“Kamu kenapa dari tadi diam saja, Ep?” tanya Ujang yang tengah membersihkan diri di pancuran.
Aep tak menjawab. Tangan dan bibirnya masih asyik dengan rokok, sedang pandangannya memindai luasnya persawahan. Pria itu tengah duduk di atas batu di pinggir sungai setelah seharian bekerja di sawah. Tumpukan karung berisi rumput segar berjajar tak jauh darinya.
“Sok atuh cerita sama saya kalau kamu punya masalah,” ujar Ujang sembari berusaha naik ke atas batu, kemudian duduk di samping Aep. “Saya tahu kalau kamu punya masalah.”
Aep mengembus napas panjang. “Ucapan kamu sama persis seperti ucapan Asep semalam, Jang.”
Ujang diam sejenak. “Ya wajar atuh, Ep. Saya sama Asep itu teman kamu dari kecil. Sok atuh cerita.”
Aep melempar rokoknya ke aliran sungai. “Si Rojali, Jang.”
“Maksudnya Ustaz Rojali?” koreksi Ujang dengan wajah yang sengaja d
“Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu sama Reza?” tanya Ilham sembari menyimpan satu tangannya di bahu Rojali.Rojali tak langsung menjawab. Ia lebih dahulu memindai sekeliling lapangan, berharap sosok Reza tiba-tiba muncul. Angin menerjang kebisuan yang mendadak muncul. Baik Ilham maupun dua anggota Kalong Hideung sama-sama menunggu jawaban Rojali.“Sepertinya Reza salah paham mengenai saya,” jawab Rojali sembari berbalik, berhadap-hadapan dengan Ilham. “Saya juga salah karena tidak jujur sama dia dari awal.”“Salah paham soal apa?” Ilham bertanya.Rojali mengembus napas panjang, diam sesaat lantas berkata, “Reza ... marah karena dia pikir saya meremehkan dia. Dia juga marah karena merasa saya selalu bertindak sendirian tanpa pernah diskusi atau mendengar pendapat dia lebih dulu.”Ilham masih di posisinya, begitupun dengan kedua anggota Kalong Hideung di atas sana.“Selain
“Siapa mereka, Kos, Jang?” tanya seseorang yang berjalan dari arah belakang.Ujang dan Engkos masih menggeliat di tanah, lalu begitu mendengar suara barusan, segera bangkit.Sesosok pria tua tiba-tiba muncul dari kegelapan. Tongkat tengkorak yang menancap di tanah dengan cepat kembali ke genggamannya. Di belakang kakek tua itu, sosok pria berikat kepala merah ikut muncul.“Mereka ... Rojali dan Ilham, Ki,” jawab Engkos.“Rojali?” Kakek berjenggot putih itu memastikan.Engkos mengangguk.“Rojali sudah tahu identitas saya dan Engkos,” timpal Ujang.Kakek tua yang biasa dipanggil Ki Jalu itu tersenyum, lantas mengentak-entak tanah dengan tongkat.“Bagaimana bisa?” tanya Badru dengan tatapan memelotot. Ia yang hendak maju dihadang oleh tongkat Ki Jalu.“Dia cerdik, Kang,” balas Engkos. Wajahnya mendadak pucat. “Saya juga tidak tahu bagaimana
1 Jam sebelum kejadian Reza tengah duduk termenung di dalam kamar sambil memegangi secarik kertas di tangan kanan. Pemuda yang saat ini bertelanjang dada itu sesekali mengacak rambut bingung. Tertulis di kertas tersebut bahwa Rojali akan menunggunya di lapangan, tepat di bawah pohon beringin.Bentuk surat itu nyatanya sudah lecek. Saat pertama kali melihatnya, Reza langsung membuangnya ke tempat sampah. Namun, setengah jam kemudian, ia kembali memungutnya.Di satu sisi, Reza masih dendam terhadap Rojali atas kejadian beberapa hari lalu. Ia juga sengaja mengabaikan ustaz muda itu berkunjung ke rumah atau berpapasan di jalan. Akan tetapi, di lain hal, ada perasaan ingin menolong, terlebih Rojali sudah banyak membantunya selama ini. Saat ini, Reza tengah bertarung dengan emosinya sendiri.“Any*ng!” maki Reza frustrasi. Dengan cepat ia melempar kertas tersebut ke luar jendela ya
Badru dan Ki Jalu tengah berjalan di pematang sawah. Sementara itu, Reza diseret oleh tangan kekar Badru. Ketua Kalong Hideung yang berusia setengah abad itu tanpa iba menyeret Reza bak karung sampah, tak peduli apakah korbannya terluka atau menderita.Reza sendiri tak bisa berbuat banyak. Ia memang sepenuhnya sadar, mampu merasakan sakit saat tubuhnya diseret di undakan batu dan tanah, tetapi dirinya tak bisa mengendalikan tubuh sesuai keinginan. Pemuda itu bak mayat hidup, tak mampu berteriak, bericara, dan hanya mampu menatap kosong dan menangis.“Kunaon kita tidak nyerang pesantren malam ini saja, Pak?” tanya Badru.Ki Jalu tiba-tiba berhenti lantas menatap kelip cahaya nun jauh di sana. “Kiai pemilik pesantren itu bukan orang sembarang, Badru. Kalau kita tidak hati-hati dan langsung menyerang ke sana, sama saja kita bunuh diri.”Badru melepas genggaman pada kaki kiri Reza dengan tiba-tiba. “Sehebat apa kiai itu,
