Semua berlalu begitu saja. Aku juga tidak bisa memberikan informasi yang akurat. Arlan mengulas senyum tipis seolah mengejek kalau dia berhasil dan menang.***"Aku mau cukup sampai di sini saja pernikahan kita," sergah Lala dengan nada emosi. Langit hitam penuh sinar sang bintang dan bulan. Dia sudah merasa bosan dan jenuh dengan suaminya. Dulu alasan Lala menikung suami orang lain karena ingin merasa hidup bergelimang harta. Keinginannya tercapai setelah menikah dengan Rusly dan suami keduanya. Namun, apa yang dia harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Kini dia sadar akan hal itu. Bergelimang harta tidak membuat nyaman dan senang. Hati dan pikirannya laksana terbelenggu."Kenapa kamu malah meminta berpisah?" tanya suaminya dengan nada dingin. Lala tidak ingat kalau dirinya telah berhutang Budi kepada suami ke duanya. Dia sempat terlilit hutang setelah semua rahasianya terbongkar. Pada saat itu ada dua pilihan. Mau menikah dengan suaminya yang sekarang atau mendekam di balik jeru
"Sayang, kenapa kamu diam saja?!" teriak Lala terus berusaha menghindar. Pria yang sudah siap menghantam dirinya sudah mulai mendekat dan bahkan sudah berada di atas ranjang. Tolong aku, sayang!" teriaknya kembali. Namun, tidak ada sama sekali respon dari suaminya. Pasrah, tetapi dia tidak merelakan kalau tubuhnya disentuh oleh pria lain dan bahkan di depan mata kepala suaminya. Air mata kini mengalir tanpa diundang begitu deras. Di dalam hatinya, Lala merapalkan istighfar berkali-kali sambil berusaha menghindar. "Aku yakin kamu pasti haus belaian 'kan?!" bisiknya dengan mencoba mengelus wajahnya, Lala. Air mata yang sebak sudah tidak tertahankan lagi. "Suamimu sangat enggan menyentuhmu. Dia mau menikahimu untuk mendapatkan uang dengan instan tanpa perlu repot-repot bekerja keras banting tulang dengan cara menjual istrinya kepada pria yang haus akan belaian."Pria itu menatap ke arah suaminya Lala seolah meminta izin apakah sudah boleh dia menggauli perempuan yang sudah tidak berdaya
Part 95: Jangan Ngumpet"Ibu tidak mungkin kembali ke pelukan ayahmu, Nak."Tiba-tiba, Dhea pergi begitu saja dan tidak menghiraukan perkataanku. Baru sekejap aku memejamkan mata. Dhea sudah menghilang."Dhea .... Kamu ke mana, Nak?!" panggilku dengan nada tinggi. Aku tersentak bangun. Ternyata aku mimpi bersua dengan Dhea.'Apa kabarmu, Nak?! Kenapa ibu mimpi bertemu denganmu? Segitunya kah Rusly menginginkanku agar menerima rujukannya?' Aku memejamkan mata lalu membukanya. 'Apakah aku harus luluh dan ikhlas menerima tawaran mantan suamiku?' Aku gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Di usia seperti ini, aku memang sangat membutuhkan pria sebagai pendamping dalam menakodahi bahtera rumah tangga. Apalagi aku masih butuh belaian untuk memenuhi nafsuku. Rasa kesepian ini terkadang tidak bisa kubendung. Daripada jatuhnya ke Zina, aku harus membuka hati kepada pria yang mau menerima apa adanya dan membimbingku ke jalan yang di ridhoi oleh Allah.Waktu terus bergulir. Tidak terasa sud
"Kami hitung sampai tiga." Suara gertakan dan ancaman membuat aku semakin down. Aku mencoba menenangkan diri. Namun, suara riuh di luar membuat aku semakin nelangsa dan panik. "Kalian tidak bisa melarikan diri dalam kasus ini. Dan kami akan melaporkan kamu sesegera mungkin ke kepala desa."Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Teror selalu datang silih berganti tiada henti. Namun, otakku berpikir sejenak. "Kenapa aku harus takut? Toh juga tidak ada salah dan dosaku dalam kasus ini. Kalau pun mereka mengkasuskannya, aku punya bukti yang kuat kalau bukti transfer itu palsu alias editan."Bisa saja ini adalah cobaan. Akan tetapi, apa salah dan dosaku yang belum bisa termaafkan sehingga setitik kebahagiaan tidak pernah kucicipi setelah bercerai dengan Rusly? Apakah karena aku dan dia tidak rujuk? Atau ada salah dan dosa yang selama ini aku lakukan sehingga cobaan selalu datang tanpa mengetahui waktu dan tempat? Aku merenung sejenak.Suara di depan rumah kini tidak ada lagi. Apakah merek
"Sudahlah! Kamu manut saja!" Rusly terus menarik lenganku tanpa sedikit celah. Aku merasa kesal. Tidak ada hujan dan tidak ada angin. Dia malah main paksa macam binatang buas yang siap menerkam."Tolong hentikan trik brutalmu ini!" sergahku. Aku berusaha meronta dari terkamannya. Dari dulu Rusly tidak pernah berperilaku lemah lembut. Aku diam sejenak meratapi nasib. Kenapa bisa takdirku seperti ini? Apakah tidak ada setitik kebahagiaan yang menghampiriku? Atau ini ujian bagiku yang berdosa? Akh ... aku memejamkan mata sejenak."Kamu harus ikut aku sekarang juga!" paksa Rusly kembali tanpa berprikemanusiaan.Aku semakin kesal ulahnya tidak pernah berubah. Daripada menahan sakit, lebih baik aku ikuti ritme permainannya. Raut wajahku kusut akibat menahan emosi dan kesal."Silakan masuk!" titahnya dengan nada tinggi sambil membuka pintu mobil. Sejenak aku mengernyit. Mobil siapa yang dia bawa? Kenapa dia bawa mobil? Tidak mungkin ada orang yang mau mengasih pinjaman atau sekedar meminjam
Tidak terasa sudah sampai di pelataran parkir. Aku mengedarkan pandangan ke arah samping kanan dan kiri. 'Sepertinya aku mengenal tempat ini?' batinku sembari mencoba mengingat-ingat daerah sekitar.Rusly melepas seat belt lalu membuka pintu mobil. Dia melangkah keluar. Setelah mengitari mobil. Perlahan dibuka pintu sebelah kanan. "Silakan keluar!" titah Rusly sembari mengulas senyum. Aku terkejut ketika melihat batu nisan di ujung sana. 'Apakah ini tempat pemakaman umum di mana Dhea dikebumikan?' Aku bermonolog. "Jangan melamun saja kerjamu!" hardik rusly mulai meninggikan suara. Aku memejamkan mata sejenak lalu membukanya. Rasa gemetar lahir di dalam tubuhku. Sudah berapa lama aku tidak datang ziarah ke makam anakku. Mungkin ini arti dari mimpi-mimpiku selama ini?Perlahan aku melangkahkan kaki ke luar dari dalam mobil. Sesekali kusapu sekitar. Sungguh banyak sekali perubahan. Banyak batu nisan yang baru. Ada juga tanah bekas galian masih basah. Kuayunkan langkah kaki terus mengek
Pandanganku berkunang-kunang seperti tidak jelas. "Aa-aku ada di mana?" tanyaku terbata. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Sedikit ingatanku mulai pulih. Aroma parfum sangat menyeruak ke dalam lubang hidung."Apa-apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa aku bisa ada di sini?" tanyaku kembali dengan sedikit kepala oyong.Suara berbisik-bisik terdengar. Namun, kesadaranku yang belum pulih total membuatku tidak bisa mencerna apa yang mereka bicarakan."Batas kesabaranku sudah habis. Aku bersusah payah meluluhkan hatimu, toh juga kamu tidak mengerti dan menghargai sama sekali usaha dan kerja kerasku." Rusly berbisik tepat di daun telingaku. "Hari ini aku akan melakukan apa yang dilakukan Arlan kepadamu. Agar aku bisa leluasa dan kamu tidak bisa berkelit dariku. Terpaksa aku melakukan ini dengan cepat laksana Sambaran petir di tengah hari.""Bagaimana Pak Rusly?" tanya seseorang membuyarkan konsentrasinya. Rusly mendongak lalu mengangguk, "ya." Dia sudah tidak sabar mempersunting mantan istrinya.
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai