Aku terdiam, lidahku mulai kelu, seakan tak mampu mengeluarkan kata apapun saat mendengar pertanyaan suamiku yang lebih memilih wanita itu dari pada aku.
Perasaan marah dan kecewa sudah menyatu dalam benakku. Dalam hatiku, pertanyaan-pertanyaan pun mulai meluncur, kenapa suamiku bisa setega ini kepada diriku, menikahi Kalea yang tak lain adalah sahabatku, begitu pun sebaliknya, saat ini banyak pertanyaan dalam pikiranku tentang Kalea, mengapa dia bisa setega ini merebut suamiku, setelah aku menolong dirinya dari keterpurukan saat diceraikan oleh suaminya. "Kenapa kamu lakukan ini kepadaku, Mas? Apa salahku? Bukankah aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kita?" tanyaku, menatap nanar wajah suamiku. Selama lima tahun, aku rela bekerja keras hingga berada di luar negeri, semuanya demi membangun kehidupan kami berdua lebih baik. Akan tetapi, saat aku memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan kembali ke pelukan suaminya, yang ada hanyalah sahabatku yang kini berubah status menjadi istrinya. Hatiku makin panas melihat suamiku yang memeluk erat sahabatku yang kini harus dipanggil 'Istri' juga oleh suamiku. Begitu menyakitkan kenyataan yang aku rasakan sekembalinya aku dari perantauan, menyaksikan pernikahan suamiku dan sahabatku, dan kini aku harus menerima kenyataan bahwa Kalea telah mengandung anak Mas Raka. Rasa kecewa dan marah bergulir kian membara, tidak menemukan tanda-tanda reda. Terlebih karena hubungan tersebut bersifat ilegal dan berada di balik sepengetahuanku. "Tidak ada yang salah dari semua ini, semuanya sudah terjadi. Aku dan Kalea terjebak cinta saat kau tak bisa lagi mengisi kekosongan hati ini. Aku lelaki normal, jelas aku membutuhkan kebutuhan biologis dan aku dapatkan dari Kalea," balas Mas Raka tanpa merasa sedikit pun bersalah kepadaku. Aliran darahku seketika langsung mendidih saat mendengar ucapan Mas Raka, tak bisakah dia merasakan bagaimana aku menjaga hatiku dan kehormatanku saat jauh darinya? "Lalu bagaimana denganmu, Mas? Apa selama aku jauh darimu, aku tidak merasakan betapa aku menginginkan kehangatan dari suamiku? Aku menjaga kehormatanku untukmu, Mas," balasku dengan menahan tangisanku. "Rania, sudah hampir tiga tahun kita menikah dan selama dua setengah tahun, kau berada di luar negeri. Aku pun sebagai lelaki normal memiliki kebutuhan biologis. Dan Kalea lah yang selama ini memenuhi kebutuhan biologis ku, hingga akhirnya dia mengandung anakku. Aku harus menutupi aib ini demi anak kami. Lagi pula, saat ini aku sudah berkerja di perusahaan ternama dan aku sudah tidak membutuhkan uangmu lagi," kata Mas Raka dengan nada sombong kepadaku. "Apa yang kau bilang, Mas Raka? Kau merasa tidak butuh diriku lagi? Apa maksudmu? Memangnya selama ini siapa yang mengirimkan uang setiap bulan kepadamu, Mas? Bahkan rumah ini juga dibangun dari hasil keringatku," protesku tak terima dengan apa yang dia katakan. Mas Raka seketika menatap marah kepadaku, dia tidak terima dengan apa yang aku katakan kepada dirinya. "Rumah ini memang dibangun dari hasil keringatmu, tapi kau harus ingat Rania, kau membangun rumah di atas tanah ibuku!" balas Mas Raka dengan menatap nyalang wajahku. "Oh, jadi maksudmu rumah yang aku bangun dari hasil keringatku