Pada hitungan ketiga, lampu pun dimatikan, bersamaan dengan diputarnya jejak rekaman."Bagaimana, Pak? Sekarang bapak sudah tahu 'kan bagaimana liciknya Bapak Arjuna selama ini. Bermain persen biar bisa cepat kaya," ucap Bram.Rentetan kata yang terucap dari mulut berbisa Bram setelah selesai menjelek-jelekan Arjuna dan menuduh direkturnya itu korupsi dari uang kerjasama.Dibalik pantulan cahaya rekaman video yang terputar, wajah Bram berubah 360°. Sorot matanya tampak tajam menatap Arjuna yang tersenyum."Huuuuuuuuu … yang licik nuduh licik."Mendengar sorakan yang sesuai dengan ekspektasi, MC pun memberhentikan pemutaran video sementara."Para hadirin harap tenang, videonya belum usai." Suara MC membuat sorakan tadi terhenti seketika."Mari kita lanjutkan ya! Simak baik-baik!"Rekaman video pun berlanjut dalam keremangan."Saya melakukan hal ini karena saya tidak ingin bapak terus-terusan menjadi korbannya. Padahal bapak sudah percaya penuh pada perusahaan ini. Jangan sampai karena
"Pak, semuanya udah pada bubar!" ucap seseorang seraya memukul pelan pundak Bram yang masih bergeming.Bram tersentak dari lamunannya. Menyisir ballroom yang hanya ada hitungan orang saja."Oke, nggak perlu aku pikirkan mereka itu. Mungkin ini salah satu cara mereka mengambil muka di depan para klien yang diundang. Atau bisa jadi … Nggak! Aku harus mawas diri." Bram membatin."Dan, untuk urusan Ratna dan Devina akan aku temui esok hari. Semoga saja mereka sudah pulang ke rumah.""Ini bukan akhir segalanya."Bram berpura-pura memperbaiki dasi yang tak rusak, serta tampak mengatur napasnya. Tak berapa lama, Bram pun ikut meninggalkan ballroom yang menjadi saksi prestasi terbesarnya, malah sebaliknya, menjadi saksi kehancuran dirinya secara langsung. Meskipun tak ada satupun sikap arogan ataupun cacian dari Jayanto dan Arjuna.***"Saya ingin Bram dihabisi saat itu juga. Setidaknya, sebuah tamparan berhak dia terima," ucap Jayanto menggebu."Jangan, Pak. Tangan Anda terlalu berharga jika
Tampak Arjuna berhenti mendadak, Jayanto pun merasa heran."Kenapa, Ar?" tanya Jayanto saat hendak melewati Arjuna."Ada perlu, Pak. Bapak duluan saja!" serunya.Jayanto yang dipegangi kedua bodyguardnya pun tetap melanjutkan langkah keluar dari hotel.Ratna terkejut seraya menatap lekat Arjuna."Kenapa, Mas?" tanyanya.Arjuna mengedipkan dua kali matanya lalu menggerakkan bola matanya ke arah samping. Ratna yang seolah paham pun langsung membungkuk ke arah Devina."Na, mama sama Oom Arjuna ngomong di sana sebentar, ya. Nana tunggu di sini. Mama nggak lama."Devina mengangguk setuju. Keduanya pun langsung menjauhkan diri dari posisi Devina berdiri."Kenapa, Mas? Kamu jangan bikin aku makin deg-degan," bisik Ratna."Sorry. Soalnya aku baru ingat, kalau seandainya benar Bram yang tertabrak bagaimana?""Ya nggak masalah, mungkin itu sudah takdirnya," sahut Ratna cepat."Bukan, maksud aku bukan itu.""Lalu apa, Mas? Itu Devina ngelirik arah sini. Kamu mau ngomong apa sebenarnya?" desak Ra
Arjuna tak langsung merespon apa yang ditanyakan Ratna. Dia melangkah agak menjauh dari teras IGD dimana Bram ditindak. Mata Wati yang menatap tajam turut menjadi salah satu alasan Arjuna memilih menjauh."Mas … Kamu masih disana 'kan?""Iya, aku masih disini. Ini lagi menjauh, soalnya mantan mertua kamu ngeliriknya tajam banget. Seram.""Udah disana mamanya Mas Bram? Siapa yang ngabarin?""Kayaknya tahu dari berita televisi, Rat.""Maksud kamu? Diantara wartawan yang ada di hotel tadi itu, ada yang siaran live?""Begitu sepertinya. Soalnya nyampe rumah sakit mama Bram tadi …."*"Oh, jadi kamu sengaja membuat anak saya malu secara terang-terangan. Hah?" Suara Wati menggelegar membuat semua mata yang ada di sekitar IGD menoleh ke sumber suara. Bahkan, ada juga yang mendekat saking penasarannya.Arjuna berusaha mengontrol emosinya. Meskipun Bram sudah begitu jahatnya pada dirinya, akan tetapi Arjuna tidak ingin meluapkan emosinya pada Wati."Sudah, Bu. Jangan main tuduh. Sekarang mendi
