Badru dan Ki Jalu tengah berjalan di pematang sawah. Sementara itu, Reza diseret oleh tangan kekar Badru. Ketua Kalong Hideung yang berusia setengah abad itu tanpa iba menyeret Reza bak karung sampah, tak peduli apakah korbannya terluka atau menderita.
Reza sendiri tak bisa berbuat banyak. Ia memang sepenuhnya sadar, mampu merasakan sakit saat tubuhnya diseret di undakan batu dan tanah, tetapi dirinya tak bisa mengendalikan tubuh sesuai keinginan. Pemuda itu bak mayat hidup, tak mampu berteriak, bericara, dan hanya mampu menatap kosong dan menangis.
“Kunaon kita tidak nyerang pesantren malam ini saja, Pak?” tanya Badru.
Ki Jalu tiba-tiba berhenti lantas menatap kelip cahaya nun jauh di sana. “Kiai pemilik pesantren itu bukan orang sembarang, Badru. Kalau kita tidak hati-hati dan langsung menyerang ke sana, sama saja kita bunuh diri.”
Badru melepas genggaman pada kaki kiri Reza dengan tiba-tiba. “Sehebat apa kiai itu,
“Astagfirullah.” Rojali seketika terperanjat, duduk dengan napas terengah-engah. Pemuda itu melihat Ilham berada di dekatnya dengan tatapan khawatir. Ia lantas memindai sekeliling. Kegelapan masih mendominasi pandangannya. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah senter yang digenggam Ilham.“Kita di mana?” Rojali memijat kepalanya pelan, lalu saat teringat sesuatu, ia segera menyentuh leher dan dadanya. Saat tahu bahwa kunci itu masih berada di sana, ia kemudian menghela napas lega.“Kita masih ada di sekitar Ciboeh,” jawab Ilham.“Bagaimana kita bisa selamat?” Pandangan Rojali kembali beralih pada sekeliling. Nyatanya, mereka berdua berada di sisi sungai. Ia juga baru menyadari kalau ia terbangun di atas batu. Tangan dan kakinya sedikit lecet. Hal sama juga terjadi pada Ilham.“Saya juga tidak tahu,” jawab Ilham, “sepertinya ada orang yang menolong kita.”&
Tahun 1985Suara deru air sungai dan semilir angin membangunkan seorang pria yang tubuhnya tersangkut di bebatuan besar. Kesadarannya seketika kembali saat sebuah batang pisang menabrak wajahnya.Mbah Atim berusaha berdiri dengan berpegangan pada batu yang sudah menyelamatkannya dari tarikan arus sungai. Pandangannya segera memindai sekeliling. Pria itu bisa memastikan kalau ia masih berada di lokasi ritual malam tadi.“Kang,” ucap Mbah Atim tiba-tiba. Ia sontak berlari di derasnya air sungai. Beberapa kali pria berikat kepala hitam itu terjatuh hingga kembali terseret air sungai. Ia memaksakan diri walau kepalanya masih pening dan sekujur tubuhnya terasa sakit saat digerakkan.Mbah Atim nyatanya tak sendiri. Saat ia berusaha menggapai seorang pria yang terbujur di bebatuan, kumpulan pocong berkafan hitam tiba-tiba bermunculan di sekeliling sungai. Mereka tertawa sembari menampilkan gigi taring dan wajah menyeramkan yang dipen
Kang Jaja, begitu panggilan yang disematkan Mbah Atim padanya, terbangun saat lembayung sudah tumpah di langit pemakaman Mak Lilin. Pria tua yang merupakan kakak kandung dari Mbah Atim itu memijat kepala perlahan, turun dari kasur, lalu berjalan ke luar ruangan saat mendengar suara teriakan yang tiba-tiba.“Aya naon, Juned?” tanyanya Mbah Jaja.“Tolong tetap di dalam, Kang. Bisa gawat kalau ada warga desa yang melihat keberadaan Akang,” pinta Mbah Atim sembari melirik sekeliling.Tanpa menunggu persetujuan, Mbah Atim berlari menuju area pemakaman, menuruni tangga yang sedikit licin karena bekas hujan. Saat memasuki area kuburan, tampak dari kejauhan Romlah tengah menangis histeris, di sampingnya tampak Mak Iyah dan beberapa warga berusaha menenangkan.“Kang Ujang!” pekik Romlah sembari menarik rambutnya sendiri. “Di mana Akang sekarang? Anak kita sudah lahir, Kang!”Dengan tergesa-gesa, Mbah
Pak Dede terbangun dari tidurnya dengan dada sesak. Ia terbatuk beberapa kali hingga mata berair. Pandangannya dipaksakan memindai sekeliling. Kepala desa Ciboeh itu baru menyadari bila kamarnya sudah dipenuhi asap.“Aya naon ieu?” tanya Pak Dede dengan tangan yang mengibas-ngibas asap. “Apa mungkin kabakaran?”“Reza!” Pak Dede kembali terbatuk. Ia memukul-mukul dinding yang menjadi batas antara kamarnya dan Reza. “Reza! Bangun!”Pak Dede dengan cepat bergerak ke arah jendela, lantas membukanya lebar-lebar. Dinginnya udara dini pagi segera menyergap kulit keriputnya.“Reza!” Pak Dede berusaha turun dari kasur. Kakinya mulai menginjak dinginnya keramik. Bersamaan dengan asap yang menghilang dari kamar, ia dengan jelas bisa melihat satu nampan sesajan berada di lantai.“Astagfirullah.” Pak Dede terlonjak kaget hingga badannya terjatuh ke lantai. Matanya so
