Hening.
"Maaf Tuan, kami belum menemukan Tuan Marco."
"Bagaimana bisa? Kerahkan semua keahlian kalian dalam mencari orang hilang."
"Baik Tuan. Selama tiga tahun ini, kami sudah berusaha keras mencari Marco namun masih belum juga menemukan keberadaannya. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."
"Iya. Jika tidak, aku akan mencopot jabatan kalian!"
Pletak.
Liam membuang kasar ponselnya di meja kerja. Dirinya sungguh kesal karena ayah mertuanya itu tak hanya pergi membawa uang curian keluarga "Roderick". Marco adalah satu satunya orang yang menjadi saksi transplantasi sumsum tulang belakang Liam.
"Halo Liam."
Bella datang mendekat dan memeluk suaminya. Meski Bella telah kembali, mereka memutuskan untuk tidur terpisah. Hal itu permintaan dari Liam sendiri. Dia butuh waktu untuk menyesuaikan hubungan mereka.
"Ada apa Bell?"
"Aku ingin kita pergi ke suatu tempat. Dimana kita bisa mengulang kembali masa masa indah kita."
Liam memandang sekilas, duduk dan mulai membuka laporan pekerjaan. "Maaf aku sibuk saat ini."
Bella memaksakan senyum meski di dalam hati dia sungguh kesal bukan main. "Ale, apa kamu sudah menemukannya?" tanya Bella mengubah topik.
"Entahlah. Aku tak peduli," jawab Liam tetap tenang membuat Bella semakin kesal. Mencebikkan bibir dan tangan mengepal erat. Alesya sudah pergi. Seharusnya dia bisa lebih dekat dengan Liam namun apa yang didapat?
Liam sungguh dingin padanya. Begitu berbeda dengan Liam-nya yang dulu, sebelum dia pergi. "Liam, tolong anggap aku ini ada? Aku sedang berbicara padamu. Jangan acuh padaku?"
Liam menutup dokumen yang dipegang. Memandang Bella dengan tajam. "Apa maumu?"
Bella mendekat dan merendahkan suaranya, "aku ingin kamu menghargai keberadaanku. Aku sudah kembali Liam."
"Aku tahu, tapi biarkan aku berdamai dengan hatiku dulu. Rasa sakit yang kamu berikan belum kunjung sembuh."
"Tapi… Akulah orang yang menyelamatkan nyawamu? Memberikan transplantasi sumsum tulang belakang padamu," cerca Bella.
"Maka dari itu aku berusaha menerimamu kembali," teriak Liam. Baginya, Bella terlalu naif. Wanita mana yang berani mengancam suaminya sendiri?
"Pergilah!"
Bella segera pergi dari ruangan Liam. Berjalan cepat dengan menghentakkan kaki seperti anak kecil. Ada tempat yang harus dikunjungi untuk mengatasi masalah ini.
Brakh.
"Edo, katakan padaku dimana Alesya berada?" tanya Bella sambil menggebrak meja kerja Edo.
"Maaf Nyonya. Tuan Liam tak boleh memberikan informasi apapun kepada Anda."
"Apa? Heh, Alesya adikku. Aku berhak tahu dimana dia berada?"
"Anda bisa mencarinya sendiri," ucap Edo dengan entengnya.
Bella semakin geram, wajahnya merah padam. Tadi Liam berhasil membuat dirinya emosi, sekarang asistennya juga sama. Terpaksa Bella harus turun tangan sendiri.
Bella pergi ke kediaman keluarga Marco Gideon. Rumah yang dulu mewah kini tampak tak terawat. Disana ditempati beberapa bodyguard Ayahnya.
"Nyonya Bella. Akhirnya, Anda datang."
"Iya, pak Mo. Bagaimana kabar kalian?"
"Kami baik dan masih setia pada keluarga ini sampai Nyonya Alesya menghilang. Kini kami seperti pengangguran saja," jawab Morne, ketua bodyguard keluarga Gideon.
"Untuk itu aku kemari. Kalian, cari Alesya sampai dapat. Aku mengkhawatirkannya," bohong Bella menyuruh anak buahnya untuk mencari Alesya. Dia harus memastikan jika adiknya itu tak akan mengganggu hidupnya bersama Liam.
"Baik Nyonya, kami akan mencari Nyonya Alesya sampai dapat."
"Bagus. Segera berangkat!"
Morne dan anak buahnya segera pergi mencari Alesya. Mereka memulai pencarian dari kediaman Roderick.
Paris.
Malam semakin larut, udara semakin dingin, dan cahaya rembulan menerobos jendela kontrakan milik Zidan. Alesya duduk menyendiri di pojok ruangan, matanya menatap hampa.
