POV. LunaEntah sudah berapa lama, kami tidak melakukan itu. Dan suamiku itu, sepertinya selalu berusaha bersabar, setiap menghadapi penolakanku.Setiap suamiku seolah sedang ingin meminta haknya, bahkan aku hanya bisa menangis. Dan jika aku sudah menangis, maka Mas Aksa akan mengurungkan niatnya begitu saja.Aku pun tertidur dengan lelap.Aku terbangun saat mendapati Mas Aksa tidak ada di sampingku. Jam dua dinihari. Ke mana dia?Apakah dia pergi, karena di rumah ini, istrinya tidak melayani? Atau jangan-jangan, diam-diam dia pergi menemui selingkuhannya itu?Pertama, aku mencarinya ke kamar mandi. Namun ternyata tidak ada.Kemudian Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar, dengan perlahan. Berjalan dengan pelan-pelan, agar tidak terdengar oleh penghuni rumah yang sedang tertidur.Kulihat di ruang tv pun tidak ada. Di dapur, pun tidak tampak batang hidungnya.Setelah itu aku mengintip garasi, dari jendela kaca yang terhubung dengan ruang makan. Mobil masih ada. Sepeda motor pun ada. Apa
POV. AksaPov. AksaBahwa laki-laki yang pernah salah langkah, bukan berarti dia akan tersesat selamanya. Pepatah bijak itu, kujadikan sebagai pedoman. Kujadikan sebagai acuan, untuk aku berubah menjadi lebih baik.Sudah kuniatkan dengan benar dalam hatiku. Bahwa aku akan menjauhi mantan pacarku. Akan kembali kujadikan istriku sebagai satu-satunya ratu di hatiku.Semoga saja Allah masih memberikan kesempatan. Semoga semuanya belum terlambat.Kuhadapi perubahan sifat Luna, dengan kesabaranku. Tidak pernah bosan aku mengajaknya berbicara, meski dia hanya diam, tidak pernah menanggapinya.Dan meskipun Setelah kejadian itu, istriku sudah tidak pernah lagi melayaniku, namun lagi-lagi aku berusaha memakluminya. Aku tidak akan menuntut banyak hal. Aku sadar, bahwa aku sudah pernah melakukan kesalahan yang teramat fatal. Sudah sepantasnya, jika aku mendapatkan hukuman.Semua kulakukan sendiri. Aku yang dulu sering meminta pelayanan istriku, kini sudah tidak lagi. Bahkan Luna juga sudah tidak
POV. AksaKurapatkan tubuhku, pada punggungnya yang tidur membelakangiku. Dan aku pun terpejam, hingga pagi menjelang.Adzan subuh berkumandang dengan merdu, di masjid yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah orangtuaku. Aku pun segera mandi sekedarnya, dan melangkahkan kakiku ke masjid."Sayang, aku ke masjid dulu, ya?" pamitku pada istriku yang masih tidur. Dia tetap diam.Setelah selesai berjamaah shalat subuh, aku pun berdoa. Kemudian langsung pulang. Aku punya kewajiban untuk membangunkan istriku. Jangan sampai dia meninggalkan shalatnya.Sesampainya di rumah, aku mendapati Luna sedang duduk di atas sajadah yang terbentang. Dia memakai mukena. Mungkin dia sudah menyelesaikan kewajibannya.Kuulurkan tanganku, berharap dia akan menciumnya seperti dulu. Namun ternyata salah. Dia hanya menyambut tanganku dengan senyum yang penuh keterpaksaan, yang hampir tidak terlihat. Tanpa mencium tanganku. Bahkan tanganku langsung dilepaskannya begitu saja, saat aku masih ingin menggengga
POV. AksaIni adalah yang pertama kalinya, dia berbicara agak banyak, setelah peristiwa itu. Biasanya, dia hanya berbicara satu atau dua patah kata."Iya, inshaallah, kita mau ke rumah orang tuamu. Tapi nanti, sepulang dari sana" jawabku.Jujur, sebenarnya aku juga ragu, jika besok harus benar-benar berkunjung ke rumah orangtuanya Luna. Aku merasa kotor. Aku merasa buruk. Aku merasa tidak pantas. Apalagi jika nantinya mereka mengetahui tentang kelakuanku waktu itu. Entah bagaimana aku akan menghadapi mereka.Kami sudah keluar dari kota Jakarta. Jalan menuju ke Puncak pun, sudah semakin dekat."Kamu mau membawaku ke Puncak?" tanya dia.Aku hanya mengangguk, sambil tersenyum. Dia diam. Syukurlah. Aku tadi sempat takut, jika tiba-tiba saja, dia kumat keras kepalanya, dan hendak melompat dari mobil yang sedang kukemudikan.Malam hari, kami sudah sampai ke tempat penginapan yang kami tuju. Aku sengaja mencari penginapan yang istimewa. Meskipun harus merogoh kocek yang lumayan dalam. Tidak
