Satu bulan berlalu.
"Uangnya sudah habis. Kakak pakai untuk bayar cicilan dan arisan. Terus sisanya kakak belikan AC. Soalnya kamar kakak panas," ucap Lesti santai ketika Arlina menagih.
"Tapi, Kakak sudah janji mau bayar kalau tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair." Arlina menahan dongkol.
"Iya. Tapi uangnya sudah habis, gimana?" sahut perempuan itu bagai tak berdosa.
"Lha, itu 'kan uang aku, Kak. Aku butuh, mau belanja keperluan lahiran."
"Bulan depan saja, deh. Tunggu kakak dapat arisan."
"Kalau belum bisa full, satu juta saja dulu, Kak. Aku butuh," mohon Arlina.
Ah, siapa yang berhutang, siapa yang memohon? Yang punya uang justru seperti pengemis.
"Bawel amat, sih! Uangnya sudah habis, ya sudah habis," sentak Lesti kasar. Memupus harapan Arlina saat itu untuk mendapatkan uangnya kembali.
Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis yang tertata rapi itu. Perabot yang lengkap, dengan sofa yang empuk. Berbeda dengan rumahnya yang hanya memiliki kursi plastik.
Pot dengan bunga yang cantik tersusun rapi pada rak, indah menghias teras. Perempuan dengan perut membukit itu tahu kisaran harga bunga-bunga itu, semua lumayan mahal.
"Dapat, Dek?" tanya Safwan ketika langkah istrinya berhenti di samping sepeda motornya. Ia sengaja menunggu di luar, membiarkan Arlina saja yang menagih.
Perempuan itu menggeleng, "Kakak kamu, tuh," ujarnya menahan tangis. Kesal, marah, sedih, bercampur baur.
"Aku 'kan sudah bilang ...," lanjutnya.
"Ya, sudah terlanjur," balas laki-laki itu ringan. Membuat tangis yang ditahan Arlina luruh karena jengkel yang tidak berlawan.
"Sebal!" Wanita itu terisak, "Ayo, pulang," ucapnya setelah menghenyakkan tubuh di atas jok dengan kasar.
"Kata Kak Lesti 'kan bulan depan dapat arisan, Dek." Safwan urung menghidupkan mesin kendaraan begitu melihat tangis di mata istrinya.
"Entah! Ayo pulang!" sahutnya jengkel.
***
Bulan berikutnya.
"Uang arisan diambil Bang Yusuf, Ar. Kakak gak berani minta."
Arlina menghela napas berat. Sesak. Rasanya ingin dia berteriak agar sesak itu lepas dari dadanya.
"Tapi aku butuh, Kak." Alih-alih berteriak, suaranya justru memelas.
"Ya, gimana?" Lesti mengedikkan bahu. Tanpa rasa bersalah terbaca dari rautnya.
"Jadi, kapan Kakak mau bayar?"
"Bulan depan kakak coba sisihkan dari gaji. Tapi gak bisa full."
Lelah. Untuk kedua kalinya Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis itu. Ingin marah, mengumpat, tetapi percuma. Tidak akan uang itu seketika terganti hanya dengan dia marah.
"Antar aku ke rumah Kak Arni, Bang. Aku mau pinjam perlengkapan bayi," ucapnya putus asa. Arni adalah kakak tertua Arlina.
Safwan mengangguk, menjawab tanpa suara. Mengantarkan istri tercintanya ke tempat yang disebut.
Ada rasa bersalah menelusup di hatinya. Dia yang tidak bisa memenuhi utuh kebutuhan Arlina, tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal uang itu dipinjam karena ulahnya.
Dengan hamil besar, wanitanya masih harus membuat kue untuk membantu keuangan. Namun, justru hasil jerih payahnya dipinjam sang kakak. Teringat ketika setiap malam istrinya mengeluh sakit pinggang, mungkin karena kelelahan, hatinya semakin tidak nyaman.
"Abang gak usah masuk, carilah tempat untuk gadaikan cincin ini. Berapapun, untuk bayar BPJS. Sudah tiga bulan menunggak," ucapnya sambil mengangsurkan cincin kawin dari jari manisnya.
