Pov AuthorLiana yang menyadari jika sang suami tidak ada di sisinya langsung terbangun. "Mas," ujar Liana sambil mencoba membuka matanya lebih lebar. Karena tidak mendapat jawaban, ia lalu bangun dan keluar kamar. Samar-samar telinganya mendengar suara Damar yang sedang berbicara dengan seseorang. Suaminya itu tampak begitu bahagia. Sontak, matanya membulat saat menyaksikan Damar sedang bicara dengan Riana. Organ kecil dalam dadanya pun melaju cepat. Aneka pikiran buruk pun satu per satu mulai mendatangi rongga kepalanya. Setibanya di dekat dapur, Liana memutuskan untuk tidak langsung menampakkan diri. Ia memasang telinga dan mematung di balik dinding yang membatasi ruang makan dan dapur. "Gue nyesel waktu itu nggak langsung pulang ke Indonesia. Malah memilih lanjut S2 di Belanda, jadinya gue terlambat lagi. Seandainya aja gue cepet balik, bisa jadi ...." ucap Damar pada Riana yang membuat air mata Liana mendadak tumpah. Oksigen di paru-parunya pun terasa menipis, membuat dadanya
Untuk kedua kalinya di pagi itu, Rafif dan Riana saling pandang. Riana lalu bangkit, bermaksud ingin mencari tahu apa yang terjadi di dalam kamar sang putri, tapi dengan cepat Rafif meraih tangannya. "Ri, biarin aja, kamu nggak usah ikut ke sana.""Tapi, Mas, kalau Liana kenapa-napa gimana?" ucap Riana yang tak terima dengan sikap Rafif. "Udah biarin aja. Liana itu udah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada sama Damar. Kamu nggak boleh ikut campur. Lagian bisa jadi itu cuma gelas yang jatuh."Seraya mengempas napas kasar, Riana terpaksa menurut. Ia kembali duduk ke posisinya semula. Namun, tetap saja perasaannya tidak tenang. Terlebih setelah Rafif mengatakan kalau Liana tengah memendam kesal padanya. Di dalam kamarnya, Liana tengah memunguti pecahan gelas yang tidak sengaja Damar jatuhkan. Ibu jari kaki suaminya itu bahkan terluka karena terkena pecahan gelas. "Kamu si, Mas nggak hati-hati naro gelasnya." Setelah membersihkan pecahan gelas dan memastikannya bersih, Liana lalu m
Setibanya di rumah Damar, Liana langsung melaksanakan semua pesan Riana. Setelah meletakkan semua barang-barangnya di dalam kamar Damar, Liana langsung ikut sibuk di dapur, membantu ibu mertua menyiapkan makan malam. Tak lupa ia membuka semua oleh-oleh yang Riana bawakan dan ia sajikan di atas meja."Nduk, kamu nggak istirahat aja di kamar? Pasti kamu capek, kan?" ucap Sasti seraya tersenyum. Meski usianya sudah 65 tahun, tapi fisiknya masih sehat dan segar. Bahkan kata Damar, selama ini ibunyalah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Tanpa bantuan Asisten Rumah Tangga. Damar sudah berkali-kali menawarkan agar sang ibu memiliki ART, tapi Sasti selalu menolak. "Justru ibu harus banyak aktivitas, Mar, biar nggak gampang sakit. Seperti teman-teman ibu, tu. Dikit-dikit ada aja keluhan. Ya sakit pingganglah, masuk anginlah, asam uratlah. Pokoknya macam-macam, deh." Sasti beralasan. Akhirnya Damar hanya bisa menuruti keinginan sang ibu."Nggak apa, Bu. Liana nggak capek, kok." Lian
Riana lekas menelpon Damar, tapi tidak diangkat. Ia memutuskan akan membiarkan saja sosok asing di depan rumah, pura-pura tidak mendengar jika nanti ia mengetuk minta dibukakan pintu. Riana memejamkan matanya kuat-kuat dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia ketakutan seperti melihat hantu. Sekejap kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Dengan cepat Riana membuka selimutnya dan mengambil ponsel dari atas nakas. "Damar, syukurlah kamu menelpon," ujar Riana saat nama Damar terlihat di ponselnya. Benar sudah jika sosok di luar sana bukanlah Damar. "Kenapa, Ri? Kayak ketakutan gitu." "Di luar ada kamu.""Hah? Maksud kamu?""Maksud aku ada seseorang yang mirip kamu. Kayaknya dia Darma.""Kamu serius? Ya udah aku ke sana, ya. Kamu jangan lapor keamanan, ya, Ri. Takutnya mereka langsung membawanya ke kantor polisi. Siapa tahu dia memang Darma.""Iya, Mar. Aku juga berpikir begitu. Tapi tetap saja aku takut. Ngapain dia datang tengah malam begini?""Aku ke sana sekarang," ujar Damar
Setelah kunci terbuka, Rafif membuka pintu sambil melonggokkan kepala ke luar. "Mar, kamu sendirian?" ucap Rafif pada Damar yang baru turun dari mobil. "Iya sendiri. Riana mana?" "Tuh, ada di dalam." Awalnya Rafif merasa aneh karena tiba-tiba Damar menanyakan Riana, tapi akhirnya Rafif menyadari jika Damar pasti cemas karena tengah malam tadi Riana menelponnya. Merasa kalau situasi sudah aman, Riana ikut muncul. Sontak, matanya melebar karena di depan rumahnya ia hanya melihat Damar. Di mana Darma? Dan di mana mobilnya? Jelas-jelas tadi aku mendengar suara mobil masuk ke halaman. Aneka tanya meramaikan rongga kepala Riana. "Ri, mana Darma?" ucap Damar seraya menepuki nyamuk yang menggigiti kakinya. Wajar saja, saat itu ia hanya memakai boxer."Tadi dia di sini, Mar. Aku denger mobilnya parkir di sini. Mas, kamu tadi juga denger kan kalau ada orang yang ngetok-ngetok pintu?" ujar Riana dengan suara bergetar. Dia lalu menyapukan pandangan ke seluruh halaman tapi jejak-jejak keberada
Rasa kantuk Damar yang kembali muncul, bercampur dengan letih yang ia rasakan akibat menyetir tengah malam, membuat emosinya seketika tersulut. Ia mendekati Liana dan membentak Liana hingga Liana memucat. "Kamu jangan ngomong macem-macem! Ibumu tidak mungkin sehina itu!" Damar lalu masuk dan meninggalkan Liana yang langsung menangis. Hati Liana mendadak perih. Ia tidak menyangka jika Damar sampai membentaknya seperti tadi. Bahkan, kedua orang tuanya pun tidak pernah melakukannya. Dengan kemampuannya sebagai pengacara, Liana bisa saja membalas Damar dengan suara lebih keras, tapi ia tidak mau kurang ajar pada Damar. Rianalah yang mengajarkan kalau kita sebagai istri tidak boleh berkata dengan nada lebih tinggi daripada suami. Di tengah dadanya yang seperti terbakar, Liana mencoba menarik napas dalam untuk memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-parunya. "Aku baru tahu kalau kamu kasar, Mas. Bahkan, sama istrimu sendiri. Di dalam kamar, Damar yang masih dibakar emosi karena ditu
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar