Share

07. Esok adalah harapan

Hening. 

"Maaf Tuan, kami belum menemukan Tuan Marco."

"Bagaimana bisa? Kerahkan semua keahlian kalian dalam mencari orang hilang."

"Baik Tuan. Selama tiga tahun ini, kami sudah berusaha keras mencari Marco namun masih  belum juga menemukan keberadaannya. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

"Iya. Jika tidak, aku akan mencopot jabatan kalian!"

Pletak.

Liam membuang kasar ponselnya di meja kerja. Dirinya sungguh kesal karena ayah mertuanya itu tak hanya pergi membawa uang curian keluarga "Roderick". Marco adalah satu satunya orang yang menjadi saksi transplantasi sumsum tulang belakang Liam.

"Halo Liam."

Bella datang mendekat dan memeluk suaminya. Meski Bella telah kembali, mereka memutuskan untuk tidur terpisah. Hal itu permintaan dari Liam sendiri. Dia butuh waktu untuk menyesuaikan hubungan mereka.

"Ada apa Bell?"

"Aku ingin kita pergi ke suatu tempat. Dimana kita bisa mengulang kembali masa masa indah kita."

Liam memandang sekilas, duduk dan mulai membuka laporan pekerjaan. "Maaf aku sibuk saat ini."

Bella memaksakan senyum meski di dalam hati dia sungguh kesal bukan main. "Ale, apa kamu sudah menemukannya?" tanya Bella mengubah topik.

"Entahlah. Aku tak peduli," jawab Liam tetap tenang membuat Bella semakin kesal. Mencebikkan bibir dan tangan mengepal erat. Alesya sudah pergi. Seharusnya dia bisa lebih dekat dengan Liam namun apa yang didapat?

Liam sungguh dingin padanya. Begitu berbeda dengan Liam-nya yang dulu, sebelum dia pergi. "Liam, tolong anggap aku ini ada? Aku sedang berbicara padamu. Jangan acuh padaku?"

Liam menutup dokumen yang dipegang. Memandang Bella dengan tajam. "Apa maumu?"

Bella mendekat dan merendahkan suaranya, "aku ingin kamu menghargai keberadaanku. Aku sudah kembali Liam."

"Aku tahu, tapi biarkan aku berdamai dengan hatiku dulu. Rasa sakit yang kamu berikan belum kunjung sembuh."

"Tapi… Akulah orang yang menyelamatkan nyawamu? Memberikan transplantasi sumsum tulang belakang padamu," cerca Bella.

"Maka dari itu aku berusaha menerimamu kembali," teriak Liam. Baginya, Bella terlalu naif. Wanita mana yang berani mengancam suaminya sendiri?

"Pergilah!"

 Bella segera pergi dari ruangan Liam. Berjalan cepat dengan menghentakkan kaki seperti anak kecil. Ada tempat yang harus dikunjungi untuk mengatasi masalah ini.

Brakh.

"Edo, katakan padaku dimana Alesya berada?" tanya Bella sambil menggebrak meja kerja Edo.

"Maaf Nyonya. Tuan Liam tak boleh memberikan informasi apapun kepada Anda."

"Apa? Heh, Alesya adikku. Aku berhak tahu dimana dia berada?"

"Anda bisa mencarinya sendiri," ucap Edo dengan entengnya.

Bella semakin geram, wajahnya merah padam. Tadi Liam berhasil membuat dirinya emosi, sekarang asistennya juga sama. Terpaksa Bella harus turun tangan sendiri.

Bella pergi ke kediaman keluarga Marco Gideon. Rumah yang dulu mewah kini tampak tak terawat. Disana ditempati beberapa bodyguard Ayahnya. 

"Nyonya Bella. Akhirnya, Anda datang."

"Iya, pak Mo. Bagaimana kabar kalian?"

"Kami baik dan masih setia pada keluarga ini sampai Nyonya Alesya menghilang. Kini kami seperti pengangguran saja," jawab Morne, ketua bodyguard keluarga Gideon.

"Untuk itu aku kemari. Kalian, cari Alesya sampai dapat. Aku mengkhawatirkannya," bohong Bella menyuruh anak buahnya untuk mencari Alesya. Dia harus memastikan jika adiknya itu tak akan mengganggu hidupnya bersama Liam.

"Baik Nyonya, kami akan mencari Nyonya Alesya sampai dapat."

"Bagus. Segera berangkat!"

Morne dan anak buahnya segera pergi mencari Alesya. Mereka memulai pencarian dari kediaman Roderick.

Paris.

Malam semakin larut, udara semakin dingin, dan cahaya rembulan menerobos jendela kontrakan milik Zidan. Alesya duduk menyendiri di pojok ruangan, matanya menatap hampa. 