ini, milik ibu kamu? Hanya karena aku membangun rumah ini di atas tanah ibu kamu? Tidak, Aku tidak terima jika kau dan wanita ini tinggal di rumah yang aku bangun dari keringatku sendiri," protesku dengsn nada marah. "Tentu saja, ini adalah milik ibuku, kau pikir ini adalah rumahmu? Aku dan ibuku juga memiliki hak di atas tanah rumah yang kau bangun di atas tanah milik orang tuaku," kata Mas Raka yang tidak terima dengan ucapanku. Tak terima dengan ucapan Mas Raka, aku pun memikirkan bagaimana caranya untuk mengambil hak atas rumah yang aku dirikan di atas keringat jerih payahku selama bekerja di sana. "Baiklah Mas, aku tidak akan minta tanahmu, tapi aku ingin meminta hak atas rumah yang aku bangun dari keringat jerih payahku," pintaku dengan nada tegas. Mas Raka tampak mengerutkan kedua dahinya ketika mendengar ucapanku. "Apa maksudmu, Rania? Kau ingin meminta rumah yang kau bangun di atas tanah milik orang tuaku? Kau jangan bermimpi!" seru Mas Raka dengan nada marah. Aku tersentak oleh ucapan Mas Raka yang seolah tidak memberikan aku hak atas rumah yang aku bangun dari hasil jerih payahku saat aku bekerja di perusahaan di luar negri "Maksudmu apa, Mas? Kau kira aku tidak mempunyai hak atas rumah ini? Aku juga punya hak, Mas, jika Mas Raka keberatan dengan permintaanku, sebaiknya Mas Raka ceraikan wanita ini atau pergi dari rumah ini," balasku dengan nada tegas. Mendengar ucapanku itu, seketika Kalea tampak sangat kesal dan tak terima dengan ucapanku. "Kau ini bicara apa? Aku baru saja menikah dengan Mas Raka dan saat ini aku sedang mengandung anaknya. Lagi pula rumah ini juga milik ibu Mas Raka, kau tidak berhak atas rumah yang dibangun di atas tanah mertuaku, Rania!" sahut Kalea dengan nada marah. Aku pun mengepalkan kedua tanganku saat mendengar apa yang dikatakan oleh Kalea saat itu. Saat aku hendak menyahuti ucapannya, tiba-tiba Bu Eni menyela percakapan kami dengan wajah marah kepadaku. "Cukup! Hentikan pertengkaran kalian! Masih banyak tamu di luar sana! Dan kau Rania, jangan pernah kamu bermimpi untuk meminta rumah yang dibangun di atas tanah milikku! Terimalah Kalea sebagai madumu, atau kau harus angkat kaki dari rumah ini!" sahut Ibu mertuaku dengan mengancam diriku. Aku tersentak dan menahan emosiku saat itu, seketika aku pun memikirkan bagaimana caraku untuk bisa mengambil rumah yang aku bangun di atas tanah ibu mertuaku. "Baiklah Bu, sebaiknya aku pergi dari sini untuk sementara waktu. Aku akan memberikan kalian waktu kalian untuk menerima tamu, setelah itu aku akan datang ke sini memberikan kejutan untuk kalian," ucapku dengan memberikan sedikit teka teki kepada mereka. "Sebaiknya kamu memang harus pergi dari sini! Kau hanya mengganggu jalan pernikahan kami!" sahut Kalea dengan menatap sinis ke arahku. Aku pun tak hiraukan ucapan pelakor itu, lalu aku langkahkan kakiku keluar dari rumah itu untuk membawa sebuah kejutan. Mereka tidak tau, jika saat ini aku pergi menyewa buldozer untuk menghancurkan rumah yang sudah menjadi hakku. Beberapa jam kemudian, para tamu yang hadir dalam acara pernikahan sederhana tersebut sudah mulai pulang ke rumah masing-masing. Saat itulah aku kembali ke rumahku dengan membawa buldozer untuk menghancurkan rumah mewah yang aku bangun dari hasil