Seharian ini, Alesya terus melamun, merenungi masalah yang sedang dihadapinya. Perutnya sama sekali tak terasa lapar, bahkan ia tak menyentuh makanan yang ada di depannya.
Zidan datang, berdiri terpaku menatap Alesya dari pintu hampir tiga puluh menit lamanya. Zidan datang membawa burger dan coffee latte kesukaan gadis itu.
Dengan senyum yang mengandung harapan, ia mengulurkan tangan membawa makanan tersebut ke arah Alesya. "Ayo, makan malam dulu. Aku tahu kamu belum makan apa- apa seharian ini," ajak Zidan lembut, menutupi kegelisahan di hatinya.
"Kamu datang. Apakah kedainya sudah tutup?"
"Ya, baru saja. Makanlah selagi hangat!"
Alesya memandang burger sebentar lalu menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Zidan. Tapi aku benar-benar tidak lapar," jawab Alesya dengan suara yang serak, menahan tangis.
Zidan tidak menyerah begitu saja. Ia berinisiatif mengajak Alesya makan malam di luar, seperti dinner romantis yang sering dilakukan pasangan muda mudi jaman sekarang.
"Em, bagaimana kalau kita makan di luar saja? Mungkin suasana baru bisa membuatmu merasa lebih baik," usul Zidan dengan penuh semangat.
Sekali lagi, Alesya menolak. "Aku tidak ingin keluar, Zidan. Aku hanya ingin sendiri sekarang," ucap Alesya dengan nada pasrah, seolah-olah ia sudah kehilangan semangat hidup.
Zidan menghela nafas, menahan kekecewaannya. Ia tak ingin memaksa Alesya, tapi ia juga tak tahan melihat gadis yang disukainya itu terus menderita.
Dalam keheningan malam, Alesya dan Zidan sama-sama merenung. Alesya tenggelam dalam kesedihan yang menghantui hatinya, rasa rindu pada Liam sekaligus menyesal telah pergi meninggalkannya.
Sementara Zidan sendiri, berusaha mencari cara untuk menghibur dan menyembuhkan luka hati Alesya. Mereka berdua sadar, perjalanan hidup ini masih panjang, dan mereka harus saling menguatkan agar bisa melewatinya bersama.
"Alesya, mengenai Liam…"
Zidan menggantung kalimatnya, ragu untuk melanjutkan pertanyaan yang bisa saja menyakiti hatinya.
"Tanyakan saja. Aku tak masalah," jawab Alesya seolah mengerti apa yang dipikirkan Zidan.
"Apakah selama tiga tahun itu, Liam tak pernah menganggapmu, Ale?"
Alesya mengangguk membuat Zidan mengepalkan tangannya. Bagaimana bisa pernikahan telah berjalan tiga tahun namun tak ada sedikitpun benih benih cinta yang tumbuh pada diri Liam?
Zidan sungguh kasihan pada Alesya, cintanya pada Liam bertepuk sebelah tangan. Sama halnya cintanya pada Alesya. Namun, Zidan memutuskan mencintai dalam diam, memendam perasaan sehingga Alesya tak tahu betapa besar cinta Zidan untuknya.
"Lalu, keputusanmu pergi dari hidup Liam, apa sudah kamu pikirkan secara matang, Ale?"
Alesya menghembuskan nafas berat, kemarin dia sudah memutuskan untuk pergi namun sekarang, entah mengapa dia merasa sedih dan tak nyaman berada jauh dari Liam.
"Terlalu banyak rasa sakit yang ditorehkan padaku sehingga aku tak mampu lagi menerimanya dan membuat keputusan pergi darinya. Mungkin butuh waktu untuk melupakan Liam namun aku akan berusaha melupakannya dan memulai kehidupan baru."
Zidan mengerti betul perasaan Alesya saat ini. Dia juga merasakannya tiga tahun lalu. Mungkin Tuhan sedang mempermainkan mereka sekarang. Dan kita lihat saja nanti, takdir Tuhan berpihak pada siapa.
"Baiklah Ale, aku akan membantumu melupakan masa lalumu. Mulai besok, kamu harus menatap masa depanmu dengan kebahagiaan. Bagaimana?"
Alesya mengangguk setuju. Zidan telah memberinya banyak sekali motivasi. Baik dulu maupun saat ini. "Ya, hari esok adalah harapan untuk lebih baik lagi."
"Benar. Untuk itu, kamu harus berjuang untuk masa depan. Bagaimana kalau kamu bekerja di kedai kopi milikku?!"
"Apa?!"
