Arjuna tak langsung merespon apa yang ditanyakan Ratna. Dia melangkah agak menjauh dari teras IGD dimana Bram ditindak. Mata Wati yang menatap tajam turut menjadi salah satu alasan Arjuna memilih menjauh."Mas … Kamu masih disana 'kan?""Iya, aku masih disini. Ini lagi menjauh, soalnya mantan mertua kamu ngeliriknya tajam banget. Seram.""Udah disana mamanya Mas Bram? Siapa yang ngabarin?""Kayaknya tahu dari berita televisi, Rat.""Maksud kamu? Diantara wartawan yang ada di hotel tadi itu, ada yang siaran live?""Begitu sepertinya. Soalnya nyampe rumah sakit mama Bram tadi …."*"Oh, jadi kamu sengaja membuat anak saya malu secara terang-terangan. Hah?" Suara Wati menggelegar membuat semua mata yang ada di sekitar IGD menoleh ke sumber suara. Bahkan, ada juga yang mendekat saking penasarannya.Arjuna berusaha mengontrol emosinya. Meskipun Bram sudah begitu jahatnya pada dirinya, akan tetapi Arjuna tidak ingin meluapkan emosinya pada Wati."Sudah, Bu. Jangan main tuduh. Sekarang mendi
Tiga orang di sana saling menatap. Penuh arti.Mendapati tak ada sahutan dari lelaki yang memakai rompi kebesarannya itu. Wati kembali bersuara."Kenapa diam, Dok? Anak saya bagaimana? Lihat itu! Dia terdiam. Kenapa dia tidak bersuara?"Emosi Wati benar-benar tidak bisa dikontrol lagi. Tangisnya menjadi, suaranya makin menggelegar."Bu, sini ikut saya!" Sang perawat mendekat.Namun, Wati menjauhkan posisinya."Buat apa saya ikut? Kalian di sini belum menjawab apa yang saya tanyakan. Atau kalian ingin mengatakan jika anak saya sudah mati, begitu?" serang Wati.Bukannya marah ataupun terlihat emosi, sang perawat yang berwajah teduh itupun menggelengkan kepala."Pasien masih selamat. Akan tetapi, ada beberapa hal yang ingin disampaikan dokter sama ibu. Mari ikut saya!" ajaknya tak pantang menyerah. Sang perawat itupun memegang kedua bahu Wati, menuntunnya ke dalam sebuah ruangan.Dengan jantung berdebar tak beraturan serta emosi yang belum terkontrol dengan baik, terlihat dari irama napa
Di sebuah restoran mewah, ruangan VIP dihiasi dengan indahnya. Penuh bunga mawar merah, putih, dan pink. Kombinasi yang begitu terasi. Lampu secerah bulan purnama semakin melengkapi kehangatan. Meja berbentuk lingkaran pun dihiasi pernak-pernik perlengkapan makan yang elegan. Lilin putih yang menyala semakin memperindah meja. Yang biasanya hanya ada sepasang kursi, berbeda dengan ini, ada tiga kursi yang siap di duduki oleh yang punya acara."Ma, mama udah selesai?" tanya Devina di depan pintu."Masuk aja, Na!"Devina membuka pintu kamar Ratna yang tak dikunci."Wah, mama cantik sekali pakai gaun peach ini." Puji Devina kagum. Matanya sama sekali tak berkedip saat baru masuk ke kamar perempuan yang melahirkannya itu.Dipuji anak semata wayangnya, Ratna pun menoleh ke belakang. Tampak gurat wajah tak percaya diri dari ibu satu anak ini."Mama keliatan lebay ya, Na?" tanya Ratna. "Mama ganti baju aja ya? Lagian 'kan cuma makan malam biasa.""Ma, sesekali nggak apalah dandan. Oom Arjuna
Ratna menutup mulut dengan kedua tangannya, menatap cincin yang masih berada dalam kotak merah berbentuk love, detik kemudian dia menatap Arjuna yang tersenyum. Alunan musik instrumental semakin menambah haru di hati Ratna."Kalau kamu mau menerima aku sebagai ayah Devina, ambil cincin ini, tapi … kalau tidak kamu tutup kotak cincin ini!" Penjelasan Arjuna sedikit membuyarkan tatapan Ratna.Ratna tidak langsung menjawab, dia malah menoleh ke arah kanan, dimana sang anak tercintanya berdiri."Terima, Ma!" pinta Devina meski hanya dengan gerakan bibir dan disusul dengan senyum semringah.Ratna tampak menghela napas dalam-dalam kemudian dia lepaskan perlahan. Sempat juga memejam matanya beberapa detik.Jantung Arjuna terasa mau jatuh dari posisinya, kala melihat tangan Ratna perlahan mendekat ke kotak cincin yang ada di tangannya."Kalau aku ragu bagaimana?" tanya Ratna bersamaan dengan terhentinya tangannya yang hanya berjarak satu sentimeter dari kotak cincin tersebut."Kalau kamu ragu
