Sementara Mira terlihat acuh. Wanita itu seperti tidak turut merasakan kesulitan yang sedang dialami suaminya. Setiap postingan akun media sosialnya masih saja tentang foto-foto dirinya yang berbelanja barang-barang branded seharga jutaan rupiah. Kak Rio berkali-kali melirik adiknya itu. Namun kali ini dia tidak berani bersuara seperti biasanya. "Yuda ...!" Aku tersentak mendengar suara Ayah yang meninggi. "Ya, Ayah. Akan aku pikirkan lagi," sahut suamiku itu datar. Aku tak habis pikir. Bukankah baru kemarin dia mengeluarkan uang puluhan juta untuk pembayaran ke universitas bergengsi itu? Entah atas nama siapa kwitansi pembayaran itu. Setahuku Mas Yuda sudah menamatkan S2 nya di luar negri. Jadi jelas bukan atas nama dia. Lalu kenapa dia harus berpikir lama untuk membantu kakaknya sendiri? Memang benar mereka tidak akur. Namun adanya ikatan darah diantara mereka seharusnya bisa menjadi prioritas. Suasana kembali hening. Mira masih terus sibuk dengan ponselnya. Sesekali wanit
"Nggak usah sungkan gitu, Kamu tinggal bilang saja perlu berapa, nanti saya transfer!" Napasku memburu mendengar pembicaraan Mas Yuda dengan seseorang di ponsel. Dengan siapa dia sedang berbicara? Kenapa mudah sekali dia mengirim uang pada orang lain? Sedangkan dengan kakaknya sendiri kenapa sulit sekali? Dari nada bicaranya jelas bukan sedang bicara dengan klien atau relasi bisnis. Firasatku mengatakan, saat ini Mas Yuda sedang bicara dengan seorang ... wanita. Tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku berdetak cepat. Mas Yuda memutar kursinya dan tersentak ketika melihatku sudah berdiri di depan pintu. Dengan gelagapan suamiku itu memutuskan panggilan ponselnya. "Sibuk, Mas?" tanyaku seraya berjalan mendekatinya, tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa. Berusaha meredam rasa panas yang tiba-tiba mengalir di dadaku. Ingin rasanya bertanya. Tapi Aku mau Mas Yuda sendiri yang bercerita. Namun jika memang ada yang dia sembunyikan. Aku akan menyelidikinya sendiri. "Hai, Sayang! S
"Salma, minggu depan rumah kita di kampung Bawal sudah siap ditempati. Kamu jadi pindah ke sana?" "Kalau kita pindah, Apa Ayah mau ikut dengan kita?" "Ayah biar di rumah lama saja. Banyak pelayan di sana. Aku malah khawatir Kak Rio akan menguasai rumah itu jika Ayah juga ikut." Astaga Mas Yuda kenapa berpikiran seperti ini? Begitu bencikah dia dengan Kak Rio? "Terserah Mas aja." "Ya sudah, yuk balik ke kantor! Kamu nanti pulang duluan Sama supir! Kerjaanku masih banyak." "Kenapa nggak minta Syifa aja yang mengerjakannya, Mas?" "A-apa S-Syifa ...?" "Ya. Syifa. Bukankah dia sekretariismu sekarang?" "Ya. Nanti kerjaan lainnya Syifa yang mengerjakan. Pekerjaan yang tertunda ini memang harus aku sendiri yang handle." Aku hanya mengangguk lemah. Karena biasanya sesibuk apapun, Mas Yuda tidak pernah membiarkan aku pulang sendiri. Ya ampun, kenapa aku jadi sensitif begini? Huff ... Setelah makan, Mas Yuda mengantarku ke lobby hingga mobil yang aku naiki melaju meninggalkan kanto
Saat perjalanan pulang sungguh hati ini tidak baik-baik saja. Walau belum terbukti dengan jelas, namun firasatku mengatakan ada sesuatu yang disembunyikam oleh Mas Yuda. Syifa, Wanita itu terlihat lugu dan pendiam. Jauh berbeda dengan Selvi. Justru kemarin aku lebih tenang ketika pengganti Selvi adalah wanita berhijab seperti Syifa Setidaknya dia bisa menjaga penampilannya di kantor. Di depanku Syifa juga bersikap sopan dan ramah. Apa mungkin wanita itu memiliki hubungan khusus dengan Mas Yuda? Apa mungkin Syifa itu seorang pelakor? Tanpa terasa mobil sudah memasuki gerbang rumah. Sepintas aku seperti melihat tiga orang laki-laki berbadan tinggi besar berkulit hitam di dekat pos security. Siapa mereka? Kenapa sepertinya wajah mereka tidak ramah? "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam. Sudah pulang Salma?" "Sudah, Yah." Aku mencium tangan Ayah Surya yang sedang duduk sendirian di teras saat aku pulang. Mobil Mira ada di depan. Sepertinya Mira dan Kak Rio ada di dalam. "Ayah,
