"Assalamu'alaikum."
Aisyah mengucap salam ketika melangkahkan kakinya ke dalam rumah panggung itu.Dengan langkah gontai akibat kelelahan Aisyah duduk di kursi rotan. Peluh mengalir membasahi sekujur tubuhnya."Bersih sekali disini, tidak sia-sia papa mempercayakan villa ini kepada Abah Entis dan Ma Onah." Gumam Aisyah sambil berjalan menelusuri seluruh ruangan di rumah itu.Rumah panggung sekaligus villa keluarga Aisyah ini hanya memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi.Rumah ini sengaja didesain sederhana supaya tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya. Terutama saingan bisnis almarhum papanya dulu.Oleh karena itu, almarhum papanya seringkali mengajak Aisyah dan mamanya kesini, untuk melepas penat dari hiruk pikuk ibukota.Puas melihat sekeliling rumah, Aisyah memutuskan untuk beristirahat di kamar depan. Tempatnya sedari dulu jikalau keluarganya menginap disini.Aisyah segera memindahkan barang-barang dari dalam tas dan menyimpannya kedalam lemari. Lepas itu, Aisyah segera mandi untuk membersihkan badannya yang kotor."Aw...!"Pekik Aisyah ketika air mengenai tubuhnya. Rasa perih akibat goresan ranting saat dirinya mengalami kecelakaan terasa seperti sayatan kecil yang sengaja ditorehkan."Aduh, perih sekali," gumamnya sambil meneteskan airmata.Bahkan, sesekali Aisyah meringis dan berteriak kesakitan saat mencoba membersihkan badannya dengan sabun mandi.Puas membersihkan diri, Aisyah berganti pakaian dengan piyama yang tersedia didalam lemari.Tak ada satupun yang kurang di kamar ini, semua kebutuhan Aisyah tersedia lengkap.Aisyah kemudian menghadap cermin. Nampak lebam biru di sudut mata dan keningnya. Ada juga luka sayatan di dagu sebelah kiri.Lama sekali Aisyah mematung didepan cermin.Sambil mengolesi lukanya dengan salep khusus, ia memandang pantulan dirinya.Terlihat jelas wajahnya yang sedikit tirus, pucat dan nampak kacau. Bahkan, lingkaran hitam mata panda bergelayut manja dibawah matanya."Tega sekali kamu, Mas Abimana! Beraninya kamu khianati aku dan almarhum orangtuaku!" umpat Aisyah sambil mengoleskan cream di wajahnya."Aku seperti ini semua karena kamu, Mas! Tunggu pembalasanku. Sekarang, silahkan kamu nikmati hartaku sepuasnya, sebelum aku ambil kembali, Mas!" Aisyah berteriak sendiri didalam kamar.Bayangan Abimana tertawa menyaksikan dirinya terusir dari rumah kembali berkelebat. Membuat Aisyah semakin membenci sosok Abimana.Siapa sangka, pria yang begitu ia cintai tega mengkhianati semua hal yang Aisyah miliki.Bayangan Abimana dan Karin di hotel Tiara pun kembali menghantui.Bagaimana mesranya Abimana mencium dan mencumbu leher jenjang milik Karin dan desahan Karin yang menikmati setiap sentuhan Abimana seakan menari-nari di ingatannya."Bangsat kamu, Mas Abimana! aku benci kamu!" emosi Aisyah tak terbendung lagi, ia melempar vas bunga yang ada di meja rias sehingga terdengar bunyi beling yang berjatuhan."Non Aisyah! Non...!" terdengar suara perempuan paruh baya memanggil nama Aisyah."Non Aisyah, jawab ema atuh! Bukain pintunya!"perempuan yang tidak lain adalah Ma Onah itu terus menggedor pintu kamar Aisyah.Ma Onah sangat khawatir ketika hendak memanggil nona mudanya, terdengar suara kaca jatuh. Ia khawatir nona mudanya kenapa napa."Abah..! Abah...!" Ma Onah memanggil Abah Entis dengan sangat nyaring."Ada apa mak teriak-teriak? Bikin Abah kaget saja," Abah Entis tampak mengatur nafasnya."Non Aisyah, Abah! Non Aisyah...," ucapan Ma Onah menggantung."Heueuh kunaon Non Aisyah teh Ma?" Abah Entis ikut panik."Nggak tau, Abah! pintunya juga dikunci dari dalam. Cepat Abah buka pintunya!" titah Ma Onah kepada suaminya."Non Aisyah, buka atuh pintunya geulis! Ini Abah."Namun sayang, berulang kali pasangan suami istri itu memanggil nama Aisyah. Tak satupun yang dijawab oleh Aisyah. Mereka