Share

Bagian 3

"Bagaimana, Dek?" Safwan menatap wajah kesal istrinya penuh tanya.

"Apanya yang bagaimana?" jawab Arlina ketus.

"Kak Lesti bayar hutangnya?" tanyanya lagi. Jawaban ketus istrinya barusan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hatinya.

"Menurut, Abang?" Wanita itu menatap sinis. Rautnya masam. Hingga Safwan menelan ludah pahit karenanya.

"Ayo, pulang!" Arlina menghenyakkan tubuh pada jok sepeda motor dengan kesal.

Tangannya meremas pelan perut yang mulai terasa sering sakit. Bibirnya mendesis. Air mata mengalir begitu saja, antara menahan sakit di perut dan sakit di hati.

Setiba di rumah, ia bergegas turun. Melangkah lebar-lebar, abai dengan kondisi yang sebenarnya sangat kepayahan.

"Hati-hati, Dek." Safwan mengejar khawatir. Berusaha merangkul pundak istrinya untuk menuntun. Namun, perempuan itu lekas menepis.

"Kita mau ke bidan apa ke rumah sakit?" tanyanya ketika Arlina meraih tas perlengkapan lahiran yang sudah dikemas beberapa hari lalu. Segera ia mengambil alih benda itu dari tangan istrinya.

"Antarkan ke rumah Umak," jawab Arlina datar.

"Kenapa ke rumah Umak?" tanya Safwan bingung. Alisnya bertaut.

Tak menjawab, perempuan itu melangkah tak acuh menuju sepeda motor.

"Dek?"

"Ayolah, cepatan. Perutku sakit!"

"Lalu kenapa ke rumah Umak? Kamu mau melahirkan."

"Aku mau melahirkan di rumah Umak."

"Di sana ada bidan?"

"Apa Abang ada uang untuk bayar bidan?"

"Kalau begitu kita ke puskesmas, pakai BPJS."

"Hari minggu, puskesmas tutup."

"Kalau begitu UGD rumah sakit saja."

"Abang pikir cukup hanya berbekal BPJS ke rumah sakit? Dulu sewaktu Umak masuk rumah sakit, ada obat-obat yang tidak ditanggung BPJS, ada juga yang kebetulan habis di apotik rumah sakit sehingga harus beli di luar. Belum lagi pasti ada saja keperluan tidak terduga di sana."

Safwan mencelos. Wajahnya seketika memucat, menyadari betapa pentingnya uang yang dulu ia pinjamkan kepada kakaknya.

"Tapi Abang khawatir kondisimu, Dek," ucapnya penuh rasa bersalah. Netranya berkabut melihat Arlina yang acap meringis memegang perut.

"Harusnya Abang berpikir sejak awal bahwa keperluan orang melahirkan itu banyak. Jadi perlu persiapan dana. Aku sudah menyiapkannya sejak lama, seenaknya Abang kasihkan kepada keluarga Abang. Keluarga Abang itu memang tidak peduli, datang kalau sedang butuh saja. Kalau tidak butuh, lupa. Senangnya menggerogoti. Jadi sekarang, biarkan aku dengan keluargaku. Mereka peduli padaku." 

Arlina terisak meluahkan kekesalan di hatinya.

"Maafkan, abang, Dek." Safwan memegang tangan istrinya. Air matanya perlahan lolos. Rasa bersalah dan khawatir berpadu.

"Giliran menagih, Abang tidak mau. Seolah tidak peduli bahwa istrinya akan melahirkan, akan bertaruh nyawa mengantar anaknya ke dunia," isak perempuan itu pilu. 

Hatinya benar-benar kecewa, "Sekarang mau antar aku ke rumah Umak, gak? Atau aku harus bayar ojek?"

Safwan tercekat. Getir, ia men-starter sepeda motor bebeknya, meletakkan tas perlengkapan bayi di depan, lalu menunggu Arlina duduk sempurna sebelum melaju.

