terpencil daerah pegunungan di desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Tentu berbeda dengan beberapa villa milik keluarganya yang berada di daerah Puncak.Semakin lama, Aisyah mulai merasakan sedikit ketenangan. Ia mulai mengurangi kecepatan kendaraannya, mengingat jalanan yang harus ia lalui pun tidak bisa menggunakan kecepatan kendaraan yang tinggi.Sesekali, Aisyah menikmati pemandangan sepanjang perjalanan yang begitu indah.Dimana hampar
"Assalamu'alaikum." Aisyah mengucap salam ketika melangkahkan kakinya ke dalam rumah panggung itu. Dengan langkah gontai akibat kelelahan Aisyah duduk di kursi rotan. Peluh mengalir membasahi sekujur tubuhnya. "Bersih sekali disini, tidak sia-sia papa mempercayakan villa ini kepada Abah Entis dan Ma Onah." Gumam Aisyah sambil berjalan menelusuri seluruh ruangan di rumah itu. Rumah panggung sekaligus villa keluarga Aisyah ini hanya memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Rumah ini sengaja didesain sederhana supaya tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya. Terutama saingan bisnis almarhum papanya dulu. Oleh karena itu, almarhum papanya seringkali mengajak Aisyah dan mamanya kesini, untuk melepas penat dari hiruk pikuk ibukota. Puas melihat sekeliling rumah, Aisyah memutuskan untuk beristirahat di kamar depan. Tempatnya sedari dulu jikalau keluarganya menginap disini. Aisyah segera memindahkan barang-barang dari dalam tas dan menyimpannya kedalam lemari. L
"Ibuuuu," Aisyah tetap menangis di pelukan Ma Onah. Aisyah melihat kalau orang yang memeluknya kini adalah ibunya. Ia memeluk wanita yang terus membelai rambutnya penuh kasih sayang itu. "Ini Ema, Non!" Ma Onah melepas pelukannya dan memegang erat tangan Aisyah. Aisyah sejenak tertegun mendengar penuturan Ma Onah. Ia memandang Ma Onah seksama. Memastikan kalau wanita yang dihadapannya kini orang lain. Namun sayang, Aisyah tetap melihat Ma Onah itu ibunya. Dalam pandangan Aisyah, ibunya tengah tersenyum kepadanya. Aisyah yang sedang terpuruk dan sangat merindukan orangtuanya itu menghambur kembali kedalam pelukan Ma Onah. Ia memeluk wanita paruh baya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan pelukannya. "Ibu, Aisyah kangen," rengeknya manja. Ingusnya sampai keluar mengotori baju Ma Onah. "Non Aisyah! ini ema, bukan nyonya!" Ma Onah kembali mengingatkan Aisyah. Namun Aisyah tetap bergeming dan menangis kembali. "Ibu... Mas Abi," Aisyah bicara sambil menangis. Ma Onah akhirnya
"Sudah! non Aisyah jangan nangis terus! nanti cantiknya hilang," hibur Ma Onah."Ma, ustadz nya sudah datang," Abah Entis berbisik sambil mempersilahkan ustadz masuk.Masuklah seorang laki-laki tampan nan rupawan. Memakai koko dan peci putih juga kain sarung dan berkalung sorban hitam mendekati Aisyah."Mas Abi?" Aisyah bergumam."Mas, ini beneran kamu? Kamu mau menjemput aku, Mas?" Aisyah kembali bertanya dengan suara yang jelas."Maaf, saya bukan Abi suamimu. Saya orang lain," jawab ustadz itu menatap tajam ke arah Aisyah."Kamu jahat, Mas! Untuk apa kamu datang kemari kalau bukan untuk menjemput aku?""Pergi kamu dari sini! Aku benci kamu, Mas!" seru Aisyah garang.Ia kemudian mengamuk lagi. Bantal guling Aisyah lempar ke arah ustadz itu. Sementara sang ustadz hanya tersenyum melihat Aisyah seperti itu, perlahan ia mendekati Aisyah."Jangan dekati aku, pergi kamu!" Aisyah histeris. Tanpa disangka, ia mengambil gelas yang berada di meja rias dan melemparnya ke arah ustadz.Hap,Gela
