Bab 155. Sonya Tak Takut Hamil Anak Fajar“Saya bantu turun, Mbak!” Fajar membuka pintu buat Sonya begitu mereka sampai di depan kontrakan Fajar.“Bantu aku masuk ke dalam, Mas! Kaki aku juga sakit,” rengek Sonya merasa berkesempatan untuk bermanja-manja. Kecewa karena khilangan harapan untuk memiliki Deva dia lampiaskan dengan menikmati momen kebersamaan dengan pria itu. Toh, Fajar juga mantan suami Alisya, sama-sama tampan, bedanya, kalau Deva tajir, Fajar fakir. Tak apa, toh papa Sonya memiliki sebuah showroom terkenal. Sonya tak akan jatuh miskin meski gagal menjadi nyonya Deva Wibawa, begitu pikirnya.“Saya gendong saja, ya?” usul Fajar seraya memeluk tubu Sonya.“Eem,” sahut wanita itu senang. Fajar menggendongnya masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar. Dengan hati-hati dia membaringkan sang putri majikan di atas kasur kasar.“Saya kunci dulu mobilnya, ya, Mbak bobok saja! Sekalian saya siapkan air hangat buat kompres luka lebam kaki dan tangan Mbak Sonya,” kata Fa
Bab 156. Alisya Menggugat Cerai DevaMona belum pulang dari café. Pukul dua belas malam adalah batas waktunya bertugas. Bila lewat dari jam tersebut, maka dia terhitung lembur. Malam ini, karena ada tamu istimewa yang menginap di kamarnya, Mona berencana tak akan mengambil waktu lembur. Sekarang masih pukul sepuluh malam. “Dua jam lagi.” gadis itu berdesis lirih.Sementara di kamar kos-kos an sewaan Mona, seorang pria tampak teronggok sambil memeluk lutut. Dia adalah Deva, tamu istimwea Mona. Lelaki itu tampak begitu lemah, mengulet di atas sebuah kasur kecil berukuran tiga kaki. Suara keroncongan terdengar jelas dari perutnya. Kelaparan, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Perih terasa begitu mengisap. Menekan perut sebelah kiri, Deva merintih kesakitan.“Aaau … sakit …!” jeritnya menggigit bibir bawahnya. Keringat jagung merembes di tengkuk dan pelipis, kemeja yang sudah dua hari melekat di badan, sudah basah oleh peluh. Peluh kesakitan.“Alisya. Sakit, Sya … sakit … Al
Bab 157. Bodyguard Alisya“Sudah beres, Bu Alisya! pengadilan akan segera mengurus semuanya. Panggilan sidang pertama akan segera dilayangkan kepada suami Ibu,” ucap Robin setelah semua urusan di pengadilan agama itu selesai. Pria itu berjalan di sisi Alisya menuju pintu utama.“Iya, Pak Robin. Terima kasih, ya!” sahut Alisya mengulas seuntai senyum. Senyum lega. Sebuah harapan terbit di sanubari. Statusnya tak akan digantung lagi. Sekarang Alisya bertekat akan fokus untuk anak-anak dan mengurus perusahaannya.“Saya akan mulai mengumpulkan bukti-bukti untuk bahan kita melawan kubu suami Ibu di sidang nanti. Bu Alisya fokus bekerja saja, saya yang urus semuanya.”“Baik, sekali lagi terima kasih, Pak Robin.”“Saya boleh bertemu Babysitter Ibu yang bernama Ayu itu? Saya ingin menjadikan dia sebagai saksi atas penculikan terhadap putra ibu. Pelaku penculikan itu adalah suami ibu sendiri, bukan?”“Ya, datang saja ke rumah saya! Bapak sudah tahu alamat saya, bukan?”“Sudah. Pak Da
Bab 157. Alisya Membeli Perusahaan Alina? “Iya, kamu, kan tahu aku dan Mas Robert sama sekali enggak paham tentang perusahaan, apalagi mengelolanya. Pabrik ini juga aku jual ke kamu, kan? Ini juga begitu,” ucap Tiara menjelaskan.“Lho, maksudnya bagaimana ini, aku enggak paham!?”“Tolong, kamu yang bayari dana milik keluarga Mbak Dinda, nah saham di perusahaan yang sudah terlanjur ditanamkan oleh Mas Ardho menjadi milik kamu. Perusahaan mertua kamu itu tak sanggup mengembalikan dana Mas Ardho, ya, kepemilikan perusahan itu jatuh ke tangan kamu, dong. Kebetulan sekali, bukan? Perusahaan milik mertua kamu itu enggak akan jatuh ke tangan orang lain, tapi ke tangan kamu! Seenggaknya putra kamu si Bima, kelak masih punya peninggalan perusahaan nenek buyutnya.”“Begitu, ya? Tapi, Mas Ardhonya setuju enggak?”“Kan, kami memang udah mufakat begitu! Di depan keluarga istrinya, juga di depan papa. Tolong, ya, Sya! Aku enggak tau mesti minta tolong ke siapa lagi. Cuma kamu teman aku yang