peluhku selama bekerja di luar negri. Terlihat semuanya tampak terkejut saat melihatku kini berdiri di depan ruamhku dan meminta mertua, suamiku dan pelakor itu untuk segera keluar dari rumahku dan meminta mereka segera membereskan barang-barang yang ada di dalam untuk diamankan. Para tetangga sudah berkumpul di sana dan menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya, saat ini kami menjadi bahan gunjingan tetangga kami dan aku tidak perduli. Mas Raka dan Bu Mirna tampak panik dan marah, ketika aku meminta mereka untuk menyelamatkan barang-barang mereka terlebih dahulu, sebelum buldozer akan menghancurkan rumah itu. "Rania, apa kamu sudah tidak waras? Kau jangan bertindak bodoh!" sergah Mas Raka yang berusaha untuk menghentikan tindakanku untuk menghancurkan rumah ini. "Maaf Mas, aku tidak sudi jika rumah yang aku bangun di atas peluhku ini, ditempati oleh orang-orang seperti kalian. Aku hanya mengambil hak ku saja," balasku dengan menahan amarahku. "Kau ini bicara apa? Ini rumahku! Ini tanahku!" teriak ibu mertuaku dengan histeris. Aku tidak peduli lagi dengan teriakan dan tangisan ibu mertuaku, ketika aku meminta pengemudi buldozer itu untuk menghancurkan seluruh rumah yang aku bangun di atas tanah mertuaku. Aku, tetangga dan keluarga Mas Raka menyaksikan sendiri bagaimana buldozer itu menghancurkan rumah tersebut. Tampak Bu Mirna dan Kalea menangis histeris menyaksikan rumah mewah yang aku bangun itu, diluluhlantakkan oleh buldozer yang aku sewa untuk menghancurkan rumah tersebut. "Akan lebih baik seperti ini, aku puas, karena mereka tidak akan pernah menikmati bagaimana rasanya tinggal di rumah mewah yang aku bangun di atas jerih payahku," gumamku dalam hati.Setelah menyaksikan rumah itu telah hancur luluh lantak di atas tanah, aku tersenyum puas di dalam hati."Akhirnya, balas dendamku terlunasi, dengan cara ini, aku sudah meminta hak atas rumah yang aku bangun dari keringatku," gumamku pelan.Tampak mereka mulai mengumpati dan mengusirku. Aku tak peduli, karena yang penting bagi ku adalah kebahagiaan ibuku. Dengan langkah tegap, aku meninggalkan tempat itu menuju ke rumah ibuku yang berada di kota lain, tak jauh dari rumah ibu mertuaku.Sementara itu, Ibu mertuaku tampak pingsan saat melihat rumah yang ku bangun sudah luluh lantak karena buldozer yang menghancurkannya.Sebuah penyesalan terbersit di benakku. Namun terlalu larut untuk merasa bersalah, ketika melihat Mas Raka akan menempati rumah itu bersama dengan istri barunya yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Saat aku hendak pergi meninggalkan tempat tersebut, tampak Mas Raka menghalangi langkahku, menatapku dengan marah dan mulai menuntut diriku."Kau harus ganti rugi! Ini adala
Aku merasa seperti hatiku tercabik-cabik saat melihat ibuku yang tak sadarkan diri, sepertinya aku hancur saat menyadari keadaannya."Bu, bangun, Bu!" Usapanku penuh ketakutan, berusaha membangunkan ibu yang masih tak bisa meresapi kenyataan di hadapannya.Pak RT, dengan bantuan petugas kepolisian, buru-buru mengangkat ibuku ke kamar, berusaha menolongnya kembali pada kesadarannya. Hatiku merasa tertekan saat menunggu keadaan ibuku."Bu, tolong bangun Bu, jangan buat aku takut seperti ini. Maafkan atas semua masalah yang sudah Rania timbulkan saat ini," ucapku dengan pelan, dan berharap ibuku mulai mendengar.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mata ibuku mulai terbuka perlahan, seketika itu juga aku memeluk tubuhnya erat-erat."Bu, apa Ibu sudah sadar?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat oleh tangis.Melihat ibuku sudah mulai tersadar, Pak RT tampak mengambil segelas air putih dan memberikan minuman itu kepada ibuku, ku lihat Ibuku langsung meminumnya hingga ta
Aku terpaksa menerima keputusan ini, karena aku tidak ingin merepotkan ibuku untuk menanggung kerusakan rumah yang aku timbulkan saat ini.Apalagi Mas Raka tengah menuntut banyak kepadaku saat ini, aku pun tidak mau merepotkan ibuku dengan masalah yang sudah aku timbulkan saat ini.Ku tatap Ibuku yang saat ini tampak sangat prihatin dengan apa yang terjadi kepada diriku saat ini.'Maafkan Rania Ibu, ini adalah keputusan yang terbaik. Aku tidak ingin menyusahkan ibu,' gumamku dalam hati. Tak ingin ibuku akan kepikiran dengan masalah yang aku hadapi ini, aku pun setuju untuk ikut dengan Mas Raka pulang ke rumah dan sementara harus mengganti DP kerusakan rumah itu dengan tenagaku. Sementara, ibuku tidak setuju dengan keputusanku saat ini.Saat aku hendak melangkahkan kakiku pergi bersama dengan Mas Raka, tiba-tiba aku mendengar suara parau dari belakang, seketika ku hentikan langkah kakiku dan aku menoleh ke belakang, aku terkejut saat ibu berlari mengejar diriku dan langsung memeluk tu
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Raka. Di saat aku tengah berusaha memikirkan bagaimana mengganti kerugian dari rumah yang hancur karena keringatku sendiri, Mas Raka justru dengan santai mengajakku ke rumah barunya yang juga dibangun berkat jerih payahku."Ini rumah baru Mas Raka? Apakah dia juga membangun ini dari hasil keringatku? Ya Allah, selama ini uang yang aku dapatkan dari keringatku sendiri dia gunakan untuk apa saja? Jika hasil dari keringatku, bukankah seharusnya aku yang tinggal di rumah semewah ini?" gumamku dalam hati.Aku bertanya dengan wajah geram, "Dari mana Mas Raka mendapatkan uang untuk membangun rumah ini?" Mas Raka hanya tersenyum mengejek, tanpa rasa bersalah sedikit pun kepadaku."Apa aku salah? Apa aku terlalu naif dalam melihat kebaikan orang?" pikirku semakin marah. "Kenapa kamu masih bertanya, Ra? Apa perlu aku mengatakan ini padamu?" tantang Mas Raka sambil menatap wajahku.Saat itu aku merasa seperti mendapatkan tamparan keras, mengingat betapa besar p
Saat aku berada di dalam kamarku cukup lama, Mas Raka tampak menggedor pintu kamarku yang sedari tadi aku kunci pintunya."Rania! Cepat kau buka pintunya! Jangan banyak bertingkah di sini! Cepat keluar atau aku akan dobrak pintu kamarmu!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya.Rasanya telingaku mau pecah saat itu, hingga akhirnya baku pun membuka pintu kamarku."Ada apa Mas?" sungutku dengan nada marah yang aku telunjuknya kepadanya secara terang-terangan."Apa aku tadi membawamu ke sini untuk menyuruhmu tidur saja? Banyak perkejaan yang harus kau bereskan! Setelah itu, kau masaklah sesuatu untuk Kalea. Sebentar lagi dia waktunya makan," kata Mas Raka yang membuatku seketika langsung menggelengkan kepalaku."Manja banget istrimu itu? Apa dia tidak bisa masak sesuatu untuk dirinya sendiri?" sahutku dengan menatap kesal ke arahnya."Apa kau tidak lihat? Saat ini dia sedang hamil?" sahut Mas Raka dengan menatap marah kepadaku."Aku lihat banyak wanita hamil tapi bisa me
