"Tolong kalian jangan buat keributan di sini!" lirihku. Sementara wajah Mas Yuda menggelap. Emosinya sudah mulai memuncak. Namun dia berusaha meredam. Sepertinya Kak Rio dan istrinya ini sengaja ingin mempermalukan kami di depan para tamu. "Ada apa, Bos?" Salah satu pengawal menghampiri kami. "Bawa mereka keluar!" lirih Mas Yuda tanpa menoleh sedikitpun pada sepasang suami istri itu. "Hei! Kami ini keluargamu. Kenapa malah diusir?" teriak Kak Rio dengan wajah memerah. Kakak iparku itu berdiri seraya berkacak pinggang di tengah-tengah pelaminan. Para undangan yang berdiri di sekitar pelaminan spontan menoleh ke arah kami. "Jika Anda masih berteriak-teriak seperti ini, Saya akan seret Anda keluar!" ancam pengawal berbadan tinggi besar itu. Tubuh Kak Rio yang jauh lebih pendek itu tampak gemetar. Mira perlahan bergeser ke belakang tubuh suaminya dengan wajah ketakutan. "Tega kalian!" lirih Mira seraya menatapku sinis. "Mir, kami tidak akan mengusirmu jika kamu datang baik-bai
"Mas pasang CCTV?" "Ya. Aku minta anggota Rein untuk pasang CCTV di kamar Raihan dan Ayah dan terhubung dengan ponselku ini. Persis seperti CCTV di rumah." "Alhamdulilah. Makasih, Mas." Aku menatap haru pada suamiku yang tampan banget hari ini. "Udah liatinnya jangn gitu. Jadi mau buru-buru ke kamar," godanya sambil mendekatkan wajahnya padaku. "Iiiih ..., Masss, nih!" Aku tersipu malu seraya mencubit lengannya. Tentang CCTV, Aku jadi teringat ancaman Mas Yuda pada Mira yang mau membuktikan kebohongannya waktu di lorong, lewat CCTV. Suatu saat Ayah harus lihat kelakuan menantunya itu. Selama ini Ayah tidak tau Mira seperti apa. Acara berlangsung hingga sore. Para tamu sudah mulai sepi. Namun ternyata masih ada tamu undangan yang datang. Sepasang suami istri yang terlihat masih muda. Mungkin usia sang istri tak jauh berbeda denganku. "Wah ...wah, Kami kedatangan tamu istimewa. Selamat datang Tuan Raka dan Ibu Shinta." Mas Yuda lantas berdiri menyambut hangat keduanya. "Selam
Aku berusaha sedikit maju untuk memperjelas penglihatanku. Namun sayangnya pelayan itu terhalang oleh para pengawal . Kenapa perasaanku tidak enak? "Astaga! Pelayan itu ..." Napasku memburu. Jantungku berdetak sangat cepat. Aku sangat mengenali laki-laki itu. Keselamatan Raihan saat ini terancam. "Mas Yuda ... pelayan itu ... pelayan itu, Mas ...!" Aku berbicara gemetar. Pandanganku terus tertuju pada laki-laki itu. Aku mulai panik. Kali ini Raihan juga tak lepas dari pantauan mataku. Tanpa kusadari ternyata kakiku melangkah cepat hendak menghampiri Raihan. Tak kuhiraukan panggilan berkali-kali dari suamiku. Sepertinya Mas Yuda mengikutiku dari belakang. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah Raihan. Aku harus segera memeluknya. Aku ingin melindunginya. Dengan tubuh terus gemetar dan dadaku berdegup kencang, cepat kulangkahkan kaki menuju mereka yang berada beberapa meter lagi di depanku. PRANG ...! Aku terperanjat. Gelas-gelas di atas nampan itu berjatuhan. "Diam dan m
Suamiku meraih Raihan dari pelukanku. "Sebaiknya kita kembali ke kamar! Ayo ..!" Aku mengikuti saja ketika Mas Yuda memapahku berjalan dengan tangan kirinya. Aku memang masih sangat lemas, shock dengan kejadian barusan. "Aku ke ruang ganti dulu, Mas." Dengan dibantu Bu Ratri, Aku mengganti pakaianku di ruang ganti yang berada di belakang ballroom. Setelah semua dirasakan aman, kami bersama-sama menuju kamar di lantai tiga. Ayah ternyata sudah duduk di kursi roda yang di dorong oleh salah satu pengawal. Mas Yuda keberatan saat Bu Ratri ingin mengambil alih Raihan. "Untuk sementara Raihan sama Saya dulu sampai kondisi benar-benar aman." Bu Ratri menurut. Wanita itu membantu membawa stroler yang berisi beberapa barang Raihan. --‐------ Hari yang melelahkan. Sekaligus menegangkan. Aku terjaga saat tengah malam. Namun tak kulihat Mas Yuda disampingku. Kemana Dia? Kenapa tak bilang padaku jika mau keluar? Aku meraih ponselku untuk menghubunginya. Namun ternyata ponsel Mas Yuda te
