"A-Andini... kamu habis perawatan?" Wulandari terkesima."Iya, aku habis nyalon. Sudah sembuh kamu?" Aku sengaja menahan langkah. Memindai raut pucat itu.Wulandari tersenyum sebelah bibir dan membuang muka."Mau perawatan seperti apa pun kamu tidak akan bisa menyaingiku." Intonasinya pelan. Tentu saja karena ada bapak di rumah.Aku membalas senyumannya semanis mungkin. "Siapa yang mau menyaingimu?" Aku kembali mengayunkan langkah."Eh, iya. Aku ketemu sama Mas Burhan kemarin. Jaga kesehatan katanya.""Ih." Wulandari mendelik tidak suka.Aku menyimpan barang belanjaan. Mandi, lalu berbenah.Sebelum beranjak tidur, aku mengirimkan foto dan setruk transaksi belanjaan serta biaya perawatan salon pada Nata. Sebatas memberi tahu seperti ini hasil salon dengan nominal yang tak sedikit. Nata tidak membalas, sudah tidur atau sibuk, mungkin.Tidak peduli tidur selarut apa, jam tiga dini hari aku pasti terbangun untuk mempersiapkan sarapan bapak. Bapakku sering kali tidak sempat sarapan. Dia ka
"Dia anakku, Wulan. Kamu tidak boleh membunuhnya!" Kalimat Mas Burhan bisa dengan jelas kudengar.Apa? Anak Mas Burhan?Pada awalnya, aku berniat langsung menghampiri mereka, namun kalimat Mas Burhan membuatku urung. Tanpa pikir panjang, aku nemplok ke mobil yang terparkir di depan klinik. Memberi kode pada Mbak Anggun agar mobilnya segera pergi dari sini.Mobil jeep ini cukup tinggi. Sepertinya kedatanganku bisa terlindungi. Beberapa detik aku menunggu reaksi, dan benar saja. Tidak ada gelagat dari mereka yang mungkin menyadari kedatanganku.Oh, iya. Hp. Aku tidak boleh melewatkan ini. Sudah beberapa dialog terlewat memang, tapi gak masalah. Aku butuh informasi sekecil apa pun.Kuarahkan kamera pada dua orang yang sedang berdebat itu. Suaranya agak buyar sebab jarak dan deru kendaraan yang hilir mudik di jalanan."Aku tidak peduli. Hidupku akan hancur gara-gara bayi ini." Wulandari menghempaskan tangan Mas Burhan yang mencoba meraihnya. "Ini semua gara-gara kamu. Kau bodoh. Ceroboh,
Melupakan semua hal tentang Wulandari, aku datang ke galeri seorang MUA. Melihat-lihat begitu banyak gaun pengantin dari yang bertema internasional sampai adat. Hasil riasan dan juga dekorasinya tidak lepas dari pemeriksaan kami.Di daerahku, hajatan itu semacam ajang pengembalian amplop. Terkadang acara dilakukan di dua tempat. Mempelai istri dan juga suami. Berhubung aku punya keluarga yang tidak lazim, maka resepsi akan diadakan di satu tempat saja. Entah rumahku, rumah Nata, atau mungkin sewa tempat.Sekecil apa pun perkembangan, aku musyawarahkan dengan Bu Hamidah. Menyatukan kecocokan. Ibunya Nata itu bukan wanita ribet ternyata, dia ikut saja apa yang kumau, hanya kadang menambahkan atau mengingatkan agar aku tidak melupakan ini dan itu.Lelah pulang dari MUA, aku mengistirahatkan diri pada sofa ruang keluarga. Bu Sum tidak ada di rumah. Sementara Wulandari mengurung diri di kamar.Menit kemudian, Wulandari membuka pintu kamar, dia mematung beberapa detik. Menatapku. Entah apa
Aku sudah bilang pada bapak kalau PakGumilar meminta bertemu. Namun bapak seperti menghindar. Terus saja mencarialasan kalau dia tidak bisa ambil libur jalan. Tidak ada yang ganti lah, lagidikejar setoran lah, dikejar-kejar cicilan bank lah. Terus berkilah.Lain hal saat dulu Wulandari yang mau tunangan. Sekalinyadiminta Bu Sumarni, bapak langsung ambil libur.Setiap hari aku memberinya kabar perkembangan tentangpernikahan. Dari mulai sudah dibookingnya MUA, daftar undangan, sampai hiburanapa yang akan diselenggarakan. Tapi bapak cuek saja, tidak mau peduli samasekali."Kami udah putuskan tempat nikahan di rumahnya Nataaja, Pak. Kalau bapak emang gak ridho di sini," kataku dengan kesabaranyang semakin menipis—berbalik arah menjadi rasa kecewa yang terus menumpuk."Terserah kamu saja.""Iya, aku tahu bapak pasti bilang gitu lagi. Aku cumalaporan saja karena aku masih tanggung jawab bapak. Setelah aku jadi istriorang, gak akan laporan sama bapak lagi."Bapak tidak bicara apa-
