Share

06. Kegundahan Liam

Liam memikirkan banyak hal tentang Alesya. Semua tak bisa dijelaskan dengan kata kata. Menghembuskan nafas berat dan berkata, "biarkan saja mereka."

"Tapi Tuan."

"Kamu, lekas kembali!"

Tut, tut, tut.

Panggilan telah berakhir. 

Hal itu membuat lelaki yang disuruh Liam menjadi bingung. Dia sudah jauh jauh mengikuti Alesya saat keluar rumah hingga terbang dari Amerika sampai tiba di Paris, Liam malah menyuruhnya kembali.

Lelaki itu tak tinggal diam, mengambil ponsel dan memotret Alesya sebagai bukti kinerja dirinya. Meski berat, ditinggalkan Alesya dan Zidan sendirian. Sedangkan mereka tidak tahu jika ada seorang yang sedang menguntit di belakangnya.

"Menangislah sepuasnya, Alesya. Setelah itu jangan menangis lagi. Oke."

Kalimat sederhana namun benar benar menggugah jiwa. Andai lelaki yang berkata adalah Liam, Alesya pasti makin cinta.

Alesya tersenyum manis meski Zidane tahu senyuman itu dipaksakan. Melihat Alesya saat ini, Zidan juga merasakan kesedihan mendalam. Seperti ada bagian tubuhnya yang patah, nyeri dan sakit sekali. 

"Kamu tinggal dimana?" tanya Zidane pelan.

Alesya menggeleng membuat Zidane mengerti. "Em, bagaimana jika kamu tinggal di rumah kontrakan yang aku sewa?"

"Apa?" Alesya tak habis pikir jika Zidane adalah lelaki yang suka to the point.

Zidane baru menyadari jika ucapannya sungguh lancang sekali. "Alesya bukan begitu, maksudnya adalah kamu tinggal di kontrakan yang lama tak aku tinggali, sedangkan aku tinggal disini. Jadi, kita tinggal terpisah. Jangan berasumsi tidak tidak."

Alesya tersenyum lebar, merasa jika Zidan sungguh konyol. Hati Alesya sedikit menghangat atas penuturan sederhana Zidan.

"Ayo Alesya!"

"Kemana?" 

"Tentu saja ke rumah kontrakan sederhana miliku. Kamu bisa istirahat disana. Aku lihat kamu lelah," ucap Zidan penuh pengertian. 

Alesya kembali memikirkan Liam. Mendapat perhatian dari Zidane, entah mengapa Alesya berharap jika Liam bisa seperti Zidan. "Baiklah, aku ikut denganmu." Alesya bangkit dari duduknya, hendak menyeret koper tapi…

Srekh.

Zidan sudah merebut koper itu dari tangan Alesya. "Ayo, ikuti aku!!"

Mereka pergi ke kontrakan sederhana yang lumayan dekat dengan kedai kopi.

Hanya beberapa langkah, kini mereka telah berdiri di depan pintu kontrakan.

Ceklek. 

Pintu dibuka, menampilkan ruang sederhana, semua tertata rapi, bersih dan satu hal yang pasti, perlengkapan elektronik di dalamnya terlihat seperti barang mewah. Alesya masuk ruangan dan melihat detail isi rumah sederhana itu.

"Apa kamu menempati rumah ini sendirian?" tanya Alesya bingung.

Zidan merasa kikuk, menggaruk tengkuk asal, "yah, tentu saja aku tinggal disini sendirian. Memangnya ada Apa?"

"Rumah kontrakan ini memang sederhana namun isi di dalamnya seperti apartemen saja, semua terlihat bersih, rapi dan berkelas membuat aku ragu jika kamu melemparinya sendiri," nilai Alesya sambil melihat lihat kumpulan buku yang berjejer di rak mini.

Zidan tersenyum manis dan berkata, "ya, aku memang tinggal bersama seseorang."

"Apa? Apa dia wanita?"

Zidan mengangguk. Alesya kaget mendengar jawaban Zidan, merasa tak nyaman mengganggu Zidan dengan kekasihnya, segera menarik kopernya.

"Kamu mau Kemana?"

"Tentu saja pergi. Aku tak ingin mengganggu-"

Ucapan Alesya terhenti saat Zidan menutup bibirnya dengan jari telunjuk, syarat akan untuk diam. "Aku belum selesai menjelaskan namun kamu sudah memutuskan sesuai pemikiranmu sendiri."

Zidan menata buku yang tergeletak setelah Alesya lihat tadi sambil berkata, "barang barang mewah ini dari Ibuku. Karena aku sibuk mengurus kedai, aku mempekerjakan art wanita untuk membersihkan tempat ini. Dia berangkat pagi dan pulang sore, kebetulan hari ini dia libur."

Alesya mengangguk paham. "Maaf, aku pikir…"

"Aku tak mempunyai kekasih jadi kamu tenang saja," ucap Zidan terkekeh.

Lagi lagi gurauan Zidan membuat Alesya tersenyum. Namun, sikap hangat yang Zidan berikan semakin mengingatkannya pada sosok dingin Liam.

"Baiklah. Aku akan kembali ke kedai, bersihkan tubuh dan istirahat dulu!"

Zidan pergi meninggalkan Alesya, hatinya begitu bahagia hingga terpancar pada wajahnya yang terus berseri.

Sedangkan Alesya kembali memandangi dinding ruangan dengan cat warna pastel kombinasi abu abu, terasa hangat dan sejuk. Dibuka jendela rumah, terlihat hamparan tanah dengan ilalang selutut yang bergoyang setiap tertiup angin. Pikiran Alesya menerawang jauh, memikirkan seseorang. 'Apakah dia mencariku? Apakah dia merasa kehilangan saat aku tak ada disampingnya?'

Amerika.

"Tuan ini foto Nyonya Ale."

Liam melihat beberapa foto Alesya bersama seseorang. Liam hanya melihat sekilas dan tak penasaran dengan siapa lelaki yang bersama Alesya. Saat foto terakhir, Liam tertegun melihat wajah lelaki yang terlihat jelas di foto.

"Kenapa Ale bersama Zidan? Apa Ale menemuinya?" tanya Liam pada pengawal bernama Edo.

"Bukan Tuan. Aku mendengar percakapan mereka, sepertinya mereka tak sengaja bertemu. Hal itu terlihat dari keterkejutan keduanya saat mereka bertemu," jelas Edo.

"Kamu boleh pergi!"

Sepeninggal Edo, Liam kembali melihat foto Alesya. Ada satu foto, Alesya tersenyum bahagia bersama Zidan. Senyuman yang tak pernah Liam dapati tiga tahun ini. Senyuman tulus tanpa adanya kebohongan di dalamnya.

Ada rasa yang tak bisa dijelaskan. Liam berusaha menekan rasa itu meski terasa nyeri di ulu hati. Alesya pergi tanpa menjelaskan apapun, meninggalkan misteri tak terpecahkan.

Meski pendonor sumsumnya telah diketahui, Liam masih terlihat ragu pada Bella. Rasa sakit dikhianati membuat Liam sulit percaya padahal bukti sudah di depan mata.

Liam mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. 

"Halo Tuan Liam."

"Bagaimana? Apa kamu menemukannya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status