"Kalau di sini, siapa yang akan membantu kelahiran, Dek," tanyanya pelan. Melangkah perlahan, ia menggandeng istrinya yang semakin kepayahan menuju pintu masuk rumah mertua.

"Ada Bude Barokah."

"Bidan kampung? Apa gak apa-apa, Dek?"

"Mau bagaimana lagi?" Arlina berucap dingin. Bersikap tak acuh.

Hati Safwan terasa membeku. Laki-laki itu gamang. Kondisi perempuan yang sedang di ambang perjuangan mengantar benihnya ke dunia itu tampak lemah.

"Kita ke rumah sakit saja ya, Dek. Nanti kamu ditemani Umak dulu, Abang cari uangnya. Abang janji," bujuknya. Berharap Arlina berlembut hati menerima.

"Gak. Aku gak akan ke rumah sakit sebelum ada uangnya. Iya kalau Abang dapat uangnya, kalau enggak?"

"Tapi Abang khawatir, Dek."

"Khawatir kenapa?"

"Bagaimana jika kamu gak kuat?"

"Ya biar saja. Abang 'kan gak peduli. Sudah tahu istrinya hamil, uang persiapan lahiran malah dipinjamkan semuanya. Biar aku mati melahirkan sekalian. Supaya Abang tahu rasanya."

"Dek!" Laki-laki itu lemah. Hatinya tersaruk-saruk membayangkan ucapan perempuan di depannya itu menjadi kenyataan. Cairan bening begitu saja deras mengalir dari sudut netra, 

"Jangan ngomong begitu, Abang minta maaf," ucapnya serak.

Arlina tak acuh. Hatinya masih gusar, baik kepada suaminya, juga kepada Lesti. Langkahnya gontai menuju pintu masuk.

"Assalamualaikum," ucapnya pelan. Energinya hampir habis, terkuras oleh emosi yang masih bertahan.

"Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam. Tidak berapa lama, seorang perempuan paruh baya muncul.

"Nak," sambut perempuan itu langsung memeluk dan menciumi Arlina penuh haru, lalu menggandeng wanita itu ke salah satu kamar. Sementara Safwan kembali menuju sepeda motornya, mengambil tas yang masih tertinggal di sana.

Mak Yati, ibunda Arlina segera menyiapkan tikar untuk putrinya, lalu meminta perempuan itu berbaring dengan kondisi siap lahiran.

Di kamar itu, sudah menunggu seorang perempuan lanjut usia yang masih tampak segar. Beliau, yang Arlina sebut Bude Barokah.

Lembut, ia mengusap wajah Arlina, meraba perut, juga tangan.

"Kondisinya lemah," ujarnya pelan.

"Apa tidak sebaiknya dibawa ke klinik saja. Takutnya tidak kuat mengejan nanti," lanjutnya sambil menatap Safwan.

Laki-laki itu menghela napas berat, lalu duduk di samping Arlina. Meraih tangan istrinya, ia mendekatkan wajah pada wanita itu.

"Kita ke rumah sakit ya, Dek," bujuknya parau.

"Enggak," Arlina menjawab ketus.

"Abang akan cari uangnya."

"Abang mau cari di mana? Aku gak mau punya hutang," sahutnya lemah.

"Abang yang tanggung jawab. Insya Allah."

"Aku gak mau ke rumah sakit kalau uangnya belum ada."

"Dek, jangan menyiksa diri sendiri. Abang khawatir."

"Biarin," perempuan itu menyentak tangan dari genggaman suaminya.

Safwan kembali menghela napas berat.

"Kalau begitu tunggu, ya. Janji, kamu harus kuat. Abang cari uangnya. Abang akan kembali secepatnya," ucap laki-laki itu sambil mencium kening Arlina. Matanya berkabut, 

"Kuat ya, Sayang." Ia mengusap pelan pucuk kepala istrinya, lalu beranjak.

"Saya titip Arlina ya, Mak," ucapnya pada ibu mertua yang duduk tidak jauh darinya. Perempuan paruh baya itu menjawab dengan anggukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status