"Tidak apa-apa. Sekarang yang penting kamu ada di sisiku. Sebentar lagi aku akan berusaha sekeras mungkin untuk membalikkan semua ke keadaan semula.” -Raden.
-----
Dengan harap-harap cemas Anna melihat pemandangan di luar kaca mobil. Sekarang dia akan pergi menuju rumah Raden. Di belakang mobilnya, ada truk khusus untuk mengangkat semua barang yang akan dipindahkan.
Sesekali dia masih terhanyut dalam reaksi netizen yang semakin lama semakin memojokkan Raden. Walaupun lelaki itu tetap menelepon seakan-akan tak ada yang terjadi, Anna tetap merasa sesak.
Wanita itu mengerti bagaimana rasanya disalahkan untuk sesuatu yang tak ia perbuat. Bagaimana perasaan menggerahkan saat ia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Terlebih ketika kesalahpahaman itu berimbas ke bagian lain.
"Kenapa dia tetap bertindak seolah semua adalah hal sepele?" gumamnya, sedikit merasa sebal. Atau memang hanya Anna saja yang lebay?
Tidak terasa, m
"Seperti yang kamu tahu, ada banyak hal yang kualami sejak kecil. Alasan aku bisa lahir adalah suatu hal yang tak bisa diterima Ayahku. Beliau membenciku, begitu juga dengan Ibuku. Sejak awal, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk memimpin perusahaan Ayahku. Namun, sejak kebakaran itu, Paman Adit datang menemuiku dan membuatku sekali lagi punya tujuan hidup. "Sudah banyak hal yang kukorbankan demi membangun perusahaan. Lalu, Ayahmu dan Kakakku datang seenaknya untuk mengambil perusahaan. Aku tidak tahu seberapa egoisnya mereka kelak, tapi kemungkinan terburuknya, aku dikeluarkan dari perusahaan. Bukankah itu sama saja dengan perampasan hasil kerjaku?" Anna mendengarkan dengan serius, tak menyela sama sekali. Dari cara berbicara Raden yang rendah tapi tak penuh kesombongan atau jenaka, ia menilai Raden mengatakan yang jujur, murni dari isi hatinya. Sempat muncul perasaan ingin mengibur, tapi Anna sadar diri. Diri sendiri saja tak pernah bisa dihibur, apalagi
Di restoran sepi pengunjung, salah satu meja terisi untuk tiga orang. Walau tujuan pergi ke restoran adalah untuk makan bersama, suasana saat ini tidak senyaman seperti yang seharusnya. Atmosfir terasa kaku, apalagi ketika pria itu meminta penjelasan lebih dengan tangan kanan mengepal kuat ujung sendok. "Bukan seperti ini cara mainnya. Kenapa kalian seenaknya sendiri mengganti isi perjanjian kita?" "Tolong, dengarkan dia dulu...." pinta Masya dengan suara kecil, nyaris mencicit. Saat ini, wanita itu tak dapat membuka suara lebar-lebar seperti di tempat lain. Aura Malik dan lawan bicara mereka lebih mendominasi di tempat ini. "Jelaskan. Sejelas-jelasnya." Perintah yang tegas segera Malik iyakan sebab dia memang ingin melakukan itu. "Apa kamu sudah mendengar mengenai hubungan Raden dan seorang aktris?" Malik memancing lawan bicaranya untuk berpikir dan menebak-nebak ke mana arah pembicaraan saat ini. "Hm, skandal memalukan. Aku yang tidak terlibat pun i
Sebagai seorang pengangguran dan tak punya sesuatu untuk dikhawatirkan, Anna mengerti jika dia harus membayar dengan sebuah rasa kesepian. Karena di kehidupan nyata, dia tidak banyak memiliki teman akrab--dan rata-rata mereka pasti sudah punya kesibukan sendiri, Anna membuka sebuah akun di Twitter. Aplikasi biru itu sedikit menghibur kehidupannya yang membosankan dan cukup penuh drama. Setidaknya meski Anna tidak banyak keluar dari rumah, dia tetap mengetahui perkembangan setiap detik di luar. Melalui aplikasi ini juga dia seorang teman virtual. Anna tak yakin apa mereka bisa dikatakan sebagai teman, tapi setidaknya orang tersebut bisa menghibur dan memberi respon yang baik untuk tiap ceritanya. Kembali ke saat ini, seharusnya Anna sudah keluar dari mal ini. Akan tetapi ketika di tengah jalan, selepas tak sengaja menabrak orang, penguntit itu seperti menghilang dan tak lagi mengikutinya. "Hah ... Bahkan aku tak tahu apakah sungguhan ada orang yang mengikutiku."
