Vote dan komen ya, Kakak Cantik.
Berusaha mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang, aku memilih untuk menuruti perintah Pak Reindra. Bosku itu menyuruhku duduk di kursi bagian tengah, sedangkan dia duduk di kursi kemudi. Begitu sampai di dalam mobil, aku disambut oleh wajah cantik Maura. Dengan dress berwarna merah muda dan pita rambut yang senada, Maura benar-benar terlihat seperti seorang princess. Melihatnya, aku jadi membayangkan betapa manisnya bila aku juga memiliki seorang putri. Aku melihat sorot mata gadis kecil itu berbinar tatkala melihat kedatanganku. “Tante Arista, aku senang bisa ketemu Tante lagi,” ucapnya lantas memeluk pinggangku. Aku terkesiap untuk sesaat, merasa terharu dengan reaksi yang ditunjukkan Maura. Ternyata masih ada orang yang merindukan aku setelah sekian lama aku merasa terabaikan. “Iya, Tante juga senang bisa bertemu Maura,” jawabku balas membelai rambut tebalnya. “Kenapa Maura datang ke sini malam-malam? Maura belum ngantuk?” tanyaku keheranan. “Belum, Tante. Tadi
Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Yoga, meski aku sangat ingin menimpali ucapannya. Tak mungkin aku berdebat dengannya di hadapan semua rekan kerjaku. Aku menjauhkan ponsel yang kupegang dari telinga untuk berbicara dengan Maura. “Maura, Tante ke toilet dulu ya. Tante sudah kebelet dari tadi,” ucapku meminta izin darinya. “Oke, Tante. Cepat aja ke toilet supaya Tante nggak ngompol di jalan,” celetuknya. Aku melihat Mbak Ratna dan Davina mengulum senyuman saat mendengar ucapan Maura. Sambil menahan sedikit rasa malu, aku mengangguk kepada gadis kecil itu sebelum meninggalkan meja. “Halo, Rista, kenapa kamu diam saja? Sebenarnya kamu keluyuran ke mana?” Terdengar suara berat Mas Yoga yang menuntut jawaban dari seberang telepon. “Sebentar, Mas,” jawabku jengah. Sepantasnya aku yang mempertanyakan keberadaannya setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar. Namun justru dia yang lebih dulu menuduhku keluyuran. Memang sungguh ajaib kelakuan suamiku yang satu ini. Dengan
Aku membeku sejenak, bingung harus bagaimana untuk mengatasi situasi ini. Pak Reindra juga terkejut karena Maura mengigau dan menyebut aku sebagai ibunya. Aku melihat Pak Reindra berjalan mendekatiku untuk membangunkan Maura. Namun sebelum dia sampai, aku lebih dulu bertindak untuk menyadarkan gadis kecil itu.“Maura, bangun sebentar, Sayang. Ini Tante Arista,” lirihku lembut.Maura menggeliat perlahan sambil bergumam tidak jelas. Gadis kecil itu masih terpejam, tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia akan bangun atau membuka mata. Nampaknya ia benar-benar lelah dan mengantuk, sehingga enggan untuk terjaga.Melihat usahaku tidak membuahkan hasil, Pak Reindra segera mengambil alih. Ia masuk ke mobil lewat pintu yang berseberangan denganku, lalu duduk di samping Maura.“Maura, bobok sama Daddy ya. Tante Arista mau pulang,” bisik Pak Reindra. Karena ia mendekat ke telinga Maura, otomatis jarak kami hanya terpaut beberapa senti. Bahkan aku bisa mendengar hembusan napas Pak Reindra yang hangat
Terus terang aku merasa terkejut sekaligus kesal mendengar pertanyaan Ayah. Ketika anaknya membuat masalah besar dalam hidupku, dia tidak bertanya sama sekali. Sekadar menghubungiku untuk menanyakan kabar cucunya pun tidak. Namun kala anak lelakinya mengadu, yang mana itu belum dipastikan kebenarannya, Ayah langsung memojokkan aku seperti ini. “Aku belum minta izin kepada Mas Yoga, karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi, Yah. Alasannya karena ponselnya rusak dan sedang diperbaiki di counter. Baru semalam Mas Yoga menelepon, dan itu juga memakai nomer baru,” jelasku apa adanya. Ayah berdehem sebentar di telepon sebelum merespon ucapanku. “Mungkin Yoga sedang kesulitan di sana, Rista. Tetapi Ayah yakin keputusanmu untuk menitipkan Zidan, tidak terjadi dalam waktu singkat. Seharusnya kamu bisa meminta pertimbangan Yoga sebelum dia ke Sukabumi.” Nampaknya ayah mertuaku itu menyindirku secara halus. Ingin sekali aku menjelaskan bahwa keputusan itu kuambil secara mendadak, kar