“Astagfirullah.” Rojali seketika terperanjat, duduk dengan napas terengah-engah. Pemuda itu melihat Ilham berada di dekatnya dengan tatapan khawatir. Ia lantas memindai sekeliling. Kegelapan masih mendominasi pandangannya. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah senter yang digenggam Ilham.“Kita di mana?” Rojali memijat kepalanya pelan, lalu saat teringat sesuatu, ia segera menyentuh leher dan dadanya. Saat tahu bahwa kunci itu masih berada di sana, ia kemudian menghela napas lega.“Kita masih ada di sekitar Ciboeh,” jawab Ilham.“Bagaimana kita bisa selamat?” Pandangan Rojali kembali beralih pada sekeliling. Nyatanya, mereka berdua berada di sisi sungai. Ia juga baru menyadari kalau ia terbangun di atas batu. Tangan dan kakinya sedikit lecet. Hal sama juga terjadi pada Ilham.“Saya juga tidak tahu,” jawab Ilham, “sepertinya ada orang yang menolong kita.”&
Tahun 1985Suara deru air sungai dan semilir angin membangunkan seorang pria yang tubuhnya tersangkut di bebatuan besar. Kesadarannya seketika kembali saat sebuah batang pisang menabrak wajahnya.Mbah Atim berusaha berdiri dengan berpegangan pada batu yang sudah menyelamatkannya dari tarikan arus sungai. Pandangannya segera memindai sekeliling. Pria itu bisa memastikan kalau ia masih berada di lokasi ritual malam tadi.“Kang,” ucap Mbah Atim tiba-tiba. Ia sontak berlari di derasnya air sungai. Beberapa kali pria berikat kepala hitam itu terjatuh hingga kembali terseret air sungai. Ia memaksakan diri walau kepalanya masih pening dan sekujur tubuhnya terasa sakit saat digerakkan.Mbah Atim nyatanya tak sendiri. Saat ia berusaha menggapai seorang pria yang terbujur di bebatuan, kumpulan pocong berkafan hitam tiba-tiba bermunculan di sekeliling sungai. Mereka tertawa sembari menampilkan gigi taring dan wajah menyeramkan yang dipen
Kang Jaja, begitu panggilan yang disematkan Mbah Atim padanya, terbangun saat lembayung sudah tumpah di langit pemakaman Mak Lilin. Pria tua yang merupakan kakak kandung dari Mbah Atim itu memijat kepala perlahan, turun dari kasur, lalu berjalan ke luar ruangan saat mendengar suara teriakan yang tiba-tiba.“Aya naon, Juned?” tanyanya Mbah Jaja.“Tolong tetap di dalam, Kang. Bisa gawat kalau ada warga desa yang melihat keberadaan Akang,” pinta Mbah Atim sembari melirik sekeliling.Tanpa menunggu persetujuan, Mbah Atim berlari menuju area pemakaman, menuruni tangga yang sedikit licin karena bekas hujan. Saat memasuki area kuburan, tampak dari kejauhan Romlah tengah menangis histeris, di sampingnya tampak Mak Iyah dan beberapa warga berusaha menenangkan.“Kang Ujang!” pekik Romlah sembari menarik rambutnya sendiri. “Di mana Akang sekarang? Anak kita sudah lahir, Kang!”Dengan tergesa-gesa, Mbah
Pak Dede terbangun dari tidurnya dengan dada sesak. Ia terbatuk beberapa kali hingga mata berair. Pandangannya dipaksakan memindai sekeliling. Kepala desa Ciboeh itu baru menyadari bila kamarnya sudah dipenuhi asap.“Aya naon ieu?” tanya Pak Dede dengan tangan yang mengibas-ngibas asap. “Apa mungkin kabakaran?”“Reza!” Pak Dede kembali terbatuk. Ia memukul-mukul dinding yang menjadi batas antara kamarnya dan Reza. “Reza! Bangun!”Pak Dede dengan cepat bergerak ke arah jendela, lantas membukanya lebar-lebar. Dinginnya udara dini pagi segera menyergap kulit keriputnya.“Reza!” Pak Dede berusaha turun dari kasur. Kakinya mulai menginjak dinginnya keramik. Bersamaan dengan asap yang menghilang dari kamar, ia dengan jelas bisa melihat satu nampan sesajan berada di lantai.“Astagfirullah.” Pak Dede terlonjak kaget hingga badannya terjatuh ke lantai. Matanya so