Setelah dua hari menginap di hotel, hari ini kami kembali ke rumah. Mobil Mira terpakir di depan saat kami tiba. Kembali merasa tak nyaman karena harus satu atap lagi dengan kedua kakak Iparku itu. Apalagi mereka sempat kami usir di acara resepsi kemarin. Pasti mereka tidak akan tinggal diam sekarang. "Wah ... wah, menginap di hotel bintang lima selama dua malam, sementara kami diusir dari acara resepsi!" Kak Rio dengan seringainya berdiri bersandar pada dinding teras, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Jangan mulai, Aku capek!' sahut Mas Yuda kesal seraya melewati kakaknya itu. Entah apa maunya laki-laki itu, selalu saja ingin memancing emosi. Apa dia sengaja agar kami tidak betah tinggal di sini? Mas Yuda langsung ke ruang kerja. Karena sudah beberapa hari ini pekerjaannya terbengkalai. Aku menghampirinya sebelum menuju ke kamar. Namun suamiku itu masih sibuk berbicara dengan seseorang lewat ponselnya, "Ini kopi untuk Tuan, Non." "Sini biar aku yang taru
Sementara Mira terlihat acuh. Wanita itu seperti tidak turut merasakan kesulitan yang sedang dialami suaminya. Setiap postingan akun media sosialnya masih saja tentang foto-foto dirinya yang berbelanja barang-barang branded seharga jutaan rupiah. Kak Rio berkali-kali melirik adiknya itu. Namun kali ini dia tidak berani bersuara seperti biasanya. "Yuda ...!" Aku tersentak mendengar suara Ayah yang meninggi. "Ya, Ayah. Akan aku pikirkan lagi," sahut suamiku itu datar. Aku tak habis pikir. Bukankah baru kemarin dia mengeluarkan uang puluhan juta untuk pembayaran ke universitas bergengsi itu? Entah atas nama siapa kwitansi pembayaran itu. Setahuku Mas Yuda sudah menamatkan S2 nya di luar negri. Jadi jelas bukan atas nama dia. Lalu kenapa dia harus berpikir lama untuk membantu kakaknya sendiri? Memang benar mereka tidak akur. Namun adanya ikatan darah diantara mereka seharusnya bisa menjadi prioritas. Suasana kembali hening. Mira masih terus sibuk dengan ponselnya. Sesekali wanit
"Nggak usah sungkan gitu, Kamu tinggal bilang saja perlu berapa, nanti saya transfer!" Napasku memburu mendengar pembicaraan Mas Yuda dengan seseorang di ponsel. Dengan siapa dia sedang berbicara? Kenapa mudah sekali dia mengirim uang pada orang lain? Sedangkan dengan kakaknya sendiri kenapa sulit sekali? Dari nada bicaranya jelas bukan sedang bicara dengan klien atau relasi bisnis. Firasatku mengatakan, saat ini Mas Yuda sedang bicara dengan seorang ... wanita. Tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku berdetak cepat. Mas Yuda memutar kursinya dan tersentak ketika melihatku sudah berdiri di depan pintu. Dengan gelagapan suamiku itu memutuskan panggilan ponselnya. "Sibuk, Mas?" tanyaku seraya berjalan mendekatinya, tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa. Berusaha meredam rasa panas yang tiba-tiba mengalir di dadaku. Ingin rasanya bertanya. Tapi Aku mau Mas Yuda sendiri yang bercerita. Namun jika memang ada yang dia sembunyikan. Aku akan menyelidikinya sendiri. "Hai, Sayang! S
"Salma, minggu depan rumah kita di kampung Bawal sudah siap ditempati. Kamu jadi pindah ke sana?" "Kalau kita pindah, Apa Ayah mau ikut dengan kita?" "Ayah biar di rumah lama saja. Banyak pelayan di sana. Aku malah khawatir Kak Rio akan menguasai rumah itu jika Ayah juga ikut." Astaga Mas Yuda kenapa berpikiran seperti ini? Begitu bencikah dia dengan Kak Rio? "Terserah Mas aja." "Ya sudah, yuk balik ke kantor! Kamu nanti pulang duluan Sama supir! Kerjaanku masih banyak." "Kenapa nggak minta Syifa aja yang mengerjakannya, Mas?" "A-apa S-Syifa ...?" "Ya. Syifa. Bukankah dia sekretariismu sekarang?" "Ya. Nanti kerjaan lainnya Syifa yang mengerjakan. Pekerjaan yang tertunda ini memang harus aku sendiri yang handle." Aku hanya mengangguk lemah. Karena biasanya sesibuk apapun, Mas Yuda tidak pernah membiarkan aku pulang sendiri. Ya ampun, kenapa aku jadi sensitif begini? Huff ... Setelah makan, Mas Yuda mengantarku ke lobby hingga mobil yang aku naiki melaju meninggalkan kanto