"Cie … cie … mama sama Oom Ganteng so sweet deh."Arjuna hanya sempat memegang beberapa detik, Ratna buru-buru menarik tangannya, ledekan Devina membuyarkan tatapan dalam antara dua orang dewasa ini."Sorry. Aku hanya ingin menenangkan kamu," jelas Arjuna singkat.Menghilang gerak-gerik yang sedikit salah tingkah, Ratna langsung menyahuti."Nggak masalah, Mas. Terima kasih. Kita kembali ke pembicaraan awal. Kalau kamu tahu kondisi Laura separah itu. Kenapa nggak sejak awal kamu kabari aku, Mas?"Dibenak Ratna, sekalipun sikap dirinya dingin, tapi setidaknya Arjuna punya cara lain untuk menjelaskannya, begitu ingin ibu satu anak ini."Kondisinya nggak memungkinkan. Aku coba ke sini kemarin, kamu tetap saja dingin.""Ya, aku paham. Terima kasih sudah menjelaskan semuanya padaku, Mas. Dan, maaf atas sikapku.""Nggak masalah, aku bisa paham. Aku juga ngucapin makasih sama kamu, karena sudah memenuhi undangan makan malam ini. Lega rasanya," tutur Arjuna seraya mengulas senyum yang mana sor
Wajah Ratna tampak pucat pasi, lipstik merah bata tipisnya pun tak mampu memberi rona pada wajahnya.Rasa ingin tahu pun tak bisa dipungkiri, mulutnya terasa gatal untuk mempertanyakannya."Dokter tahu darimana?" tanya Ratna sangat hati-hati. Ada rasa takut jika dokter itu tahu, bahwa Ratna lah pelakunya."Saya sempat menonton video senonoh itu. Dan, sempat kaget pas pertama kali ibu ini dipindahkan ke sini. Menurut pandangan saya, pasti ada sebabnya kenapa ada orang yang akhirnya tega menyebarkan video senonoh itu.""Akan tetapi, sisi lain, dari segi manusianya, jelas kita ada rasa kasihannya, terlepas dari salah yang dia perbuat."Ratna tampak menghembuskan napas lega. "Baik, dokter. Saya akan usahakan untuk menghubungi orang-orang yang sudah menyebar video tersebut.""Iya, Bu. Minta bantu sekali ya!" Ratna mengangguk, satu sisi dia bersyukur karena dr. Ratih tidak tahu jika dirinya lah yang menyebarkan video senonoh itu, tapi sisi lain rasa bersalahnya pada Laura semakin mendalam.
Sudah empat puluh lima menit berlalu, akan tetapi gemingan suara Dara soal rumah sakit jiwa yak kunjung hilang dari pendengaran Bram. Sampai-sampai membuat dirinya tak konsentrasi melanjutkan kerjaannya."Nenek lampir sialan. Kalau dia tahu kalau Laura yang masuk rumah sakit, tentu saja dia akan tahu bagaimana ceritanya. Sialan! Sialan! Yang ada nggak menutup kemungkinan kalau Ratna akan dilaporkan. Aku tidak ingin Ratna di penjara." Batin Bram bergejolak geram, membayangkan dapat buruk.Dia menyambar ponsel yang tergeletak di samping keyboard dengan kasar. Ingin menghubungi seseorang tampaknya dilihat dari gerak-gerik jarinya yang langsung menekan icon telepon."Ngapain lu nelpon?" serang Dara saat telepon tersambung.Bram mengepal kuat-kuat tangannya, "sabar … tenang ….""Kamu dimana?""Eh, tumben lu panggil kamu? Lu nggak lagi ngelunakin aspal 'kan?" tuduh Dara curiga.Mendengar tuduhan meski benar itu, Bram mengambil sikap tegas, dia menyerang Dara supaya tak ada sela curiga dari
"Tenang, semua akan teratasi semuanya. Sekarang kamu tenang dulu. Satu jam lagi aku hubungi."Telepon mereka pun berakhir. Detik kemudian, tak lama Arjuna mengakhiri telepon dengan Ratna, Adi memberitahu jika semua video senonoh itu sudah di takedown semua."Terima kasih, ya. Kamu duluan saja pulang, saya masih ada urusan," jelas Arjuna."Kalau bapak mau saya temenin, saya bersedia, Pak. Atau bapak butuh sesuatu lagi?" tawar Adi yang begitu paham dengan apa dirasakan bos-nya itu.Seraya memijat pelipisnya, Arjuna pun menyahut. "Saya bisa atasi. Kamu sudah terlalu banyak membantu," tolak Arjuna secara halus.Sebenarnya, bukan dirinya tak ingin menerima tawaran Adi tadi, akan tetapi ada hal yang ingin dia timbang, dan ini privasi.Selepas Adi meninggalkan ruang kerjanya, barulah Arjuna menghubungi Ratna."Sekarang kamu siap-siap, ya! Siapin perlengkapan sekoper punya kamu dan sekoper punya Devina. Satu jam lagi aku sampai di sana!""Mau kemana, Mas? Sudah malam begini.""Ke apartemen, s