hanya mendengar isak tangis dari dalam kamar.Khawatir dengan nona mudanya, Abah Entis memutuskan untuk mendobrak pintu kamar.Brak!!Suara pintu didobrak terdengar jelas. Kunci dan engsel pintu berhamburan di lantai.Setelah pintu terbuka, pasangan suami istri itu terkejut dibuatnya.Bagaimana tidak, nampak Aisyah tengah menangis dibawah kasur, sambil memeluk foto kedua orangtuanya.Sementara pecahan vas bunga berserakan dimana-mana, memenuhi ruangan kamar itu. Bahkan, pergelangan tangan Aisyah berdarah. Nampak pula serpihan beling menancap di pergelangan tangannya itu.Melihat nona mudanya seperti itu, Ma Onah segera berlari memeluk tubuh kurus Aisyah. Wanita cantik yang selama ini menjadi majikannya.Sementara itu Abah Entis segera ke belakang mengambil sapu dan pengki, untuk membersihkan pecahan beling dari vas bunga."Non Aisyah! kenapa, Non?" Ma Onah memeluk tubuh Aisyah dan mengusap kepalanya.Karena Aisyah tetap tak bergeming, Ma Onah mencabut serpihan beling yang menancap di pergelangan tangan Aisyah.Namun, Aisyah tetap diam. Hanya airmata yang berjatuhan di kedua pipinya."Ya Alloh, Non! kenapa bisa jadi seperti ini? apa yang non alami?" cecar Ma onah. Tangan tuanya cekatan membersihkan darah yang keluar dari tangan Aisyah, dan membungkus lukanya dengan kain kassa yang tersedia di kotak P3K.Ma Onah kemudian menuntun Aisyah untuk berbaring di atas kasur. Tak ada reaksi sedikitpun dari Aisyah. Hanya airmata yang mengalir mengiringi tatapan kosong matanya.Sementara itu, Abah Entis dengan cekatan pula membersihkan beling yang berserakan dan menata kembali kamar Aisyah. Sehingga kamar Aisyah nampak rapi seperti sedia kala."Abah, tolong ambilkan makanan dan air teh hangat untuk non Aisyah!" titah Ma Onah sambil mengelap airmata yang terus mengalir di pipi Aisyah,"Non Aisyah, istigfar Non! nyebut!" Ma Onah berusaha membuat Aisyah sadar dengan mengolesi lengan Aisyah dengan minyak kayu putih.Sebab seluruh badan Aisyah sangat dingin terasa. Setelah selesai mengolesi bagian tubuh Aisyah dengan minyak kayu putih, Aisyah pun menoleh ke arah Ma Onah.Wanita muda itupun langsung bangkit dan memeluk Ma Onah."Ma...! huhuhu," tangis Aisyah pecah kembali dalam pelukan Ma Onah.Ma Onah hanya bisa meneteskan airmata sambil mengelus pucuk kepala Aisyah dengan penuh sayang. Ia membiarkan Aisyah menumpahkan segala rasanya."Ini, Ma! makanannya," Abah Entis memberikan makanan sesuai pesanan istrinya."Makan dulu, Non!" ucap Ma Onah menerima piring dari suaminya.Ma Onah segera menyuapkan nasi ke mulut Aisyah. Namun Aisyah seakan enggan membuka mulutnya."Buka mulutnya, Non! Biar Ma Onah suapin. Non harus makan yang banyak, harus kuat!" ucapnya membujuk Aisyah.Mendengar ucapan Ma Onah, Aisyah menoleh ke arahnya dan menatap Ma Onah tajam."Iya, Non! Non Aisyah harus mau makan. Supaya kuat menghadapi masalah yang sekarang menimpa, Non!" Ma Onah meyakinkan Aisyah.Aisyah hanya menggangguk dan membuka mulutnya.'Alhamdulillah non Aisyah mau makan juga,' bisik hati Ma Onah.Ia menyuapi Aisyah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.Sayangnya perlakuan lembut Ma Onah malah mengingatkan Aisyah kepada almarhumah ibunya."Ibu..."Tangis Aisyah kembali terdengar menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Ma Onah tak kuasa melihat majikannya terpukul seperti itu.Kembali ia membawa Aisyah kedalam pelukannya."Ibuuuu," Aisyah tetap menangis di pelukan Ma Onah. Aisyah melihat kalau orang yang memeluknya kini adalah ibunya. Ia memeluk wanita yang terus membelai rambutnya penuh kasih sayang itu. "Ini Ema, Non!" Ma Onah melepas pelukannya dan memegang erat tangan Aisyah. Aisyah sejenak tertegun mendengar penuturan Ma Onah. Ia memandang Ma Onah seksama. Memastikan kalau wanita yang dihadapannya kini orang lain. Namun sayang, Aisyah