Seharian ini, Alesya terus melamun, merenungi masalah yang sedang dihadapinya. Perutnya sama sekali tak terasa lapar, bahkan ia tak menyentuh makanan yang ada di depannya.

Zidan datang, berdiri terpaku menatap Alesya dari pintu hampir tiga puluh menit lamanya. Zidan datang membawa burger dan coffee latte kesukaan gadis itu. 

Dengan senyum yang mengandung harapan, ia mengulurkan tangan membawa makanan tersebut ke arah Alesya. "Ayo, makan malam dulu. Aku tahu kamu belum makan apa- apa seharian ini," ajak Zidan lembut, menutupi kegelisahan di hatinya.

"Kamu datang. Apakah kedainya sudah tutup?"

"Ya, baru saja. Makanlah selagi hangat!" 

Alesya memandang burger sebentar lalu menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Zidan. Tapi aku benar-benar tidak lapar," jawab Alesya dengan suara yang serak, menahan tangis.

Zidan tidak menyerah begitu saja. Ia berinisiatif mengajak Alesya makan malam di luar, seperti dinner romantis yang sering dilakukan pasangan muda mudi jaman sekarang. 

"Em, bagaimana kalau kita makan di luar saja? Mungkin suasana baru bisa membuatmu merasa lebih baik," usul Zidan dengan penuh semangat.

Sekali lagi, Alesya menolak. "Aku tidak ingin keluar, Zidan. Aku hanya ingin sendiri sekarang," ucap Alesya dengan nada pasrah, seolah-olah ia sudah kehilangan semangat hidup. 

Zidan menghela nafas, menahan kekecewaannya. Ia tak ingin memaksa Alesya, tapi ia juga tak tahan melihat gadis yang disukainya itu terus menderita.

Dalam keheningan malam, Alesya dan Zidan sama-sama merenung. Alesya tenggelam dalam kesedihan yang menghantui hatinya, rasa rindu pada Liam sekaligus menyesal telah pergi meninggalkannya. 

Sementara Zidan sendiri, berusaha mencari cara untuk menghibur dan menyembuhkan luka hati Alesya. Mereka berdua sadar, perjalanan hidup ini masih panjang, dan mereka harus saling menguatkan agar bisa melewatinya bersama.

"Alesya, mengenai Liam…"

Zidan menggantung kalimatnya, ragu untuk melanjutkan pertanyaan yang bisa saja menyakiti hatinya.

"Tanyakan saja. Aku tak masalah," jawab Alesya seolah mengerti apa yang dipikirkan Zidan.

"Apakah selama tiga tahun itu, Liam tak pernah menganggapmu, Ale?"

Alesya mengangguk membuat Zidan mengepalkan tangannya. Bagaimana bisa pernikahan telah berjalan tiga tahun namun tak ada sedikitpun benih benih cinta yang tumbuh pada diri Liam?

Zidan sungguh kasihan pada Alesya, cintanya pada Liam bertepuk sebelah tangan. Sama halnya cintanya pada Alesya. Namun, Zidan memutuskan mencintai dalam diam, memendam perasaan sehingga Alesya tak tahu betapa besar cinta Zidan untuknya.

"Lalu, keputusanmu pergi dari hidup Liam, apa sudah kamu pikirkan secara matang, Ale?"

Alesya menghembuskan nafas berat, kemarin dia sudah memutuskan untuk pergi namun sekarang, entah mengapa dia merasa sedih dan tak nyaman berada jauh dari Liam.

"Terlalu banyak rasa sakit yang ditorehkan padaku sehingga aku tak mampu lagi menerimanya dan membuat keputusan pergi darinya. Mungkin butuh waktu untuk melupakan Liam namun aku akan berusaha melupakannya dan memulai kehidupan baru."

Zidan mengerti betul perasaan Alesya saat ini. Dia juga merasakannya tiga tahun lalu. Mungkin Tuhan sedang mempermainkan mereka sekarang. Dan kita lihat saja nanti, takdir Tuhan berpihak pada siapa.

"Baiklah Ale, aku akan membantumu melupakan masa lalumu. Mulai besok, kamu harus menatap masa depanmu dengan kebahagiaan. Bagaimana?"

Alesya mengangguk setuju. Zidan telah memberinya banyak sekali motivasi. Baik dulu maupun saat ini. "Ya, hari esok adalah harapan untuk lebih baik lagi."

"Benar. Untuk itu, kamu harus berjuang untuk masa depan. Bagaimana kalau kamu bekerja di kedai kopi milikku?!"

"Apa?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status