“Kamu menyuruhku ke Jogja hanya untuk menjemput Zidan? Apa kamu sengaja supaya aku dipecat oleh kantor?!” bentak Mas Yoga dari balik telepon. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar nada bicaranya yang meninggi. Dibentak oleh Mas Yoga bukanlah hal yang baru bagiku, meski tetap saja hatiku terasa berdenyut nyeri. “Pertanyaan yang sama aku ajukan untukmu, Mas. Apa Mas juga ingin aku dipecat karena tidak mengikuti acara kantor? Lalu kalau aku tidak punya pekerjaan, Mas sanggup memberikan nafkah yang selayaknya? Atau Mas akan membiarkan aku dan Zidan kelaparan?” balasku. “Rista, masalah kebutuhan keluarga harus kita pikirkan berdua. Jangan aku saja yang kamu bebani. Berapapun yang diberikan suami, harus bisa disyukuri oleh istri,” bantahnya. Sungguh cerdas suamiku ini dalam memberikan jawaban, tetapi aku juga belajar untuk lebih cerdik dalam memberikan serangan balik. “Kalau begitu suami juga patut bersyukur di kala istri mau turut bekerja untuk mencukupkan kebutuhan keluarga. Dan ras
Begitu vibrasi ponselku bergetar pada jam tujuh pagi, aku langsung menerima panggilan tersebut.“Halo, Pak, selamat pagi,” sapaku penuh sopan santun.“Pagi, Rista, saya sudah ada di depan gang rumahmu,” jawab Pak Reindra.“Baik, Pak, saya keluar sekarang,” jawabku.Setelah mematikan panggilan itu, buru-buru aku mendorong koperku keluar dari pekarangan. Di depan gerbang, aku berpapasan dengan Mbak Santi dan Bu Siti yang tengah berbincang-bincang.“Rista, pagi-pagi begini kamu sudah pergi. Mau ke Jogja menyusul Zidan?” tanya Bu Siti menatap koper yang kubawa.“Bukan, Bu, saya ada tugas dinas ke luar kota.”“Dinas ke mana dan berapa hari?” timpal Mbak Santi. Dia memang tak sungkan mengorek privasi seseorang demi memuaskan rasa ingin tahunya.“Ke Bogor dan Sukabumi, sekita dua harian, Mbak.”“Oh, kalau begitu selamat bekerja,” jawab Mbak Santi tersenyum lebar.“Hati-hati, Rista,” tambah Bu Siti.“Terima kasih, Bu Siti, Mbak Santi, saya pamit.”Dengan tergesa-gesa, aku menarik koperku mele
Dalam situasi ini aku masih bimbang harus menjawab apa. Namun setelah kupikir lebih lanjut, lebih baik aku jujur saja terhadap Pak Reindra. Toh, bila Mas Yoga memang bekerja di Sukabumi, hal itu juga tidak akan berdampak bagi pekerjaanku.“Suami saya bekerja di Sukabumi, Pak,” jawabku dengan jujur.Pak Reindra sedikit melebarkan kelopak matanya, nampak terkejut dengan apa yang kuucapkan.“Sukabumi? Kenapa kebetulan sekali? Apa kamu berencana bertemu dengan suamimu saat outbond nanti?”“Tidak, Pak. Justru besok saya berencana untuk menemuinya sebentar, setelah kita selesai menyewa tempat outbond. Saya ingin minta izin kepada Bapak,” ucapku menunduk, tidak berani menatap langsung ke mata Pak Reindra.Pak Reindra menghembuskan napas sambil menyenderkan setengah tubuhnya ke kursi.“Tentu saja saya mengizinkan. Saya tidak berhak melarang suami istri untuk bertemu, apalagi di luar jam kerja. Tetapi kamu harus kembali sebelum jam empat sore, supaya kita tidak kemalaman saat pulang ke Jakarta
Aku berusaha mempercepat langkah agar tidak tertinggal oleh Pak Reindra. Entah mengapa atasanku itu berjalan sangat cepat, hingga aku kewalahan mengimbangi gerakannya. Padahal dia tahu persis bahwa tenagaku sedang lemah, tetapi sepertinya dia sengaja menguji kekuatanku. Atau barangkali Pak Reindra melampiaskan kekesalannya lewat cara itu. Ya, siapa juga yang tak akan kesal bila memiliki bawahan yang selalu merepotkan seperti aku. Jika aku jadi Pak Reindra mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Mengingat kelakuanku sendiri, terkadang aku ingin menghilang saja ke dalam dasar bumi. Sadar diri, aku memilih diam seribu bahasa hingga kami tiba di restoran. “Mau pesan untuk berapa orang, Pak?” tanya pelayan restoran menyambut kedatangan kami. “Dua orang saja,” jawab Pak Reindra seraya duduk di meja yang dekat dengan jendela. Pria muda yang melayani kami menyerahkan dua buku menu, satu untukku dan satu lagi untuk Pak Reindra. Namun bosku itu malah menolaknya. “Saya pesan greentea