Pak Dede didampingi Eman dan satu aparatur desa lainnya memasuki ruang rapat di kantor desa. Di sana, para tokoh masyarakat sudah duduk melingkar. Tak banyak yang hadir saat ini karena Pak Dede hanya mengundang warga yang benar-benar sudah mengetahui fakta ini sebelumnya. Aep menjadi salah satu dari kumpulan pria yang tengah menanti kabar dengan cemas. Pak Dede dan beberapa tokoh masyarakat nyatanya yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang yang seringkali terlihat di Legok Kiara. Hanya saja, Pak Dede dan tokoh masyarakat tak bisa berbuat banyak, terlebih sesudah mereka mendapat ancaman pembunuhan. Setelah itu, mereka angkat tangan dan berpura-pura tidak pernah melihat sosok-sosok itu atau bahkan membahas orang-orang itu lagi. Tak banyak masyarakat yang tahu soal sosok-sosol berpakaian serba hitam itu. Pak Dede dan yang lain menganggap jika hal itu merupakan salah satu bagian dari rahasia desa yang tidak boleh diketahui warga biasa, terkhusus Rojali ya
Matahari masih merangkak dari ufuk timur saat Ilham keluar dari gubuk. Udara pagi dengan cepat menerpa kulit begitu ia berjalan mendekat ke arah Mbah Atim yang sedang berdiri tak jauh di depannya. Posisi pria tua itu tengah menatap sungai yang berada di bawah, tepatnya mengamati Rojali yang tengah membersihkan diri.Menyadari hal itu, Ilham ikut memandangi Rojali yang sedang membasuh rambut di mana kunci itu masih menempel di lehernya. Pria itu lantas mengamati tangannya yang sudah terbalut kain. Saat mencoba menyentuh kunci itu ketika Rojali pingsan, tiba-tiba saja benda itu mengeluarkan cahaya kemerahan dan melukai tangannya. Lukanya seperti sabetan benda tajam.Ilham menoleh ke arah Mbah Atim yang masih terpaku pada aktivitas Rojali. Begitu ia melihat tangan kanan sang bapak, keningnya seketika berkerut. “Pak,” panggilnya.“Bapak teu nanaon,” sahut Mbah Atim sembari menyentuh tangan kanannya yang sama-sama dibalut kain.
Rojali, Ilham dan Mbah Atim tengah beristirahat di dekat sungai. Rojali sendiri baru saja selesai menunaikan salat asar di batu besar berbentuk pipih, sedangkan Ilham dan Mbah Atim kembali berbicara berdua. Suasana sore ini tampak begitu tenang, terlebih saat angin sepoy-sepoy menerjang rimbunnya pepohonan yang mengelilingi sekeliling.Rojali berjalan sepelan mungkin agar kedua orang itu tak sadar kalau dirinya mendekat. Jujur, ia penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Saat dalam perjalanan tadi, ia sempat bertanya, tetapi Ilham menjawab kalau itu hanya obrolan rindu antara bapak dan anak. Jelas Rojali tak langsung percaya. Instingnya berkata jika mereka tengah menyembunyikan sesuatu.Ilham dan Mbah Atim serempak menoleh begitu Rojali tak sengaja menginjak ranting. Keduanya tampak saling memandang, kemudian mengalihkan wajah ke arah lain.Mbah Atim mengelus jenggotnya beberapa kali. “Sebelum malam, kita harus sudah sampai di deket bangunan itu,”
Azan isya sudah mengalun lima belas menit yang lalu. Jemaah salat isya sudah membubarkan diri dari masjid. Setelahnya, Desa Ciboeh kembali dihantam hening. Selepas Rojali memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan potongan tubuh itu, tidak ada lagi kabar mengenai penampakan pocong berkafan hitam di seantero desa. Warga bisa bernapas cukup lega saat ini.Kabar mengenai larangan keluar-masuk bagi warga Ciboeh nyatanya masih dirahasiakan oleh para tokoh masyarakat yang hadir saat rapat. Mereka takut bila warga akan panik dan justru bertindak di luar kendali. Meski begitu, sejak siang tadi, sudah tak terlihat motor atau mobil dari luar yang memasuki desa.Pak Dede duduk di ruangan tengah dengan sesekali tangan memijat kepala. Kancing kemejanya hampir seluruhnya terbuka. Kopi dan pisang goreng yang tersaji di meja entah sejak kapan sudah dikerubungi semut. Ia tak berselera untuk sekadar menyentuh.Pak Dede mengembus napas berat. Pikirannya masih berkutat deng