tetap melihat Ma Onah itu ibunya. Dalam pandangan Aisyah, ibunya tengah tersenyum kepadanya. Aisyah yang sedang terpuruk dan sangat merindukan orangtuanya itu menghambur kembali kedalam pelukan Ma Onah. Ia memeluk wanita paruh baya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan pelukannya. "Ibu, Aisyah kangen," rengeknya manja. Ingusnya sampai keluar mengotori baju Ma Onah. "Non Aisyah! ini ema, bukan nyonya!" Ma Onah kembali mengingatkan Aisyah. Namun Aisyah tetap bergeming dan menangis kembali. "Ibu... Mas Abi," Aisyah bicara sambil menangis. Ma Onah akhirnya
"Sudah! non Aisyah jangan nangis terus! nanti cantiknya hilang," hibur Ma Onah."Ma, ustadz nya sudah datang," Abah Entis berbisik sambil mempersilahkan ustadz masuk.Masuklah seorang laki-laki tampan nan rupawan. Memakai koko dan peci putih juga kain sarung dan berkalung sorban hitam mendekati Aisyah."Mas Abi?" Aisyah bergumam."Mas, ini beneran kamu? Kamu mau menjemput aku, Mas?" Aisyah kembali bertanya dengan suara yang jelas."Maaf, saya bukan Abi suamimu. Saya orang lain," jawab ustadz itu menatap tajam ke arah Aisyah."Kamu jahat, Mas! Untuk apa kamu datang kemari kalau bukan untuk menjemput aku?""Pergi kamu dari sini! Aku benci kamu, Mas!" seru Aisyah garang.Ia kemudian mengamuk lagi. Bantal guling Aisyah lempar ke arah ustadz itu. Sementara sang ustadz hanya tersenyum melihat Aisyah seperti itu, perlahan ia mendekati Aisyah."Jangan dekati aku, pergi kamu!" Aisyah histeris. Tanpa disangka, ia mengambil gelas yang berada di meja rias dan melemparnya ke arah ustadz.Hap,Gela
"Istri saya terjatuh saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit ini, dokter." Abah Entis menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami."Saya turut prihatin, Pak! Tetapi, pendarahan istri Bapak harus segera dihentikan,""Tolong segera tandatangani surat persetujuan operasinya, Pak!" dokter itu kembali mengingatkan Abah Entis muda.Bingung dengan biaya operasi yang harus dibayar, Abah Entis terpaku dalam diam. Tak dihiraukannya dokter yang terus memanggilnya."Bapak baik-baik saja?" dokter itu menepuk pundak Abah Entis. Membuat dirinya tersadar dan menoleh ke arah dokter."I-iya, dokter! Saya mengerti, tapi.." ucapan Abah Entis menggantung."Ada masalah?" dokter muda itu menautkan kedua alis tebalnya."Saya bingung dengan biaya operasinya dokter," Abah Entis muda berterus terang."Ijinkan saya yang membayar biaya operasi istri anda, Pak." pasutri yang tadi menolong Abah Entis telah berada di dekatnya."Segera tangani istri Bapak ini, dokter! Saya yang akan mengurus administrasinya
Abah Entis yang lelah setelah setengah hari mengayuh becak mengais rezeki, terduduk lesu melihat puing-puing rumah bedeng yang berserakan dimana-mana.Peralatan rumah tangga bercampur debu dan sampah bercampur jadi satu, tak berbentuk lagi.'Dimana aku tinggal malam ini?' batin Abah Entis.Raut wajahnya memancarkan kegelisahan dan kecemasan mendalam. Bukan hanya bingung mencari tempat tinggal baru, tetapi ia juga harus memikirkan istrinya yang baru pulih pasca operasi dan melahirkan.Terbayang pula tangisan bayi kecil mereka, Abimana. Disaat keinginannya untuk membawa pulang Abimana dan kembali berkumpul bersama, Abah Entis muda harus menerima kenyataan bahwa rumahnya terkena penggusuran."Akang, jangan melamun! kita harus segera mencari tempat tinggal," Ma Onah muda menepuk pundak suaminya."Iya, Nyai!" Abah Entis bangkit berdiri dan membawa bungkusan pakaian yang sudah dirapikan istrinya.Terlihat orang-orang sibuk berlalu lalang pergi meninggalkan tempat itu satu persatu.Abah Enti