Di lain hari, sesudah menyelesaikan tugas untuk mengisi kekosongan di rumah Raden, Anna kembali menganggur. Tak ada hal lain yang bisa dia kerjakan selain membuat tulisan untuk dilombakan--walaupun belum ada yang menang sama sekali, berbelanja, atau iseng-iseng memasak sesuatu. Kali ini, Anna sudah kehabisan ide. Apa pun kegiatan yang hendak dilakukan, jika hanya berada di situ-situ saja tetap akan membosankan. Akan tetapi celetukan salah satu pekerja berhasil menginspirasi wanita itu. "Apakah Ibu pernah pergi ke perusahaan Pak Raden?" "Pernah. Saat itu aku pergi ke sana untuk mengantarkan bekal buatanku." Apa perlu dia sekali lagi membuatkan bekal? Tapi, sayang sekali karena jam makan siang sudah lewat. "Hm ... Kalau aku pergi ke sana lagi hanya dengan membawa diri, pasti aneh sekali, ya? Raden juga akan terganggu dengan kehadiranku." Diam-diam di belakang si pembantu menahan tawa sebisa mungkin. Dilihat dari sikap Raden yang berubah 180 derajat sejak kedata
Setelah Raden menceritakan yang sebenar-benarnya kepada Adit, orang tua itu dapat memahami alasan pria itu menikahi Anna namun menyembunyikan wanita itu. "Pantas saja. Memang sejak awal, saat kamu menikahi seseorang bermarga Setiawan, Paman jadi ragu. Tapi baguslah kalau begitu. Ternyata istrimu adalah wanita yang baik. Paman harap kamu bisa membahagiakannya." Begitulah petuah singkat Paman Adit sebelum orang tua itu menambahkan sesuatu di akhir."Kata Paman Adit, entah kenapa kamu terasa cukup akab untuknya," lanjut Raden mengakhiri ceritanya pada Anna. Terus terang saja, di dalam lubuk hati Anna, perempuan itu merasa lega karena Adit mau menerima kehadirannya sebagai seorang Anna. Tentu saja dia mulai curiga saat Adit ingin berbicara dengan Raden berduaan, untung saja sang suami langsung menceritakan percakapan mereka berdua tanpa mengurangi sesuatu.Mengenai perasaan akrab padahal tak pernah bertemu, Anna mengeluarkan tawa kecil. "Mungkin karena aku sudah pernah men
Sebenarnya Raden tak perlu khawatir atau memiliki bayang-bayang jika Anna tak mau mengaku dia telah menikah, karena tanpa diminta pun Anna sudah melakukan itu. Terlebih tujuan Anna berpergian dengan temannya, Chandra, adalah karena pria itu sendiri. "Jadi kamu ingin menghadiahkan sesuatu untuk suamimu?" tanya Chandra, mengulan sekaligus meringkas cerita Anna barusan. Kepala wanita itu terangguk membenarkan. Jari telunjuk lelaki tersebut mulai mengetuk-ngetuk meja kayu milik toko kopi. "Hm ... Selama ini hadiah apa yang sudah kamu kasih ke dia?" Mata cokelat gelap itu bergetar ragu. Bagaimana dia menjawab pertanyaan yang tak punya jawaban seperti ini? Pasti aneh kalau dia berkata tidak pernah memberi hadiah padahal sudah menjalani pernikahan selama tiga tahun? Agar "Uh ... Itu...." Agar tidak banyak waktu yang diulur, Chandra menanyakan hal lain yang masih berkaitan. "Bagaimana dengan jam tangan? Apa kamu pernah menghadiahkannya?" "Oh! Itu belum pernah
Hari H. Karena ini kali pertama untuk dia menyiapkan sesuatu seperti ini, Anna tak berhenti merasa takut dan panik. Apakah ini sesuatu yang normal jika jantung tak henti berdegup kencang? "Tenang, Anna," ucapnya pada diri sendiri. Tak lama, dia mengecek ponsel yang setiap satu menit berlalu pasti dia buka. Tampilannya pun sama, tetap berisi isi percakapannya dengan Raden. Anna: Kamu akan pulang jam berapa? Raden:Sebentar lagiRaden:Ada apa? Anna:Tidak ada apa-apa. Tapi cepatlah pulang Raden:Hm, kamu semakin membuatku penasaran.Raden:Oke aku pulang sekarang Karena tak bisa melihat langsung, Raden tak tahu bahwa balasannya membuat Anna semakin senang. Padahal tadi pria itu masih berkata akan pulang sebentar lagi. Tapi karena is
Tak ada yang istimewa di hari ini, Raden tetap disibukkan dengan tuntutan-tuntutan pekerjaan yang ada di kantor, sedang Anna menghabiskan waktu dengan Chandra, temannya. Berkat pria itu, Anna bisa menghalau perasaan bosan. Dengan pakaian kasual, sama dengan Chandra, orang lain akan mengira mereka adalah pasangan. Selain menemani berbelanja, mereka juga menghabiskan waktu di bioskop. "Katanya film ini sangat bagus. Tadi kamu lihat kan sudah banyak kursi yang terisi. Untung aja kita juga main cepat." "Aku memang tahu filmnya cukup laris, tapi aku enggak menyangka akan seramai ini," tambah Chandra. Ia melihat ke sekitarnya, lebih banyak orang yang datang daripada biasanya. "Apa kamu suka nonton?" tanya Anna, tak ambil pusing dengan sikap Chandra yang seperti sedang mencari sesuatu. "Tidak. Aku cukup jarang menonton. Omong-omong, bagaimana kalau kita keloungekafe?" Anna mengiyakan ajakan tersebut. Toh pintu bioskop akan dibuka kurang