"Dia juga anakku, Salsa! Dan aku pun berhak atas Neng Rahma! Aku tidak akan membiarkan putriku dibawa oleh manusia setengah siluman sepertimu! Kamu wanita stres! Kamu tidak pantas dipanggil ibu karena kelakuanmu yang tidak punya nurani. Kamu menjual anakku, kamu menyuruh dia melayani pria hidung belang dengan alasan balas budi karena telah bertaruh nyawa melahirkan dia. Kamu pikir, dia mau dilahirkan oleh wanita murahan sepertimu? Tidak! Aku yakin anakku tidak sudi beribukan wanita sepertimu!" Kang Surya berujar menggebu-gebu. Dada suamiku naik turun, sama seperti mantan istrinya yang wajahnya sudah sangat merah padam. "Jaga mulutmu, Kang Surya." Suara Teh Salsa melemah. "Lupa, kalau kamu pernah menggilaiku, sebelum akhirnya seleramu merosot turun pada wanita seperti dia?"Aku memalingkan wajah saat telunjuk Teh Salsa tertuju padaku. "Dia lebih baik darimu. Derajat Aisyah jauh lebih tinggi darimu yang hanya seorang wanita penghibur," ujar Kang Surya membela. Teh Salsa yang merasa
Beberapa hari setelah kejadian datangnya Teh Salsa, Neng Rahma jadi buah bibir di seantero desa. Anak sambungku itu sampai tidak mau keluar rumah, merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Aku dan Kang Surya terus memberikan dukungan, memberikan semangat pada dia agar tidak usah menanggapi ucapan orang lain yang menyakiti hati. Akan tetapi, tetap saja. Neng Rahma lebih suka mengurung diri daripada bersosialisasi. "Aku nggak mau ikut acara perpisahan sekolah, Pak. Aku malu, nanti pasti diledekin teman-teman," ujar Neng Rahma pagi ini. Aku dan Kang Surya saling pandang, kemudian mengembuskan napas seraya beralih melihat pada Neng Rahma. Acara perpisahan di sekolah akan dilaksanakan esok hari. Namun, Neng Rahma enggan menghadiri. Iya, aku paham perasaan anak itu. Jika jadi dia pun, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih dari itu. "Yasudah, kalau gak mau mah, gak apa-apa. Tapi ... nanti kamu gak ada di foto alumni sekolah, loh." Kang Surya masih berusaha membujuk.
"Ini disimpan lagi, ya, Neng?" Aku menggeser celengan berbentuk pinguin itu ke depan Neng Rahma. "Tapi, Bu ....""Gak ada tapi-tapian. Jangan karena tadi Eneng mendengar Bapak dan Ibu membicarakan tentang uang, kamu jadi punya pikiran untuk ngasih ini ke Ibu." Aku mendahului ucapan Neng Rahma yang menggantung. "Iya, Bu. Aku gak enak, tinggal di sini cuma menyusahkan Ibu dan Bapak. Makan dan tidur saja bisanya. Jajan juga," tutur Neng Rahma, kemudian mengerucutkan bibir diakhir kalimatnya. "Eh, eh, eh .... Kenapa si Teteh bicaranya seperti itu? Yang namanya anak perempuan belum berumah tangga, itu artinya tanggung jawab masih ada di pundak Bapak, Neng." Kang Surya yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu, kini dia mendekat, ikut menjawab ucapan putrinya. Obrolan kami pun terus berlanjut, membicarakan perjalanan Neng Rahma ke pantai tadi, juga tentang keadaan rumahnya di kampung sebelah. "Jadi, motor Eneng dijual?" tanyaku, dan kemudian dijawab anggukan kepala oleh anak itu
Teh Dela lari tunggang-langgang menuju rumahnya setelah melihat wajah Kang Surya yang merah padam. Suamiku benar-benar sangat marah kali ini. Dia tidak terima dengan ucapan Teh Dela yang di luar batas. "Akang, istighfar ...." Aku mengusap-usap dada Kang Surya yang naik turun. Suamiku itu mengusap wajahnya dengan kasar, lalu dia balik kanan dan mengetuk pintu kamar Neng Rahma. Namun, anak itu tidak berkenan membuka pintu. Hanya suara tangisnya yang terdengar sampai ke luar. "Neng, jangan dengarkan kata-kata orang tadi. Bapak tidak akan melakukan yang si Dela sarankan. Kamu anak Bapak, bukan anak dia. Tidak usah dipikirin, ya? Urusan jodoh dan menikah, itu rahasia Gusti Allah, bukan manusia," ujar Kang Surya, membujuk anak gadisnya. Aku yang berada di belakang dia, harus menjauh setelah ada Mak Nia datang dan menanyakan apa yang barusan terjadi. Ternyata teriakan Kang Surya barusan terdengar sampai ke rumah Mak Nia, juga ke rumah tetangga yang jarak rumahnya berdekatan denganku.