Kedatangan ustadz muda bernama Yusuf itu membuat perubahan besar untuk Aisyah.Perlahan tapi pasti, Aisyah semakin kuat dan tegar menghadapi tantangan kehidupan.Pengkhianatan Abimana yang sempat membuatnya depresi, sekarang berangsur pulih dan membaik.Ustadz muda itu sengaja di undang setiap hari oleh Abah Entis untuk mengajak Aisyah dialog seputar kehidupan.Tepat seminggu setelah pertemuan pertama Aisyah dan ustadz Yusuf, kondisi kejiwaan Aisyah telah kembali seperti sediakala.Bahkan, Aisyah kini lebih menyerahkan diri kepada Tuhan penguasa semesta. Aisyah juga rutin mengkaji ilmu agama kepada ustadz Yusuf.Setiap sore hari, ustadz Yusuf akan bertandang ke rumah Aisyah untuk mengajarkan Aisyah ilmu agama.Selain karena motivasi dari ustadz Yusuf, kepedulian dan kasih sayang Abah Entis dan Ma Onah membuat Aisyah semakin nyaman dan kembali ceria.Ditambah lingkungan pedesaan yang asri, serta penduduknya yang ramah, membuat Aisyah semakin betah tinggal di sana.Suatu sore setelah u
Sementara itu di tempat kejadian Aisyah kecelakaan,Para warga yang sedang berkebun dan bertani saling pandang mendengar suara dentuman yang cukup keras.Mereka berbondong-bondong mencari sumber suara. Mereka mencari sebelah kanan dan kiri jalan tetap tidak menemukan apa-apa.Sampai seseorang yang memeriksa daerah curam berkelok, berteriak memanggil warga yang lain."Disini sepertinya telah terjadi kecelakaan," tunjuknya ke arah jurang yang sebagian pohon pohonnya patah dan menjuntai ke bawah."Iya, seperti bekas luncuran sesuatu," seorang lainnya ikut menimpali."Jangan-jangan, ada yang jatuh ke bawah jurang, Kang!" ucap warga kepada Ketua Rt yang kebetulan ikut hadir."Sebaiknya kita periksa ke bawah, takutnya ada korban!" ketua Rt memerintahkan warga untuk segera menuruni tebing jurang yang curam."Hati-hati, Kang!" sebagian warga yang menunggu di atas mengingatkan.Lima warga laki-laki turun ke bawah jurang, termasuk ketua RT, sementara yang lain menunggu di atas. Mereka tidak tu
Abimana melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ia yakin yang tadi menelponnya itu pihak kepolisian.'Sial! Mengapa tadi harus terkena rayuan Karin lagi sih?' Abimana memaki dirinya sendiri.Sementara pandangannya fokus ke jalanan. Dalam hati ia berharap polisi akan menghubunginya lagi."Santai aja, Mas! Jangan tegang gitu!" Karin membelai lembut tangan Abimana.Abimana yang fokus menyetir tidak menggubris sedikitpun sentuhan Karin. Merasa dirinya dicuekin oleh Abimana, Karin mendengus kesal dan mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil.Derrt...Abimana merasakan hp nya bergetar. Segera ia menepikan mobilnya dan menjawab panggilan masuk tersebut."Siang! Benar ini dengan Bapak Abimana?" tanya suara di seberang telepon."Iya betul, saya Abimana aryasatya," jawab Abimana."Kami dari pihak kepolisan ingin mengabarkan bahwa Istri anda Nyonya Aisyahrani mengalami kecelakaan tunggal di daerah Jatinangor, Pak! Mobilnya masuk jurang," jelas suara diseberang sana."Aisyah masuk j
Suara sirine mobil SAR dan ambulance berhenti di jalan tepi jurang, tempat Aisyah kecelakaan. Warga makin ramai berdatangan ke tempat itu, ingin mengetahui bagaimana nasib korban.Desas desus hilangnya Aisyah makin terdengar di antara kerumunan warga. Karin yang mendengarkan berbagai asumsi warga hanya menyimak bersikap seakan-akan tak kenal dengan korban.Padahal dari awal dirinya datang, banyak warga yang bertanya apakah Karin ini kerabat korban atau bukan. Tetapi dirinya memilih bungkam menutupi semuanya."Panas banget disini," Karin mengeluarkan kipas kecil dari tasnya.Kaki jenjangnya ia silangkan sehingga kulit mulus pahanya terekspos. Sesekali matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari tukang es atau apapun sejenisnya lewat."Neng cari apa celingak-celinguk gitu?" seorang pemuda tanggung mendekatinya."Jangan kepo deh!" Karin membalas jutek pertanyaan pemuda tersebut."Neng, awas tuh kakinya! Nanti masuk angin lho," pemuda tadi malah berkelakar menggoda Karin.Karin ha