POV. BaraAku menunggunya dengan gelisah. Duduk di sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang. Entah sudah berapa lama, aku menunggunya. Tidak ada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Tidak ada ponsel yang kubawa di dalam saku celanaku. Karena memang aku tidak memiliki kedua benda itu.Suasana yang mendung, membuatku tidak bisa melihat, sudah sampai mana, arah pergerakan sang raja tata surya. Entah ini sudah jam berapa. Apa mungkin, gadisku itu, lupa, bahwa hari ini adalah hari keberangkatanku? Tapi bukankah seminggu yang lalu, aku sudah berbicara? Atau mungkin, dia belum pulang sekolah?"Jam berapa, Mas?"Aku mencoba bertanya kepada seseorang yang lewat."Setengah dua," jawabnya sambil menengok aksesoris yang melingkar di tangannya. Kemudian dia berlalu pergi.Jam setengah dua. Itu artinya, aku sudah menunggunya selama satu jam. Tadi aku ke sini, tepat setelah shalat dhuhur. Dan sekarang, aku hanya punya waktu satu jam saja, yang masih tersisa. Jam empat sore, a
POV. Bara"Kamu yakin, mau meninggalkan aku, pergi sejauh itu?" Terdengar suara seraknya, yang seolah tercekat di kerongkongan."Maaf, hanya itu jalan satu-satunya. Bukankah sejak enam bulan yang lalu, aku sudah bilang sama kamu? Dan kamu sudah bilang iya?" jawabku."Aku bilang iya, karena aku tidak tahu. Jika ternyata rasanya akan sesakit ini ...."Kini bahkan tangisan Luna sudah pecah, bercampur dengan suara derasnya air hujan, juga suara petir yang menggelegar. Tubuhnya terlihat terguncang ke depan dan ke belakang. Aku sama sekali tidak bisa menenangkannya. Aku tidak berani untuk mengusap punggungnya. Apalagi berniat tuk memeluknya. Itu bukan gaya pacaran kami."Bukankah masih ada jalan lain? Kamu bisa mencari pekerjaan di sini. Tidak perlu pergi sejauh itu," ucap Luna di sela-sela isak tangisnya.Aku menghela nafas panjang. Rambut panjangnya terbawa angin, hingga menutupi sebagian wajahku. Kupejamkan mataku. Tercium aroma shampo yang wangi, bercampur aroma khas air hujan.Kupejam
POV. BaraAku pun mendongak ke atas. Jangan sampai, air mataku juga luruh, di hadapan kekasihku. Aku laki-laki. Seperti apa pun yang terjadi, aku tidak boleh menangis."Pergilah sekarang juga, jangan pernah menengok ke belakang," ucapnya, sambil memejamkan matanya.Aku pun segera berlari dengan cepat. Menuju bus yang sudah hampir melaju.Satu kakiku sudah naik ke atas. Kutolehkan pandanganku, kepada gadis pujaanku yang tengah berdiri terpaku. Aku memutuskan untuk tetap berdiri di pintu. Menghadap ke belakang, agar terus bisa melihatnya.Hingga bus berjalan, kami masih saling berpandangan. Kulihat tubuhnya semakin mengecil, kemudian tidak terlihat lagi, seiring dengan laju bus yang berjalan kian menjauh.Selamat tinggal ....Semoga lima tahun lagi, kita bisa bertemu kembali.*****Sesampainya di kantor Depnaker, aku segera mengikuti arahan yang ada. Kami semua, para calon TKI, dipindahkan ke tempat penampungan.Paginya, kami langsung diterbangkan ke negri yang menjadi tempat tujuan kam
POV. BaraSungguh di luar dugaan. Aku yang selama lima tahun membanting tulang di negeri orang, namun ternyata justru kenyataan yang begitu menyakitkan, yang menyambutku pulang.Gadis pujaanku duduk di pelaminan dengan lain orang.Segera kustarter sepeda motorku. Pergi dari tempat ini, sebelum tangisku tak bisa kubendung lagi.Pergi ke makam ayah dan ibuku. Sendirian. Tanpa Luna, seperti rencanaku sebelumnya.Sesampainya di pusara Ayah dan ibuku, aku segera mengirim doa-doa untuk mereka. Setelah doa-doa itu selesai kubacakan, aku pun bercerita tentang banyak hal.Aku bercerita kepada mereka. Tentang aku yang tidak pernah mengunjungi mereka, karena harus merantau ke tempat yang sangat jauh. Aku bercerita kepada mereka, tentang aku yang baru saja pulang. Aku bercerita kepada mereka, tentang aku yang sudah berhasil membangun rumah.Hingga akhirnya aku bercerita kepada mereka, tentang Luna. Tentang Luna yang ternyata sudah menjadi milik orang lain. Tentang Luna yang ternyata menikah, tepa