"Saya nggak menyangka jika Arjuna seorang pengkhianat. Padahal, saya sudah menaruh kepercayaan 100% padanya," ucap Bapak Jayanto Fento, selaku owner perusahaan tempat Bram dan Arjuna meraih kedudukan tinggi.Dia membaca dan mendengar dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulut Bram yang begitu fasih dan meyakinkan dirinya."Saya juga sudah curiga sejak awal, Pak. Makanya, saya mengumpulkan bukti biar nggak disangka fitnah.""Oke, secepatnya saya akan menyingkirkan Arjuna dari perusahaan, dia memang tidak layak berada di perusahaan saya. Dan, saya akan memberikan kamu kesempatan untuk menggantikan Arjuna karena grafik kinerja kamu baik dan berprestasi.Mendengar apa yang dikatakan Bapak Jayanto sesuai dengan ekspektasinya, senyum Bram merekah sempurna."Bapak serius?" tanyanya pura-pura seolah tak menyangka akan apa yang dikatakan ownernya itu."Untuk kedudukan saya tidak pernah main-main," sahutnya tegas.Tak lupa Bram menyuguhkan sikap paripurna, paling menyanjung, sampai-samp
Di restoran yang terbilang biasa owner dan direktur itu bertemu. Jayanto tampak hangat menyambut kedatangan Arjuna. Mereka berpelukan."Harusnya saya yang menunggu bapak. Ini malah kebalikan," ucap Arjuna seraya melepaskan pelukan."Ah, sama saja menurut saya. Silakan duduk!" pinta Jayanto.Arjuna menarik bangku tepat seberang Jayanto."Gimana kabarnya?""Sehat, Pak. Seperti yang terlihat.""Baguslah."Awal-awal sebelum menyantap hidangan yang mulai berdatangan, mereka saling berbasa-basi satu sama lain. Dan, ketika hidangan sudah lengkap di atas meja mereka pun menyantapnya.Tak butuh lama, setengah jam pun berlalu, senyum di antara dua petinggi ini pun semakin merekah terlihat."Saya usul, acara itu segera saja dilakukan. Saya eneg dengan tingkah dia.""Bagusnya kapan, Pak? Saya pun berpikir demikian, supaya suasana kantor kembali tercipta seperti sedia kala. Hawanya memang kurang nyaman. Tak sedikit dari karyawan yang berkeluh kesah pada saya akan sikapnya yang arogan dan otoriter.
Pada hitungan ketiga, lampu pun dimatikan, bersamaan dengan diputarnya jejak rekaman."Bagaimana, Pak? Sekarang bapak sudah tahu 'kan bagaimana liciknya Bapak Arjuna selama ini. Bermain persen biar bisa cepat kaya," ucap Bram.Rentetan kata yang terucap dari mulut berbisa Bram setelah selesai menjelek-jelekan Arjuna dan menuduh direkturnya itu korupsi dari uang kerjasama.Dibalik pantulan cahaya rekaman video yang terputar, wajah Bram berubah 360°. Sorot matanya tampak tajam menatap Arjuna yang tersenyum."Huuuuuuuuu … yang licik nuduh licik."Mendengar sorakan yang sesuai dengan ekspektasi, MC pun memberhentikan pemutaran video sementara."Para hadirin harap tenang, videonya belum usai." Suara MC membuat sorakan tadi terhenti seketika."Mari kita lanjutkan ya! Simak baik-baik!"Rekaman video pun berlanjut dalam keremangan."Saya melakukan hal ini karena saya tidak ingin bapak terus-terusan menjadi korbannya. Padahal bapak sudah percaya penuh pada perusahaan ini. Jangan sampai karena
"Pak, semuanya udah pada bubar!" ucap seseorang seraya memukul pelan pundak Bram yang masih bergeming.Bram tersentak dari lamunannya. Menyisir ballroom yang hanya ada hitungan orang saja."Oke, nggak perlu aku pikirkan mereka itu. Mungkin ini salah satu cara mereka mengambil muka di depan para klien yang diundang. Atau bisa jadi … Nggak! Aku harus mawas diri." Bram membatin."Dan, untuk urusan Ratna dan Devina akan aku temui esok hari. Semoga saja mereka sudah pulang ke rumah.""Ini bukan akhir segalanya."Bram berpura-pura memperbaiki dasi yang tak rusak, serta tampak mengatur napasnya. Tak berapa lama, Bram pun ikut meninggalkan ballroom yang menjadi saksi prestasi terbesarnya, malah sebaliknya, menjadi saksi kehancuran dirinya secara langsung. Meskipun tak ada satupun sikap arogan ataupun cacian dari Jayanto dan Arjuna.***"Saya ingin Bram dihabisi saat itu juga. Setidaknya, sebuah tamparan berhak dia terima," ucap Jayanto menggebu."Jangan, Pak. Tangan Anda terlalu berharga jika