Sepanjang perjalanan pulang pikiran Ratna sibuk memilih antara menghubungi Arjuna atau tidak. Namun, saat sampai di rumah takdir berkata lain. Ada telepon masuk dari nomor yang tidak tersimpan dalam daftar kontak ponselnya, akan tetapi tanpa pikir panjang Ratna langsung mengangkatnya."Ya, halo," sapa Ratna seadanya."Alhamdulillah, akhirnya kamu angkat. Ini aku, Arjuna," ucap Arjuna di seberang sana."Oh kamu. Tanpa kamu memperjelas, aku tahu itu kamu," batin Ratna."Halo, Rat. Masih di sana!" panggil Arjuna memastikan, karena tidak ada respon lagi saat Arjuna memberi tahu, jika dirinya yang menelepon."Ya, masih.""Kita bisa bertemu di luar tidak? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama kamu.""Sampaikan saja sekarang!""Tidak bisa, soalnya ada yang ingin aku tunjukan sama kamu. Please, Rat!""Oke, atur saja.""Nanti malam, pukul delapan di restoran biasa," ucap Arjuna tanpa basa-basi.Meskipun salah, perempuan yang mempunyai rasa trauma akan sosok lelaki, pasti akan berusaha kera
Dalam perjalanan pulang setelah makan bersama, Ratna mencoba menggali sesuatu pada Devina. Rasanya mustahil jika Devina membicarakan hal sedetail itu saat Arjuna datang ke rumah waktu itu."Na, mama mau nanya sesuatu, tapi jawab jujur, ya!" pinta Ratna membelah keheningan antara ibu dan anak ini."Iya. Mama mau nanya soal apa?""Soal pembicaraan di restoran tadi. Kamu komunikasi via apa sama Oom Arjuna lepas dia berkunjung ke rumah kita waktu itu? Soalnya kalau pembahasan kemarin agaknya nggak dibahas pas dia datang deh. Lagian juga kalau bahas gituan pasti mama tahu dan dengar juga."Hmm … Nana minta maaf lagi ya, Ma. Sebenarnya … Nana komunikasi sama Oom Gantengnya lewat email, Ma.""Email?" Ratna melirik bersamaan dengan anggukan beberapa kali oleh Devina."Sejak kapan? Awal-awal kamu kenal kah?""Nggak, Ma. Baru kemarin itu, setelah Oom Arjuna main ke rumah. Sebelumnya nggak pernah," jawab Devina sesuai fakta.Sesampainya di rumah, Ratna meminta Devina mengganti pakaian untuk tidu
"Tidak, hanya itu. Maaf atas sikapku belakangan ini.""Tidak masalah, aku paham sekali soal itu.""Makasih susah menjelaskannya, telepon aku tutup dulu.""Ratna, tunggu!" Ratna yang baru saja ingin menjauhkan ponsel dari telinganya pun urung."Ya, Mas. Ada apa?""Kamu … kamu, sudah tahu soal kabar Laura?" tanya Arjuna penuh kehati-hatian. Suaranya terdengar berat saat bertanya, takut Ratna tersinggung.Ratna menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan, sebenarnya dirinya tengah melawan rasa sakit hati pada Laura yang jelas tak mudah, meski dirinya sudah menyesali akan balas dendam yang tak seharusnya terjadi kemarin itu.Namun, sebagai manusia biasa, tentunya tak mudah bagi Ratna berdamai secara cepat pada manusia seperti Laura. Yang dia tahu, Laura memang terluka parah, tapi dirinya tak tahu jika Laura mengalami depresi berat serta kena amnesia."Kenapa dia? Parahnya kelewatan?" tanya Ratna, dari gurat wajahnya penasaran juga merasa bersalah sekilas atas balas dendamnya.Arj
"Cie … cie … mama sama Oom Ganteng so sweet deh."Arjuna hanya sempat memegang beberapa detik, Ratna buru-buru menarik tangannya, ledekan Devina membuyarkan tatapan dalam antara dua orang dewasa ini."Sorry. Aku hanya ingin menenangkan kamu," jelas Arjuna singkat.Menghilang gerak-gerik yang sedikit salah tingkah, Ratna langsung menyahuti."Nggak masalah, Mas. Terima kasih. Kita kembali ke pembicaraan awal. Kalau kamu tahu kondisi Laura separah itu. Kenapa nggak sejak awal kamu kabari aku, Mas?"Dibenak Ratna, sekalipun sikap dirinya dingin, tapi setidaknya Arjuna punya cara lain untuk menjelaskannya, begitu ingin ibu satu anak ini."Kondisinya nggak memungkinkan. Aku coba ke sini kemarin, kamu tetap saja dingin.""Ya, aku paham. Terima kasih sudah menjelaskan semuanya padaku, Mas. Dan, maaf atas sikapku.""Nggak masalah, aku bisa paham. Aku juga ngucapin makasih sama kamu, karena sudah memenuhi undangan makan malam ini. Lega rasanya," tutur Arjuna seraya mengulas senyum yang mana sor
Wajah Ratna tampak pucat pasi, lipstik merah bata tipisnya pun tak mampu memberi rona pada wajahnya.Rasa ingin tahu pun tak bisa dipungkiri, mulutnya terasa gatal untuk mempertanyakannya."Dokter tahu darimana?" tanya Ratna sangat hati-hati. Ada rasa takut jika dokter itu tahu, bahwa Ratna lah pelakunya."Saya sempat menonton video senonoh itu. Dan, sempat kaget pas pertama kali ibu ini dipindahkan ke sini. Menurut pandangan saya, pasti ada sebabnya kenapa ada orang yang akhirnya tega menyebarkan video senonoh itu.""Akan tetapi, sisi lain, dari segi manusianya, jelas kita ada rasa kasihannya, terlepas dari salah yang dia perbuat."Ratna tampak menghembuskan napas lega. "Baik, dokter. Saya akan usahakan untuk menghubungi orang-orang yang sudah menyebar video tersebut.""Iya, Bu. Minta bantu sekali ya!" Ratna mengangguk, satu sisi dia bersyukur karena dr. Ratih tidak tahu jika dirinya lah yang menyebarkan video senonoh itu, tapi sisi lain rasa bersalahnya pada Laura semakin mendalam.