Tiga orang di sana saling menatap. Penuh arti.Mendapati tak ada sahutan dari lelaki yang memakai rompi kebesarannya itu. Wati kembali bersuara."Kenapa diam, Dok? Anak saya bagaimana? Lihat itu! Dia terdiam. Kenapa dia tidak bersuara?"Emosi Wati benar-benar tidak bisa dikontrol lagi. Tangisnya menjadi, suaranya makin menggelegar."Bu, sini ikut saya!" Sang perawat mendekat.Namun, Wati menjauhkan posisinya."Buat apa saya ikut? Kalian di sini belum menjawab apa yang saya tanyakan. Atau kalian ingin mengatakan jika anak saya sudah mati, begitu?" serang Wati.Bukannya marah ataupun terlihat emosi, sang perawat yang berwajah teduh itupun menggelengkan kepala."Pasien masih selamat. Akan tetapi, ada beberapa hal yang ingin disampaikan dokter sama ibu. Mari ikut saya!" ajaknya tak pantang menyerah. Sang perawat itupun memegang kedua bahu Wati, menuntunnya ke dalam sebuah ruangan.Dengan jantung berdebar tak beraturan serta emosi yang belum terkontrol dengan baik, terlihat dari irama napa
Di sebuah restoran mewah, ruangan VIP dihiasi dengan indahnya. Penuh bunga mawar merah, putih, dan pink. Kombinasi yang begitu terasi. Lampu secerah bulan purnama semakin melengkapi kehangatan. Meja berbentuk lingkaran pun dihiasi pernak-pernik perlengkapan makan yang elegan. Lilin putih yang menyala semakin memperindah meja. Yang biasanya hanya ada sepasang kursi, berbeda dengan ini, ada tiga kursi yang siap di duduki oleh yang punya acara."Ma, mama udah selesai?" tanya Devina di depan pintu."Masuk aja, Na!"Devina membuka pintu kamar Ratna yang tak dikunci."Wah, mama cantik sekali pakai gaun peach ini." Puji Devina kagum. Matanya sama sekali tak berkedip saat baru masuk ke kamar perempuan yang melahirkannya itu.Dipuji anak semata wayangnya, Ratna pun menoleh ke belakang. Tampak gurat wajah tak percaya diri dari ibu satu anak ini."Mama keliatan lebay ya, Na?" tanya Ratna. "Mama ganti baju aja ya? Lagian 'kan cuma makan malam biasa.""Ma, sesekali nggak apalah dandan. Oom Arjuna
Ratna menutup mulut dengan kedua tangannya, menatap cincin yang masih berada dalam kotak merah berbentuk love, detik kemudian dia menatap Arjuna yang tersenyum. Alunan musik instrumental semakin menambah haru di hati Ratna."Kalau kamu mau menerima aku sebagai ayah Devina, ambil cincin ini, tapi … kalau tidak kamu tutup kotak cincin ini!" Penjelasan Arjuna sedikit membuyarkan tatapan Ratna.Ratna tidak langsung menjawab, dia malah menoleh ke arah kanan, dimana sang anak tercintanya berdiri."Terima, Ma!" pinta Devina meski hanya dengan gerakan bibir dan disusul dengan senyum semringah.Ratna tampak menghela napas dalam-dalam kemudian dia lepaskan perlahan. Sempat juga memejam matanya beberapa detik.Jantung Arjuna terasa mau jatuh dari posisinya, kala melihat tangan Ratna perlahan mendekat ke kotak cincin yang ada di tangannya."Kalau aku ragu bagaimana?" tanya Ratna bersamaan dengan terhentinya tangannya yang hanya berjarak satu sentimeter dari kotak cincin tersebut."Kalau kamu ragu
Arjuna menepati janjinya menghubungi Ratna lewat sambungan telepon."Jadi gimana, Mas? Aku nggak mau kalau, kisah lama kejadian lagi," jelas Ratna membuka pembicaraan setelah mereka basa-basi hal lain saat telepon baru saja tersambung."Aku udah cerita semuanya ke mami, satu bulan yang lalu. Pas, pulang dari rumah sakit. Mami langsung nyodorin aku dengan berbagai macam pertanyaan. Apalagi dia juga melihat berita itu di televisi.""Terus apa tanggapan mami kamu?""Ya … aku jelasin semuanya, dari awal hingga bagaimana Bram begitu berniat untuk menghancurkan aku. Dan, aku juga kasih tahu, semua berjalan mulus atas dorongan Dara yang juga memberi Bram sejumlah uang.""Yang jelas, mami shock, wajar menurutku. Apalagi soal Dara. Jelas ada bentuk ketidakpercayaan mami soal itu. Tapi aku juga nggak maksa mami. Karena aku paham, pasti nggak gampang buat mami. Jadi, seminggu setelahnya, barulah mami tanya lagi. Apa motif Bram sampai nekat berbuat seperti itu.""Kamu jawab apa, Mas?""Dia sakit