Ketika Mas Gagah Tiba 23Aku duduk di sofa dengan segala rasa kecewa yang terkunci dalam dada. Sabarku perlahan kandas. Batas sayang dan benci pada bapak sudah setipis kulit bawang. Salahkan? Entah.Aku sudah berusaha sabar. Menjelaskannya dengan baik-baik seperti saran Nata. Namun perjuangan ini ternyata hanya membuatku patah hati bertubi-tubi.Ada sekelebat ingatan manis masa lalu. Ketika usiaku mungkin kurang dari lima tahun. Saat itu kami tinggal di kampung kelahiran ibu. Kami belum punya rumah dan bapak masih jadi sopir angkot.Ada momen di mana ibu membawaku keluar dari rumah Mbah yang ada di dalam gang. Nongkrong di pinggir jalan untuk menunggu bapak. Lalu angkutan perkampungan itu berhenti dan bapak segera turun. Tergesa menyeberangi jalan dengan sebuah jinjingan di tangan.Bapak memberikan jinjingan itu. Mengendongku sebentar dan menghujani dengan kecupan. Lalu memberi ibu uang. Kalau pulang dari mengantar penumpang ke pasar besar, bapak sering beli oleh-oleh. Apa saja, kadan
KETIKA MAS GAGAH TIBA 24Pria urakan yang sekarang berbaju agak rapi dengan batik dan celana panjang itu celingukan. Sejak tadi dia hanya diam mendengarkan. Sekarang waktunya bicara. Ayo Mas Burhan katakan semuanya.Enak saja Wulandari itu, Mas Burhan yang menghamilinya kok dia malah mengancam agar bisa menikah dengan laki-laki lain. Bagaimana kalau Mas Burhan tidak mau bertanggung jawab atas bayi dalam kandungan itu. Mau dia bunting tanpa ayah?"Emmm... begini Pak Galuh. Benar yang dikatakan Pak Gumilar. Saya dan Wulan sudah pacaran lebih dari dua bulan ini. Saya sangat menyayangi Wulan. Jadi, meski belum memiliki apa-apa. Saya berniat menyeriuskan hubungan ini." Mas Burhan duduk menghadap bapak."HEH! Kamu ngomong apa? Jangan asal itu mulut! Memangnya anakku mau sama kamu!" Bu Sumarni menunjuk sembari berbicara sengit. Berdiri dari duduknya. Bola matanya nyaris keluar, merah membara. Penuturan Mas Burhan serupa nyala api bertemu bahan bakar. Langsung menyambar. "Ngaca dulu kamu sebe
KETIKA MAS GAGAH TIBA 25POV Bu Sumarni 2Wulandari adalah anak kebanggaanku. Dia akan membawa nama baikku nantinya. Akan jadi orang sukses, punya suami terhormat. Wulan selalu kubanggakan pada semua orang. Aku memberikan semua yang terbaik padanya sejak kecil. Bisa dibilang, Wulan tidak pernah tahu kesusahan orang tua.Perjuanganku menjodohkannya dengan atlet sukses itu sudah mentok. Sepertinya Nata memang tidak mau sama Wulan. Aku tidak masalah. Laki-laki masih banyak. Wulan pasti dapat yang selevel dengan Nata. Bahkan bisa lebih.Tapi jangan harap aku merestui Andini begitu saja. Tidak akan. Aku tidak suka melihat anak bodoh jelek itu menyaingi Wulan. Jadi setiap hari aku bujuk bapaknya supaya tidak memberi restu. Puas aku kalau lihat dia maksa nikah tapi bapaknya tidak ikut hadir. Siapa suruh, diurus dari kecil udah besar kok melawan.Makin kurang ajar anak itu sekarang. Pergi belanja, lalu pulang cuma pamer doang. Iya sih penampilannya jadi berbeda, baju-bajunya juga sepertinya m
KETIKA MAS GAGAH TIBA 26POV AndiniAkhirnya, semua terungkap dengan sendirinya. Tanpa aku harus mengotori tangan.Setelah kehadiran Mas Burhan. Semua tidak baik-baik saja. Bu Sumarni sakit-sakitan. Wulan lebih banyak menangis dan mengurung diri di kamar. Bapak bahkan harus libur untuk menjaga Bu Sum. Sekarang tidak ada yang bertolak pinggang; angkat dagu tinggi; memerintah sesuka hati. Ibu dan adik tiriku itu terpuruk akibat ulahnya sendiri.Miris. Begitu karma kehidupan. Semua orang pasti memetik buahnya. Untungnya. Saat mereka dihukum oleh perbuatan sendiri. Aku bukan Andini yang selalu bersembunyi di sudut dapur. Aku sudah berdiri tegak dan pasang badan. Siap menyongsong kehidupan.“Aku banyak menyaksikan kehidupan,” kata Nata satu hari. “Anak-anak yang mendapatkan tekanan dari keluarga menjadi orang yang terpuruk, tertekan, tidak berkembang. Ada yang malah meluap-luap lalu menyalurkan semuanya dengan cara salah. Kemudian pada akhirnya hancur sendiri. Tidak salah memang, mungkin u