Sudah empat puluh lima menit berlalu, akan tetapi gemingan suara Dara soal rumah sakit jiwa yak kunjung hilang dari pendengaran Bram. Sampai-sampai membuat dirinya tak konsentrasi melanjutkan kerjaannya."Nenek lampir sialan. Kalau dia tahu kalau Laura yang masuk rumah sakit, tentu saja dia akan tahu bagaimana ceritanya. Sialan! Sialan! Yang ada nggak menutup kemungkinan kalau Ratna akan dilaporkan. Aku tidak ingin Ratna di penjara." Batin Bram bergejolak geram, membayangkan dapat buruk.Dia menyambar ponsel yang tergeletak di samping keyboard dengan kasar. Ingin menghubungi seseorang tampaknya dilihat dari gerak-gerik jarinya yang langsung menekan icon telepon."Ngapain lu nelpon?" serang Dara saat telepon tersambung.Bram mengepal kuat-kuat tangannya, "sabar … tenang ….""Kamu dimana?""Eh, tumben lu panggil kamu? Lu nggak lagi ngelunakin aspal 'kan?" tuduh Dara curiga.Mendengar tuduhan meski benar itu, Bram mengambil sikap tegas, dia menyerang Dara supaya tak ada sela curiga dari
"Tenang, semua akan teratasi semuanya. Sekarang kamu tenang dulu. Satu jam lagi aku hubungi."Telepon mereka pun berakhir. Detik kemudian, tak lama Arjuna mengakhiri telepon dengan Ratna, Adi memberitahu jika semua video senonoh itu sudah di takedown semua."Terima kasih, ya. Kamu duluan saja pulang, saya masih ada urusan," jelas Arjuna."Kalau bapak mau saya temenin, saya bersedia, Pak. Atau bapak butuh sesuatu lagi?" tawar Adi yang begitu paham dengan apa dirasakan bos-nya itu.Seraya memijat pelipisnya, Arjuna pun menyahut. "Saya bisa atasi. Kamu sudah terlalu banyak membantu," tolak Arjuna secara halus.Sebenarnya, bukan dirinya tak ingin menerima tawaran Adi tadi, akan tetapi ada hal yang ingin dia timbang, dan ini privasi.Selepas Adi meninggalkan ruang kerjanya, barulah Arjuna menghubungi Ratna."Sekarang kamu siap-siap, ya! Siapin perlengkapan sekoper punya kamu dan sekoper punya Devina. Satu jam lagi aku sampai di sana!""Mau kemana, Mas? Sudah malam begini.""Ke apartemen, s
"Saya nggak menyangka jika Arjuna seorang pengkhianat. Padahal, saya sudah menaruh kepercayaan 100% padanya," ucap Bapak Jayanto Fento, selaku owner perusahaan tempat Bram dan Arjuna meraih kedudukan tinggi.Dia membaca dan mendengar dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulut Bram yang begitu fasih dan meyakinkan dirinya."Saya juga sudah curiga sejak awal, Pak. Makanya, saya mengumpulkan bukti biar nggak disangka fitnah.""Oke, secepatnya saya akan menyingkirkan Arjuna dari perusahaan, dia memang tidak layak berada di perusahaan saya. Dan, saya akan memberikan kamu kesempatan untuk menggantikan Arjuna karena grafik kinerja kamu baik dan berprestasi.Mendengar apa yang dikatakan Bapak Jayanto sesuai dengan ekspektasinya, senyum Bram merekah sempurna."Bapak serius?" tanyanya pura-pura seolah tak menyangka akan apa yang dikatakan ownernya itu."Untuk kedudukan saya tidak pernah main-main," sahutnya tegas.Tak lupa Bram menyuguhkan sikap paripurna, paling menyanjung, sampai-samp