Alesya mengangguk setuju ketika Zidan menawarkan pekerjaan di kedainya. Dia pikir dengan bekerja, pikiran tentang Liam akan teralihkan.Zidan memandang penuh cinta, merasa bahagia melihat senyuman Alesya. Senyuman yang selalu membayangi pikirannya, baik dari dulu maupun sekarang. Tak ada tempat untuk wanita lain selain Alesya.Pagi hari.Alesya sangat antusias untuk belajar dan tidak butuh waktu lama untuk memahami cara kerja di kedai tersebut. Zidan langsung memberikan pelatihan singkat kepada Alesya, dan tak disangka, Alesya cepat tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam sehari."Baiklah Alesya, kamu bisa kerja sekarang.""Benarkah Zidan?""Itu benar!"Alesya tersenyum bahagia, mulai bekerja di kedai milik Zidan. Kecantikan dan keluwesan Alesya menarik perhatian banyak pelanggan, terutama para pria yang ingin menikmati secangkir kopi bersama pasangan mereka. Semakin sore, kedai semakin ramai setelah kehadiran Alesya, dan Zidan merasa sangat beruntung telah merekrut gadis itu.Keda
Tiga tahun lalu.Di dalam ruang kerja pribadi Liam, ia duduk dengan tenang di belakang meja besarnya. Marco masuk ke ruangan dengan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan. Marco menatapnya dengan dingin dan berkata dengan suara yang keras namun tenang."Liam, kita perlu bicara tentang masa depan keluarga kita. Seperti yang kita ketahui, Bella telah pergi bersama kekasihnya ke luar negeri dan meninggalkanmu. Aku tidak ingin nama baik keluarga ini tercemar.""Aku tahu, aku akan menceraikannya."Jawaban dingin Liam membuat Marco ketakutan, takut dibuang dari konglomerat seperti keluarga Liam Roderick. Dengan gugup berkata, "Bella memang keterlaluan tapi apa yang bisa aku lakukan? Bella telah memilih jalan hidupnya sendiri."Liam tetap diam. Marco memutuskan memberikan penawaran. "Kau harus menikahi anakku yang kedua, Alesya. Dia cantik, pintar, dan akan menjadi istri yang baik untukmu. Jika kau menolak, aku akan membuka keburukan perusahaan milikmu, memberitahukan pada massa mengenai la
"Nyonya Bella.""Apa?!"Liam menatap ketiga anak buah Bella dengan rasa kecewa, tidak mampu mempercayai istrinya setelah mengetahui bahwa Bella-lah yang telah mencelakakan ayah kandungnya sendiri, Marco. Dipandang Marco dan didekati perlahan. "Mengapa Bella menculikmu, Ayah?"Marco diam seribu bahasa, tatapan matanya kosong. Hal itu membuat Liam tak mengerti. "Ayah, lihatlah aku!"Marco menatap Liam sekilas, namun tatapannya sungguh tak bisa dimengerti. "Ayah, ingat operasi sumsung tulang yang kualami tiga tahun lalu?"Lagi lagi Marco diam dengan pandangan kosong. "Apakah benar, yang mendonorkan sumsum tulang belakang untukku adalah Bella?" tanya Liam dengan penuh emosi.Marco masih terdiam, tampaknya ia tidak tahu harus menjawab apa. Liam semakin meradang melihat kebimbangan yang tersirat dalam ekspresi wajah ayah mertuanya.'Ada apa dengannya? Jelas sekali dia berterima kasih padaku dan menoleh saat aku memintanya melihatku,' batin Liam kebingungan."Kalian, cepat urus mereka dan ba
Tiba-tiba saja, Alesya pingsan tanpa sebab yang jelas, membuat Zidan khawatir setengah mati. "Ale,bangunlah! Alesya?!"Dalam keadaan panik, Zidan langsung menggendong Alesya ke mobil dan bergegas menuju rumah sakit terdekat. Ketika sampai di sana, Dokter dan Perawat segera memberikan penanganan spesifik pada Alesya yang masih tak sadarkan diri.Zidan duduk di kursi ruang tunggu, rasa cemas yang luar biasa menyelimuti pikirannya. Dia tak henti- hentinya berdoa agar wanita yang dicintainya itu baik-baik saja. Wajahnya tampak pucat, jantung berdegup kencang menunggu hasil pemeriksaan.Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Alesya keluar dari ruangan dan menghampiri Zidan. Dengan ekspresi tenang Dokter berkata, "Nyonya Alesya sebenarnya tidak ada masalah serius."Zidan merasa lega mendengarnya, namun Dokter mengungkapkan berita yang mengejutkan. "Ternyata Nyonya Alesya sedang hamil."Zidan merasa seolah dunia berhenti sejenak, mata berbinar syok saat mendengar berita tersebut. Dia sungg