Bab 159. Perintah Alina Kepada Raja“Selamat datang, Bu Alisya! Kami siap bekerja di bawah pimpinan Ibu!” serempak semua karyawan berikrar.Alina terpana. Alisya, wanita yang sangat dia benci disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh karyawan. Karyawan yang kemarin maish menjadi bawahannya. Orang-orang yang kemarin masih begitu menghormatinya.Tetapi hari ini tak satupun yang memperdulikan dirinya. Pantas tadi saat dia memasuki ruangan, semua menatap aneh terhadapnya. Bahkan wanita itu berniat memberi pelajaran kepada para karyawan yang dia anggap tak tahu sopan santun itu.“Selamat datang, Bu Dirut! Silahkan duduk!” Ardho menunjuk kursi empuk untuk Alisya. “Mas, ini … kenapa Bu Alina ada di sini dan, kenapa dia diperlakukan seperti ini? Lepaskan tangannya, Pak Satpam!” perintah Alisya kepada dua orang security yang masih mencekal lengan Alina.“Ibu ini hendak membuat kekacauan, Bu Dirut! Saya sudah memintanya baik-baik untuk keluar. Tetapi, dia tak mengindahkan. Terpaksa dia d
Bab 160. Deva di Kos-an Mona“Masih sakit perutnya?” tanya Mona seraya mengehenyakkan bokongnya di sisi kasur ketika melihat Deva mulai bergerak pelan. “Satu malaman Bapak merintih, lewat subuh tadi baru terlelap. Sekarang Bapak harus sarapan, saya sudah belikan bubur di warung depan! Saya suapin, ya!” bujuknya. Deva mengucek mata, lalu menatap gadis itu dengan lesu.“Saya bantu duduk dulu!” saran Mona memegang kedua bahu Deva.“Aku malas makan, aku juga malas untuk bernafas! Kenapa aku tidak mati saja! Kenapa aku masih hidup?” lirih Deva, menepis kedua tangan Mona di bahunya.“Bapak putus asa banget, ya! Saya udh capek ngebujuk Bapak dari kemarin. Dibeliin makan malam, disentuh pun tidak. Terserah Bapak, deh! Tapi, Bapak enggak boleh mati di kamar saya! saya bisa terjerat masalah, dong!” sergah Mona mulai putus asa.“Aku enggak mau hidup lagi, Mona! Kalau kau keberatan aku mati di sini, baik, aku akan pergi!” Deva segera bangkit, namun tubuhnya kembali ambruk. Pria itu meringi
Bab 161. Direktur Utama Baru Itu Adalah Alisya“Bapak mau ke kantor?” Mona membuyarkan lamunan Deva.“Aku ragu, Mon,” sahut Deva menghela nafas panjang.“Pergilah, siapa tahu kehadiran Bapak memang betul-betul diharapkan. Bapak mandi dulu, saya siapkan air hangat!”“Terima kasih, Mona!”*Taksi yang dipesankan oleh Mona untuk Deva memasuki halaman gedung perkantoran berlantai empat. Deva keluar dari sana. Mengedarkan pandangan mencari keberadaan Raja.“Mas!” Yang dia cari menyapa.Deva menoleh. Raja dan Alina berjalan menghampiri. Hati Deva sedikit terenyuh saat melihat mata bengkak dan wajah sembab Alina. Terlihat jelas sang mama sedang begitu kecewa dan menderita. Tetapi, rasa kecewa di hati Deva akibat perbuatan sang bunda jauh lebih besar. Karena perbuatan sang Mama, Deva kehilangan istri dan anak-anaknya. Ini teramat sulit untuk dia maafkan begitu saja.“Deva, apa kabar, Nak?” sapa Alina dengan suara sengau. Jelas terdengar kalau wanita itu sedang menanan tangis yang tersen
Bab 162. Penolakan Alisya, Alina Terkapar“Ka-kamu? Kamu di sini, Sya?” Raja yang melangkah masuk pertama kali. Deva masih membeku di posisi berdirinya. Menatap tak percaya wanita di hadapannya.Sebuah lengkungan terbentuk di bibir ranum Alisya. Senyum segar mekar di sana. Sama sekali dia tak terkejut akan kedatangan para mantan keluarga suaminya. Setelan blezer berwarna kuning gading senada dengan rok sebatas lutut dengan warna senada menambah anggun penampilannya. Aroma parfum berbau lembut khas miliknya menguar antara ada dan tiada. Itu aroma khas Alisya. Deva sudah sangat hapal.Kelembutan yang membuat hati pria itu kembali membuncah. Aroma khas yang akan dia yakini milik Alisya saat dia memeluk sang istri dari belakang, seperti biasanya. Alisya akan meronta manja, berbisik bahwa ini adalah kantor. Lalu Deva mengencangkan pelukan, bahkan menambah serangan dengan mengecup lembut tengkuk dan mengulum halus daun telinga wanitanya.“Mas, nakal … ih …!” Alisya akan menggelinjang,