Aku rasa jika Kak Rio menemui mereka dan bicara baik-baik, mungkin mereka juga akan sopan," sahutku, walaupun baru kali ini aku melihat debt kolektor menagih hutang. Karena sebelumnya belum pernah berhubungan dengan orang-orang seperti ini. Kak Rio menghembus napas kasar, lalu dengan langkah berat laki-laki yang mirip dengan Mas Yuda itu berjalan menujiu ruang tamu. Sementara Mira mengikutinya dari belakang. Wanita cantik itu sempat melirikku kesal dengan sudut matanya. Aku duduk di ruang keluarga yang terhubung dengan ruang tamu. Namun terhalang oleh pemisah ruangan yang berupa ukiran kayu jati. Jadi aku bisa mendengar jelas pembicaraan mereka. "Bagaimana ini, Pak Rio? Anda jangan main-main sama kami. Hutang-hutang anda sudah lewat jatuh tempo cukup lama. Jika hari ini Anda tidak membayar, kami akan laporkan ke polisi!" "B-beri saya waktu, Pak," sahut Kak Rio gemetar. "Kami sudah beri bapak waktu cukup lama. Malah Pak Rio hilang-hilang terus kalau kami datangi. Istri Anda kan ar
Pov Yuda Aku merasa ada yang berbeda dari sikap Salma. Apa dia curiga? Ya, sepertinya istriku itu mulai curiga bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu. Bagaimana ini. Aku tidak mungkin menceritakan hal ini pada Salma sekarang. Bukannya aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya pada istriku itu. Namun belum saatnya aku bicara. Semuanya serba rumit. Aku tak ingin membebani pikirannya. Pekerjaanku makin menumpuk. Sepertinya aku harus punya asisten pribadi yang handal. Mungkin Rein bisa mencarikannya untukku Saat ini satu perusahaanku sudah dikelola oleh Rein. Aku senang semangat hidup sahabatku itu telah kembali. Semoga Laki-laki itu bisa move on dari cinta pertamanya dan menemukan kembali cinta yang baru. "Permisi, Pak. Ada yang harus saya kerjakan lagi?" Tiba-tiba Ayu masuk ke ruanganku yang kebetulan pintunya tidak ditutup. Aku melirik arlojiku, ternyata sudah hampir malam. "Kamu pulang duluan saja. Saya sebentar lagi juga pulang." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi pulang.
Pov Yuda"Begini, Pak Rio. Besok kami akan ke sini lagi. Kami akan bawa polisi. Jika Bapak Rio belum juga bisa membayar hutang-hutangnya, terpaksa Bapak akan kami bawa ke kantor polisi!" "Tolong jangan besok, Pak!" Rio terus memohon. "Tidak ada waktu lagi, Pak. Sebaiknya bapak pikirkan untuk membayarnya besok.. Kami permisi!" Sepeninggal para penagih itu, aku meminta semua kumpul. Atas permohonan Salma, demi kesehatan Ayah, aku akan membantu Rio menyelesaikan masalahnya. "Bagaimana Yuda. Apa kamu jadi membantu Rio?" tanya Ayah. "InsyaAllah. Rio, Aku tau, Kamu masih memiliki satu hotel bintang lima di Bandung. Aku sudah menyelidiki semuanya. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kenapa tidak kamu jual saja itu untuk membayar sebagian hutang-hutangmu?" Rio tampak gelagapan. Ayah dan Mira melotot padanya. Selama ini dia bilang ke semua orang bahwa aset yang dia miliki telah habis terjual. "Apa maksudmu menyembunyikannya dariku, Mas?" Mira nampak sewot. "Hotel itu sudah hampir bangkrut
Sepanjang malam mata ini sangat sulit terpejam. Mas Yuda bilang, siapkan mental. Haduh, kira-kira apa yang sebenarnya telah terjadi? Sungguh aku takut jika yang aku khawatirkan terjadi. Rasanya ingin cepat pagi saja. Dan segera mengetahui apa yang selama ini telah disembunyikan oleh suamiku. Entah pukul berapa semalam aku terlelap. Pagi ini Mas Yuda berjanji mengajakku ke suatu tempat. Walau hati ini rasanya tidak karuan, aku tetap melakukan tugasku menyiapkan segala keperluan Mas Yuda. Suamiku itu tetap bersikap mesra. Seperti tidak terjadi apa-apa. "Sudah siap, Sayang?" tanyanya ketika aku juga sudah rapi dengan stelan celana tunikku. "Sudah, Mas. Aku cek Raihan sebentar ke kamar sebelah. Tadi sih masih tidur." "Stok ASI nya sudah kamu siapkan? Kita mungkin agak lama." Lama? Maksudnya? Apa aku akan pergi jauh? "Salma? Kok malah melamun?" "Oh, eh ... nggak apa-apa , Mas. Stok ASI nya banyak kok" jawabku sedikit gugup. "Syukurlah.. Ya sudah. Aku tunggu di bawah." Laki-laki