"Liam, aku minta maaf jika pergi dari rumah ini tanpa berpamitan padamu. Aku rasa sudah cukup aku mencintaimu selama tiga tahun ini, berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Besar harapanku jika kamu akan mengerti dan membalas cintaku meski hanya sedikit. Namun, kenyataannya aku tak pernah bisa masuk ke dalam lubuk hatimu, menggantikan Bella.Kini Bella telah kembali dan aku sadar diri, tak seharusnya aku mengalami cinta kalian berdua. Meski kamu berkata jika membenci Bella, aku yakin cintamu yang lebih besar akan mengalahkan rasa benci padanya.Terima kasih sudah menjadikanku istri keduamu. Memberi harapan besar atas cintaku. Aku bersyukur pada Tuhan, mengizinkan aku bersamamu selama tiga tahun ini, meski tak bisa merengkuh hatimu. Aku kembalikan semua yang pernah kamu berikan padaku, tapi… aku akan membawa apa yang berhak menjadi milikku. Jangan pernah mencariku lagi. Aku pergi karena ingin mencari jati diriku yang telah hilang sejak lama. Maafkan aku jika selama ini aku telah
Liam tak bisa tidur nyenyak memikirkan alat test pack sialan itu. 'Apakah semua ini benar?' pikir Liam ragu, mengingat ingat kembali jika dirinya tak pernah membiarkan benihnya tumbuh di dalam rahim Alesya. "Lalu alat ini?"Dipegang erat alat test pack itu sambil menatap langit langit kamar Alesya. Detik demi detik, mata menatap kosong seolah bayangan Alesya menari indah di depan mata. Untuk waktu yang lama hingga mata perlahan menutup dan tenggelam dari buaian dunia nyata.Bella sendiri berjalan mendekati pintu dan menatap Liam di balik pintu. Diberanikan diri untuk kembali masuk ruangan tersebut. Bella duduk di kursi depan meja rias, melihat sebuah black id card, cincin dan robekan kertas berhamburan di atas meja.Tatapan Bella tertuju pada sesuatu yang dipegang oleh Liam. Dengan pelan, Bella mengambil test pack tersebut dan terkejut melihat dua garis merah yang tertera disana. 'Apa ini?' pikir Bella mulai menyimpulkan semuanya.'Jadi kamu pikir dengan ini kamu bisa membuat Liam men
Alesya merasa lega saat mendengar dokter menyatakan kondisinya sudah membaik dan dibolehkan pulang. Zidan yang menemani Alesya sepanjang perawatan di rumah sakit, segera membantu Alesya untuk kembali ke kontrakan.Setibanya di kontrakan, Alesya mencoba untuk beristirahat sejenak. Tubuhnya masih lemas meskipun sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Bagaimana tidak? mungkin karena kehamilan yang terjadi.Morne yang setia menjaga ayah Alesya, memberikan kabar setiap hari tentang kondisi Marco yang lemah.Mendengar kabar tersebut, Alesya merasa tidak tega melihat ayahnya menderita. Hatinya tergerak untuk menjenguk Marco malam ini. Walaupun kondisinya masih lemah, Alesya merasa perlu meluangkan waktu untuk menemani ayahnya yang sedang berjuang melawan sakit.Malam pun tiba, Alesya berusaha bangkit dari tempat tidur dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Zidan yang tadinya tiduran di sofa, melihat kegigihan Alesya segera menghampiri, "mau kemana kamu, Ale?""Aku… aku ingin menemui Ayahku sebe
"Apa?!"Alesya tak percaya atas kalimat yang dilontarkan Zidan. Hal itu membuatnya bingung dan terpaku, tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah menyukaimu dari tiga tahun lalu, Ale. Disaat aku ingin menyatakan cintaku padamu, aku mendengar kamu menikah dengan Liam. Jadi, aku berusaha tetap kuat dan mengubur rasa cinta ini. Sekarang, aku tak akan menahannya lagi. Aku menyukaimu dari dulu hingga kini, rasa itu tetap sama dan tak akan berubah."Zidan memegang kedua tangan Alesya, berharap jika kejujuran hatinya bisa menyentuh perasaan Alesya. "Aku tahu ini sangat mendadak untukmu dan tentunya kamu terkejut bahkan syok berat. Jadi, aku tak akan meminta jawabanmu sekarang."Alesya hanya diam membuat Zidan melepaskan tangan dan menghela nafas panjang. "Mengenai kandunganmu, cukup rawat dia seperti kehidupanmu sehari hari. Jangan jadikan beban, Alesya. Aku akan mendukungmu, memenuhi kebutuhan apapun yang kamu butuhkan. Aku bisa menjadi ayah yang baik untuknya. Aku janji."Mendengar hal itu, A