Laki-laki itu meringis perih. Bahkan BPJS yang hanya lima puluh ribu sebulan tidak terbayarkan.
Zaman memang sedang sulit untuk mereka. Dulu, saat awal pernikahan, dia masih banyak orderan. Bahkan nyaris setiap hari mengantar pelanggan masuk kampung.
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, ojek dari ibukota kabupaten ke pedalaman cukup tinggi. Tiga ratus ribu rupiah sekali jalan, sangat mudah bagi mereka mengumpulkan uang kala itu.
Jualan kue Arlina pun masih lancar, sebelum para penjual kue lain meniru produknya dan menguasai pasar. Kini, rezeki mereka sedang diuji.
***
Meskipun pesimis, setelah satu bulan berlalu, pagi ini Arlina datang kembali menemui Lesti.
"Ini, bawalah," ucap Lesti mengulurkan sebuah bungkusan besar. Arlina menilik isinya, setumpuk pakaian bayi bekas.
Uang yang diminta? Nihil!
"Itu punya Alif. Cuma kakak belum sempat cuci," ujar perempuan itu tenang, "Ambil saja, tidak usah dikembalikan."
Arlina menerima bungkusan itu, lalu meletakkannya kembali dengan kasar. Bahkan sebagian besar pakaian itu sudah sobek dan bernoda.
"Aku gak butuh, Kak. Punya Kak Arni jauh lebih bagus dan bersih. Saat ini aku butuh uangku untuk persalinan. Kakak mau menukar uang lima jutaku dengan pakaian bekas bernoda dan sobek ini?" tanyanya tajam, "Kakak sudah zolim. Dan kelak Kakak akan menuai akibat dari kezoliman ini."
Perempuan itu berjalan kepayahan meninggalkan rumah Lesti sambil meringis memegang perut. Bagian belakang dasternya bercap basah oleh air ketuban yang rembes sejak tadi subuh.
"Bagaimana, Dek?" Safwan menatap wajah kesal istrinya penuh tanya."Apanya yang bagaimana?" jawab Arlina ketus."Kak Lesti bayar hutangnya?" tanyanya lagi. Jawaban ketus istrinya barusan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hatinya."Menurut, Abang?" Wanita itu menatap sinis. Rautnya masam. Hingga Safwan menelan ludah pahit karenanya."Ayo, pulang!" Arlina menghenyakkan tubuh pada jok sepeda motor dengan kesal.Tangannya meremas pelan perut yang mulai terasa sering sakit. Bibirnya mendesis. Air mata mengalir begitu saja, antara menahan sakit di perut dan sakit di hati.Setiba di rumah, ia bergegas turun. Melangkah lebar-lebar, abai dengan kondisi yang sebenarnya sangat kepayahan."Hati-hati, Dek." Safwan mengejar khawatir. Berusaha merangkul pundak istrinya untuk menuntun. Namun, perempuan itu lekas menepis."Kita
Safwan melesatkan sepeda motornya menuju rumah Lesti. Meskipun tidak yakin apakah tujuannya itu benar, tetapi dia perlu bertemu dengan kakaknya itu."Aku sudah bilang sama Arlina, uangnya sudah tidak ada," sahut Lesti ketika ia menanyakan hutangnya, "Aku memberikan pakaian bayi bekas Alif, dia malah menolak.""Pakaian bayi sudah ada, Kak. Arlina meminjam dari Kak Arni. Dia hanya butuh uangnya sekarang. Kakak janji waktu itu hanya sebulan."Safwan yang sejatinya sudah emosi karena cemas, mencoba bicara tenang."Iya. Cuma waktu itu lalu ada keperluan. Jadi uangnya terpakai.""Kakak usahakanlah, karena Arlina benar-benar butuh uangnya. Dia akan melahirkan.""Kakak bilang uangnya sudah terpakai." Suara Lesti meninggi, mulai kesal karena Safwan yang kukuh menagih."Iya. Kakak usahakan bagaimana agar uang itu ada. Pinjam atau apalah. Lagi