"Istri saya terjatuh saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit ini, dokter." Abah Entis menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami."Saya turut prihatin, Pak! Tetapi, pendarahan istri Bapak harus segera dihentikan,""Tolong segera tandatangani surat persetujuan operasinya, Pak!" dokter itu kembali mengingatkan Abah Entis muda.Bingung dengan biaya operasi yang harus dibayar, Abah Entis terpaku dalam diam. Tak dihiraukannya dokter yang terus memanggilnya."Bapak baik-baik saja?" dokter itu menepuk pundak Abah Entis. Membuat dirinya tersadar dan menoleh ke arah dokter."I-iya, dokter! Saya mengerti, tapi.." ucapan Abah Entis menggantung."Ada masalah?" dokter muda itu menautkan kedua alis tebalnya."Saya bingung dengan biaya operasinya dokter," Abah Entis muda berterus terang."Ijinkan saya yang membayar biaya operasi istri anda, Pak." pasutri yang tadi menolong Abah Entis telah berada di dekatnya."Segera tangani istri Bapak ini, dokter! Saya yang akan mengurus administrasinya
Abah Entis yang lelah setelah setengah hari mengayuh becak mengais rezeki, terduduk lesu melihat puing-puing rumah bedeng yang berserakan dimana-mana.Peralatan rumah tangga bercampur debu dan sampah bercampur jadi satu, tak berbentuk lagi.'Dimana aku tinggal malam ini?' batin Abah Entis.Raut wajahnya memancarkan kegelisahan dan kecemasan mendalam. Bukan hanya bingung mencari tempat tinggal baru, tetapi ia juga harus memikirkan istrinya yang baru pulih pasca operasi dan melahirkan.Terbayang pula tangisan bayi kecil mereka, Abimana. Disaat keinginannya untuk membawa pulang Abimana dan kembali berkumpul bersama, Abah Entis muda harus menerima kenyataan bahwa rumahnya terkena penggusuran."Akang, jangan melamun! kita harus segera mencari tempat tinggal," Ma Onah muda menepuk pundak suaminya."Iya, Nyai!" Abah Entis bangkit berdiri dan membawa bungkusan pakaian yang sudah dirapikan istrinya.Terlihat orang-orang sibuk berlalu lalang pergi meninggalkan tempat itu satu persatu.Abah Enti
Kedatangan ustadz muda bernama Yusuf itu membuat perubahan besar untuk Aisyah.Perlahan tapi pasti, Aisyah semakin kuat dan tegar menghadapi tantangan kehidupan.Pengkhianatan Abimana yang sempat membuatnya depresi, sekarang berangsur pulih dan membaik.Ustadz muda itu sengaja di undang setiap hari oleh Abah Entis untuk mengajak Aisyah dialog seputar kehidupan.Tepat seminggu setelah pertemuan pertama Aisyah dan ustadz Yusuf, kondisi kejiwaan Aisyah telah kembali seperti sediakala.Bahkan, Aisyah kini lebih menyerahkan diri kepada Tuhan penguasa semesta. Aisyah juga rutin mengkaji ilmu agama kepada ustadz Yusuf.Setiap sore hari, ustadz Yusuf akan bertandang ke rumah Aisyah untuk mengajarkan Aisyah ilmu agama.Selain karena motivasi dari ustadz Yusuf, kepedulian dan kasih sayang Abah Entis dan Ma Onah membuat Aisyah semakin nyaman dan kembali ceria.Ditambah lingkungan pedesaan yang asri, serta penduduknya yang ramah, membuat Aisyah semakin betah tinggal di sana.Suatu sore setelah u