"Tidak ada alasan untuk Ibu meninggalkan kamu, Neng. Kamu anak Ibu, anak gadis Ibu yang akan selalu jadi bagian dari hidup Ibu. Jangan bersedih lagi, ya? Buang jauh-jauh keinginan untuk kembali ke masa-masa kelam itu, ya?" Neng Rahma mengangguk. Dia mengusap kedua matanya yang basah, lalu mengangkat kepala. Beberapa saat berdiam diri di kamar Neng Rahma seraya mendengarkan keluh kesahnya, aku pun keluar saat Sagara merengek. Rupanya anakku sudah mulai merasa jenuh dengan mainannya, dan meminta ASI. "Bapak biasanya pulang jam berapa, Bu?" Neng Rahma ikut keluar dari kamar, lalu duduk lesehan seraya membereskan mainan adiknya. "Kalau turunnya malam, biasanya Bapak pulang pagi, Neng.""Oh ... masih sama ternyata," katanya, "dulu, waktu Bapak masih sama Mama, aku sering, loh, nungguin Bapak pulang di pantai. Aku main pasir, main air laut sampai semua baju basah semua.""Masa, Teh?" ujarku, menanggapi cerita Neng Rahma. "Iya. Sering banget telingaku kena jewer Mama karena gak mau den
"Tumben, Syah?" "Neng Rahma yang minta, Kang."Seperti orang-orang yang aku jumpai, Kang Surya pun menanyakan ketidakbiasaanku yang sayang ke pelabuhan. Seperti kepada orang lain, jawabanku pun masih sama. Aku di sini karena keinginan anak gadis Kang Surya. Suamiku itu baru saja turun turun dari perahu, dia langsung menghampiriku setelah sebelumnya menemani dua anaknya bermain air laut. Ikan hasil tangkapan Kang Surya kali ini, tidak dijual semua, sengaja dia sisakan beberapa untuk dibakar dan dimakan bersama anak istrinya. "Alhamdulillah, Syah. Sedikit-sedikit, Neng Rahma sudah mulai membuka diri," ujar Kang Surya seraya membalikkan ikan yang sedang kami bakar. "Iya, Kang. Mudah-mudahan seterusnya, ya?""Aamiin ...."Beberapa saat kemudian, ikan yang kami bakar sudah matang. Aku pun menyuruh Neng Rahma menyudahi bermain air, untuk makan bersama aku dan ayahnya. Saga yang bajunya basah semua, aku ganti terlebih dahulu, sementara Neng Rahma langsung menghampiri ayahnya. "Enggak
"Allahuakbar ...," ucap suamiku dengan tangan gemetar setelah melihat garis dua di testpack yang aku pegang. Jika biasanya orang tua akan sangat bahagia ketika mengetahui putrinya mengandung, tapi tidak denganku dan Kang Surya. Dunia yang aku pijak seakan berhenti berputar, langit pun terasa runtuh dan menghimpit tubuh ini hingga sesak terasa nyata di dalam dada. Bagaimana aku akan bahagia, bagaimana kami akan gembira dengan kabar kehamilan Neng Rahma, jika anak itu tidak memiliki suami. Jangankan aku, atau ayahnya, dia sendiri pun tidak tahu siapa anak yang tumbuh di perutnya saat ini. "Gimana ini, Kang?" tanyaku, seraya terduduk dan memeluk tubuh Neng Rahma. Kang Surya melepaskan Saga. Dia menyugar rambutnya kasar, dan akhirnya terduduk juga dengan punggung bersandar pada tembok. Mata merah suamiku menatap putrinya yang menangis tersedu di pelukanku. Tidak ada kata dari bibir Kang Surya, yang pada akhirnya kami pun menangis bersama. Ini bukan tangisan bahagia, tapi bingung y
"Kang!"Aku menyebut suamiku yang barusan mengambil pisau dari tanganku. "Kamu mau menyakiti Neng Rahma?" "Tidak, Kang. Sama sekali tidak. Barusan aku—""Bukan Ibu yang mau menyakiti aku, Pak, tapi akulah yang ingin mengakhiri hidup," ujar Neng Rahma, memotong ucapanku. Tatapan tajam Kang Surya kini beralih pada putrinya. Kening suamiku mengkerut, lalu bertanya dengan nada yang pelan. "Kamu mau bunuh diri? Apa dengan bunuh diri semua masalah selesai, Rahma? Apa kamu pikir Tuhan akan langsung melempar kamu ke dalam surga setelah kamu mati?""Aku lebih baik mati daripada malu, Pak! Aku juga tidak mau membuat kalian tambah malu dengan membesarnya perutku!" Plak!"Akang!" Aku menjerit melihat tangan suamiku melayang dan mendarat di pipi bagian kiri Neng Rahma. Anak itu terhuyung. Dia terduduk di lantai setelah ditampar ayahnya. "Akang! Kenapa kamu menyakiti Neng Rahma?!" tanyaku, kemudian dengan cepat merangkul tubuh anak itu yang bergetar akibat menangis. "Biar dia sadar, Syah!