Arjuna menepati janjinya menghubungi Ratna lewat sambungan telepon."Jadi gimana, Mas? Aku nggak mau kalau, kisah lama kejadian lagi," jelas Ratna membuka pembicaraan setelah mereka basa-basi hal lain saat telepon baru saja tersambung."Aku udah cerita semuanya ke mami, satu bulan yang lalu. Pas, pulang dari rumah sakit. Mami langsung nyodorin aku dengan berbagai macam pertanyaan. Apalagi dia juga melihat berita itu di televisi.""Terus apa tanggapan mami kamu?""Ya … aku jelasin semuanya, dari awal hingga bagaimana Bram begitu berniat untuk menghancurkan aku. Dan, aku juga kasih tahu, semua berjalan mulus atas dorongan Dara yang juga memberi Bram sejumlah uang.""Yang jelas, mami shock, wajar menurutku. Apalagi soal Dara. Jelas ada bentuk ketidakpercayaan mami soal itu. Tapi aku juga nggak maksa mami. Karena aku paham, pasti nggak gampang buat mami. Jadi, seminggu setelahnya, barulah mami tanya lagi. Apa motif Bram sampai nekat berbuat seperti itu.""Kamu jawab apa, Mas?""Dia sakit
Flashback …."Bagaimana keadaan si pengkhianat itu?" Dua hari setelah acara, Jayanto menyempatkan diri datang ke kantor sekaligus ingin memantau keadaan kantor secara langsung. Sudah lama rasanya dia tak berkunjung."Belum tahu, Pak. Masih ditangani dokter sampai saya pulang.""Kenapa nggak ditungguin?" tanya Jayanto sedikit heran. Karena dia juga meminta Arjuna untuk melihat kondisi Bram secara langsung. Apalagi pasca insiden kecelakaan itu, Jayanto langsung bergegas meninggalkan hotel."Mamanya ngamuk ke saya, Pak. Malah nuduh yang macam-macam. Bikin suasana rumah sakit kacau jadinya, sampai satpam turun tangan. Saya masih sempat nunggu setelah keributan itu, hanya saja takut mamanya heboh lagi. Akhirnya, saya putuskan untuk pergi.""Pasti ibunya akan laporkan ke polisi ya?""Katanya begitu, Pak. Ya … silakan saja, yang ada anaknya bakalan tidur di penjara. Untuk kondisi Bram, biar saya yang ke sana nanti pas jam makan siang. Gimananya, saya kabari bapak.""Oke, saya hanya ingin tah
"Kamu udah ngasih tahu Ratna kalau mami pengen ketemu sama dia?"Shanti menagih janji anaknya, yang katanya akan mencarikan waktu untuk bertemu dambaan hati."Aku sudah ngasih tahu kalau mami kasih restu. Cuma untuk waktunya belum."Mereka membicarakan ini tepat esok paginya setelah Arjuna melamar Ratna secara pribadi semalam.Dirinya pun menghentikan aktivitas makan roti bakar dan menatap lekat wanita yang melahirkannya itu."Semalam, secara pribadi, aku udah ngelamar Ratna ….""Apa?" Saking kagetnya roti bakar yang baru saja digigitnya jatuh ke piring.Tentunya, sikap kaget Shanti malah membuat Arjuna bingung, apalagi Shanti memotong pembicaraannya yang belum selesai."Kenapa, Mi? Kok kaget banget, sampai gigitan rotinya jatuh gitu," tutur Arjuna heran. Shanti berusaha mengontrol diri."Iya, ya kaget dong. Harusnya kamu lamar dia bawa mami dong.""Oh … kirain apaan tadi. Sebelum sama mami, tentu secara pribadi dulu.""Terus Ratna gimana? Nggak nolak 'kan?""Nggak, dia nerima. Lamara
Seminggu pun berlalu, hubungan antara Shanti dan Arjuna lebih dingin dari sebelumnya. Apalagi setelah Arjuna mengetahui jika maminya belum sepenuhnya hati menerima Ratna. Dan, malah memaklumi sikap Dara yang terbilang tak ada moral itu."Jadi gimana? Ini sudah seminggu lho dari waktu yang kamu tuduh mami itu lho?""Nanti-nanti ajalah ketemunya, Mi. Aku lagi sibuk di kantor," sahut Arjuna se lewat saat hendak berangkat kerja."Oh oke, nggak masalah. Mami terserah kamu juga. Mau cepat nikah atau enggaknya juga tergantung kamu," balas Shanti dengan nada ketus.Komunikasi Shanti dan Dara kian intens, Dara yang kemarin-kemarin itu sempat kual mahal, sekarang kembali menjilat ludah sendiri. Demi menarik hati Shanti, modal berapapun kembali tak jadi persoalan baginya. Dan, bagi Shanti, ini adalah kesempatan emas yang mustahil akan datang untuk kesekian kalinya. Akibat hasutan Dara yang meracuni pikiran Shanti, sekalipun Ratna kaya punya saham besar di perusahaan Arjuna bekerja, belum tentu R