Share

Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang
Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang
Penulis: Nyemas Sarifah

Bagian 1.

"Dek, coba ke sini sebentar," panggil Safwan dari ruang tamu kepada istrinya, Arlina. Perempuan itu sedang berada di belakang rumah, mencuci baju. Di ruang tamu ada Lesti, kakak iparnya yang entah kenapa pagi-pagi sudah datang bertamu.

"Ada apa, Bang?" tanyanya ketika sudah sampai di ruang tamu. Sembari menepuk-nepukkan tangan pada baju agar kering, ia duduk di samping Safwan, berhadapan dengan Lesti.

"Ini, Dek. Kak Lesti mau pinjam uang, untuk mencukupi biaya pendaftaran Alif masuk sekolah,” sahut Safwan.

"Pinjam uang?" Seketika dahi Arlina berkerut.

"Iya, Ar. Bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair, kakak ganti,” balas Lesti.

"Kakak gak salah pinjam uang ke kami?" Arlina menatap kakak iparnya yang sudah cantik dengan polesan make up, lengkap dengan outfit yang dikenakan. Jilbab yang hanya melilit leher, menampakkan kalungnya yang panjang melingkar. Cupingnya sedikit dikeluarkan, agar anting leluasa menjuntai. Baju yang membalut tubuh memiliki model lengan tujuh per delapan sehingga jelas terlihat susunan gelang gemerincing di tangannya. 

"Kata Safwan kamu punya simpanan untuk persiapan lahiran. Kakak pakai itu dulu,” balas Lesti lagi.

Spontan Arlina mengerling pada Safwan yang duduk tenang di kursinya. Wanita itu gemas ingin mencubit sedikit saja kulit laki-laki itu pada bagian mana saja. Sudah berapa kali ia katakan jika ada yang berurusan dengan uang, bicara dulu berdua, bukan langsung dihadapkan seperti ini. Semua harus didiskusikan terlebih dahulu.

Sorot matanya pun protes, mengapa harus bercerita tentang uang itu? Bukan apa-apa, perempuan di depannya itu sudah jelek track record-nya tentang utang. Terkenal senang mengulur waktu hingga akhirnya tidak mau membayar.

Lagipula, secara pekerjaan, dia seharusnya lebih baik ekonominya. Suaminya guru bersertifikat. Sudah menjabat Kepala Sekolah. Lihat saja penampilannya, bak artis sosialita. Model baju dan tas selalu mengikuti trend artis, meskipun hanya barang KW. Namun, demikian pun harganya jauh lebih mahal dari apa yang dimiliki Arlina. 

Sedangkan Arlina hanya mengandalkan jualan kue yang pesaingnya sudah menjamur. Suaminya ojek offline yang belakangan mulai sepi orderan, sudah jarang pengguna ojek di masa kendaraan bermotor bukan merupakan barang mewah seperti saat ini. 

"Tapi uang itu untuk persiapan lahiranku, Kak," ucapnya memelas. Berharap perempuan di depannya mau mengerti dan mengurungkan niatnya, "Aku juga belum belanja perlengkapan bayi."

"Iya. Tahu itu untuk persiapan lahiran. Tapi perut kamu 'kan baru lima bulan. Lagi pula kakak sudah bilang, bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair, kakak ganti uangmu." Suara Lesti meninggi. Arlina tersurut ciut, sekaligus dongkol. 

"Pinjamkan saja dulu, Dek. Kan lahiran kamu masih lama," ucap Safwan tenang.

"Tapi, Bang ...." 

"Kamu takut aku tidak bisa bayar? Sudah kukatakan, bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair. Kalau tidak pun, dua bulan lagi aku dapat arisan. Get sepuluh juta." Lesti memotong ucapan Arlina.

"Memangnya Kakak mau pinjam berapa?" Wanita itu pasrah. 

"Kata Safwan kamu ada lima juta."

"Itu keseluruhan tabunganku, Kak."

"Kakak pinjam semua."

"Semua?" Mata Arlina membulat, "Jangan semua, lah, Kak."

"Kalau gak semua, manalah cukup untuk biaya pendaftaran alif."

"Masa Kakak gak punya persiapan sedikit pun untuk biaya sekolah Alif. Sekolah itu 'kan bukan kebutuhan mendadak. Lagipula, pegawai negeri punya gaji tiga belas 'kan untuk keperluan anak sekolah?'

"Gaji tiga belas belum cair, ayo lah sini. Sudah siang ini. Bulan depan kakak ganti. Jangan takut."

"Kasihkan saja, Dek." Lagi-lagi Safwan bersuara yang tidak menyenangkan hati istrinya.

"Abanglah kasihkan," ucapnya menahan kesal. 

Empat bulan lagi melahirkan bukanlah waktu yang lama. Dia mengumpulkan uang itu tidak sebentar, sejak awal menikah satu setengah tahun lalu. Saat itu dia belum tahu kapan akan hamil. Namun, karena sadar sebagai bukan orang berada, dia harus pintar menyisihkan penghasilan untuk disimpan walaupun sedikit. 

Jika pun ada saudara yang membutuhkan, tidak harus semuanya dipinjamkan. Penghasilan mereka tidak tetap setiap bulan, bukan seperti Lesti yang bekerja atau tidak, gaji suaminya terus mengalir. Dia butuh cadangan jika sewaktu-waktu tidak dapat penghasilan.

Arlina beranjak, meninggalkan dua kakak beradik itu dengan kesal. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status