Hampir satu bulan lamanya aku berada di sana, dan aku pun sudah tak tahan lagi melihat kemesraan mereka yang sengaja mereka umbar di hadapanku, aku pun memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tanggaku.Saat itu Mas Raka tidak mau melepaskan aku, karena DP belum sepenuhnya tuntas aku berikan.Tak tahan dengan semua itu, aku pun terpaksa memberikan kalung emasku seberat 10 gram sebagai pembayaran sisa DP dan juga uang cicilan ganti rugi rumah yang sudah aku hancurkan.Saat aku hendak berpamitan, aku meminta sesuatu kepada Mas Raka dan saat itu juga permintaanku telah dikabulkan oleh Mas Raka.Lega, kecewa dan sekaligus sangat sedih tentunya. Namun, dengan perceraian ini, aku akan bebas dari ikatan yang akan menghantuiku dan membuatku semakin tidak ikhlas menerima pernikahan mereka.Aku akhirnya keluar dari rumah itu dengan status janda.Perdih rasanya saat aku harus mengakhiri pernikahan ini dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati. Namun, takdir membawa kami pada perceraian yang t
Setelah memperoleh restu dari ibuku, aku segera mengambil keputusan untuk melamar pekerjaan di Perusahaan PT. Bintang Gemilang Abadi.Dalam waktu singkat, lamaran kerja yang kukirimkan melalui email mendapatkan balasan.Mereka menantikanku untuk datang mengikuti wawancara pekan depan. Betapa bersyukurnya hatiku saat itu, seolah Allah telah mengabulkan doa yang terpanjat di bibirku.Seketika itu juga aku pun segera memberitahukan kepadaku ibuku dan, aku pun berkemas dan mempersiapkan semua keperluanku untuk pergi merantau."Bu, Rania dapat panggilan wawancara minggu depan," ucapku seraya menunjukkan email tersebut kepada ibuku.Raut wajah bahagia terpancar dari ibuku. Namun, ada kepedihan yang tersembunyi di belakang senyumnya.Aku tahu apa yang ibuku rasakan saat ini, tentu karena hatinya belum sepenuhnya rela untuk melepaskan aku merantau jauh darinya.Mencoba mencari tahu perasaan ibu, aku bertanya padanya, "Ibu, kenapa wajahmu sedih? Bukankah Ibu seharusnya bahagia karena Rania bis
Tubuhku bergetar saat mendengar caci makian dari Mas Raka saat itu, sungguh aku tidak menyangka dia akan menelepon diriku dan hanya untuk mencaci maki diriku.Tubuhku benar-benar bergetar saat mendengar caci makian dari mulut Mas Raka."Apa maksudmu, Mas? Kenapa Mas Raka tiba-tiba mencaci makiku seperti itu? Apa Mas Raka menelpon diriku hanya untuk mencaci mamkiku saja?" tanyaku dengan kutahan emosiku yang hampir siap meledak saat itu."Kau memang pantas untuk dicaci-maki. Apakah ini adalah alasanmu untuk meminta cerai dariku? Dasar gatel kamu Ra, baru juga minta cerai, sekarang kamu mencari pria lain," olok Mas Raka yang seketika membuat hatiku mulai meradang."Apa yang kau katakan Mas? Kau jangan fitnah, Mas! Aku ke kota ini untuk mencari pekerjaan dan membayar uang ganti rugi kepadamu. Sebaiknya Mas Raka urusi saja istrimu itu, kau tidak berhak atas diriku lagi, Mas! Jadi, jangan pernah kau memfitnah diriku lagi!" pungkasku lalu segera ku tutup teleponku.Hancur hatiku mendengar el