Safwan tercekat, menatap nanar rumah yang bagai tak berpenghuni itu. Sejenak ia terpaku, sebelum akhirnya tersadar dan tergesa menuju sepeda motornya kembali."Ada apa, Wan?" Pipit--tetangga tepat samping rumah menyapa."Mmm ... tahu mereka pada ke mana, Kak?" Safwan bertanya khawatir."Lho, kamu belum tahu? Bukannya tadi mengantar istrimu mau melahirkan?""Kemana, Kak?" Laki-laki itu panik. Apa yang terjadi pada Arlina? Jantungnya berdegup kencang. Takut sesuatu yang buruk terjadi."Bagaimana, sih? Istri melahirkan, suami tidak tahu." Bukannya menjawab, perempuan tambun itu justru berucap yang membuat panas telinga Safwan. Padahal dia sedang butuh informasi."Kakak tahu Arlina dibawa kemana?" tanyanya tidak sabar."Ya ke rumah sakitlah. Masa ke pasar. Tadi kabarnya pingsan beberapa kali. Jadi Mak Yati minta tolong suami saya mengantar ke
“Ma ..., sudah siap belum?”Di sudut bumi yang lain, Lesti sedang mematut dirinya di depan cermin, mengaplikasikan kuas dan spons make up pada wajah, fitting beberapa stel baju. Lalu memutuskan mengenakan model terbaru yang sedang trend.“Sebentar lagi, Pa ...!” serunya dari dalam kamar. Sementara Yusuf dan Alif sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu.“Lama sekali!” seru laki-laki itu tidak sabar.“Mama ‘kan harus tampil cantik, Pa,” ucap Lesti. Wanita itu sudah berdiri di depan yusuf.“Gimana?” tanyanya sambil bergaya memutar badan, memamerkan outfit yang dia kenakan. Gaun panjang yang pres di badan. Meskipun bawahan dan lengan panjang, tetapi model baju sempurna menunjukkan bentuk indah tubuhnya. Ditambah lagi, jilbab yang dia kenakan hanya pasmina yang melilit di leher.“Cantik, Ma. K
Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh."Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam.Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar."Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta."Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah.Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri da
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra.Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu."Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja."Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa.Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu.Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu tera
Yusuf terus berkelit ketika Lesti berusaha meraih ponsel pintarnya, "Papa mau ke kamar mandi, kebelet sejak tadi," ucapnya dan begitu saja ia gegas berlalu."Masa ke kamar mandi bawa hp?" Lesti merengut kesal. Namun, Yusuf tidak memedulikan."Tuh lihat, baterainya sudah merah begini," ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.Ia menyodorkan benda pipih persegi panjang itu pada Lesti, "Kalau dipakai pas baterai lemah, nanti cepat rusak," dalihnya."Heleh, Papa setiap triwulan juga tukar hp yang baru. Rusak pun tidak apa dan tidak akan seberapa.""Gak triwulan lagi sekarang, Ma. Caturwulan.""Beda satu bulan saja. Sinikan hp-nya. Mama pinjam."Yusuf mengulurkan gawai berbentuk persegi panjangnya itu, pun dengan sedikit kesal. Lesti kalau sudah maunya, tidak akan bisa ditahan.Sambil menyandar di pucuk r
"Ingat kata dokter. Mama jangan capek, jangan banyak pikiran," ujar Yusuf. Pagi ini dia mengenakan seragam pemda kebesarannya. Sebenarnya penampilannya sudah rapi. Namun, ia masih mematut diri di depan cermin. Tangannya masih sibuk menarik ulur bagian baju yang tampak kurang rapi, atau menyisir rambut untuk yang kesekian kali.Baju yang Yusuf kenakan press membungkus tubuh, menampilkan gurat ototnya yang atletis. Lengan baju yang menempel ketat, memperlihatkan bentukan otot tangan yang kekar. Pria itu benar-benar terlihat sangat macho di usianya yang matang.Sifat Yusuf yang mudah bergaul, supel dan luwes menambah nilai plus sosoknya di mata para rekan kerja, baik pria maupun wanita.Dia pun pandai berkelakar, hangat saat mengajar. Sehingga sampai saat ini, meskipun sudah menjabat sebagai kepala sekolah, Yusuf tetap menjadi guru idola para siswa.Hanya satu nilai negatif yang