Deru mesin pesawat yang teredam di dalam kabin, membuat Una cukup mudah untuk terlelap. Terjadi sedikit guncangan. Una pun membuka mata perlahan dan menemukan langit masih berwarna biru, entah di zona waktu negara mana.Namun, bukan hanya itu yang ditangkap Una, melainkan kehadiran tekanan pada ekspresi Mario. Agak menyeramkan. Dari sedikit cekungan di bawah mata, sepertinya pria berwajah kotak itu belum pernah tidur sepanjang perjalanan.“Ada apa, Sayang?” tanya Una selembut mungkin.Mario, yang mengoneksikan laptopnya ke jaringan wifi pesawat, menatap Una sekilas. Bibirnya mendecak kesal. Sebuah email pendek dari Anderson si gundul Amerika membuat perjalanannya serasa penuh siksaan.[Aku dengar, Der Leifen sudah kembali ke tangan Hazerstein. Sebaiknya hati-hati, Mario. Ingat, nasib perusahaanmu ada di tanganku.]Si wanita cantik pengkhianat pernikahan masih bisa mengerti email yang ditulis dalam bahasa inggris itu. Ia juga bisa mengerti bagian mana yang membuat kekasihnya gundah. Ma
Dua insan tanpa cinta masih memegang alat komunikasi, berteman dingin AC di kamar masing-masing. Keduanya diam. Satunya menunggu jawaban, sedangkan yang lain memastikan jawaban dari mulutnya akan terdengar masuk akal.“Tidak, Reza,” ungkap Isabelle. “Keluargaku bukan pelakunya.”“Gak apa-apa, kok. Jujur aja. Sekarang kamu istriku, sudah sepatutnya kita saling terbuka.” Wajah Reza sedikit memerah menyadari keambiguan kalimat barusan. “Buka rahasia maksudnya.”“Kamu gak salah soal itu.” Isabelle berkedip pelan. “Tapi apa yang membuat kamu berpikir kalau Vanlomraat pelaku pembantaian keluargamu?”“Selain Felix dan pembunuh yang mengejarku ... ada kamu juga yang tahu kalau aku adalah keturunan terakhir Hazerstein. Gara-gara itu, sih.”Isabelle manggut-manggut. “Masuk akal.”Keduanya kembali diam. Pandangan Isabelle tertuju ke jendela yang menampilkan langit malam Kota Zurich. Ada perasaan aneh menghampiri ketika sadar bahwa tujuannya tercapai dengan cara tak biasa, tapi di saat bersamaan
Langit cerah menemani langkah mereka bertiga menuju istana. Felix berjalan di belakang, membawa koper ekstra sebab majikannya yang bertambah satu orang. Sedangkan Reza terus menggenggam tangan Isabelle sepanjang jalur.“Ini perlu banget, ya?” tanya Isabelle sedikit risi.“Istananya gede,” jawab Reza tanpa melirik. “Takutnya kamu nyasar ke kandang buaya.”Dahi Isabelle mengerut. “Ngapain kalian pelihara buaya?”“Untuk menghabisi keluarga Vanlomraat kalau-kalau ternyata mereka memang pelaku pembantaiannya,” celetuk Felix agak sinis.Reza menghela napas. “Aduh, Felix, please deh. Optimis dikit, dong! Majikanmu ini baru aja nikah. Aku yakin seiring pintu istana terbuka, hal-hal baik lainnya juga akan menyusul.”Pintu istana dibuka lalu oleh sang pria Hazerstein.“Woiiii! Felix, ini kenapa ceweknya pada meninggal semua?!” teriak Reza panik.Ketika mereka bertiga akhirnya menggapai aula istana, para wanita cantik yang Felix calonkan untuk Reza tempo hari sudah terbaring tak bernyawa. Kondis
Untung saja Reza berkelit tepat waktu. Buaya masih menganga. Namun, kelincahan sang pria Hazerstein tak berubah seperti saat ia menghadapi mereka di dalam air. Dengan tiga langkah jitu, Reza sudah berada di ujung ekor sang predator.Namun, kini muncul masalah lain. Walaupun sebenarnya sudah muncul dari tadi. Istana cukup luas. Istri Reza bisa berada di bagian mana saja, demikian juga tiga buaya lain. Dan jelas teriakan tadi bukan teriakan gembira .“Isabelle!”Hening. Reza kian risau.“Isabelle, coba teriak sekali lagi, dong! Aku mau tahu kamu ada di sebelah mana!”“Aaaaaaaaah!”“Oh, kiri.”Maka Reza ke arah sumber suara. Langkahnya secepat angin. Untungnya, beberapa minggu di istana sudah membuat Reza hafal rute. Sekarang yang ia butuhkan adalah mengandalkan naluri.Sementara di taman istana, Isabelle sudah sangat terpojok dan hanya bisa berdiri di atas sebuah pot bunga. Buaya menganga. Wanita blasteran itu mencoba mengusir buaya seperti mengusir kucing, tapi tentu saja tak berhasil.
Sekali lagi Reza melakukan lompatan akrobatiknya. Gesit. Buaya pertama dilewati dengan mudah, sedangkan nganga buaya kedua dibungkam dengan pijakan Reza. Heroik. Tak butuh waktu lama baginya untuk berhasil menjemput sang istri.Reza membawa Isabelle berguling. Selamat. Keduanya kini berada di sudut lain taman, dengan Reza yang lekas berdiri bersiaga. Tatapan sang Hazerstein muda tajam ke predator besar bersisik.“Gak ada buaya yang boleh menyentuh istriku!”Bagi Isabelle yang mengira hampir berpindah alam, tindakan dan ucapan Reza adalah sangat menakjubkan. Isabelle terpana. Di matanya, Reza terlihat berkilau .... Ya, tentunya itu juga karena efek pantulan cahaya matahari siang.Reza lantas menyengir, menoleh istrinya. “Akhirnya terucap juga. Keren, ‘kan? Kayak anime banget, gak, sih?”Hilanglah kesima Isabelle terhadap pria di hadapannya, berganti tatapan datar. “Dasar wibu elite global. Paling tidak, beresin dulu buayanya!”Makhluk yang dimaksud seakan mendengar perkataan itu, lalu m
Langit semakin menguning dimakan senja. Sekali lagi ketenangan memasuki istana Hazerstein. Urusan buaya sudah beres. Reza dengan kharisma misteriusnya –lebih tepatnya teknik di luar nalar—berhasil menggiring buaya kelima menuju kandang.Kini sang pria Hazerstein berkumpul bersama istri dan pelayannya di ruang makan. Cukup sibuk. Isabelle bekerja di meja, berkutat dengan smartphone milik mendiang pembunuh bayaran. Sementara Felix menyediakan makanan kecil.Isabelle semringah. “Aku berhasil membuka HP orang itu. Di sini ada satu nomor tak dikenal. Kemungkinan Garrett Anderson.”“Eh, tapi aku belum tahu Anderson ini siapa,” kata Reza.“Dia salah satu anggota keluarga elite global, Tuan. Anderson menguasai perminyakan Timur Tengah dan sebagian besar emas di Indonesia.”Reza menyilangkan tangan. “Wah, dengan kuasa seperti itu, wajar aja dia bisa bayar orang untuk membunuh kita. Terus kita harus gimana? Anderson pasti menunggu laporan orang yang dia bayar.”“Tenang, aku tahu cara mengakalin
Tibalah mereka bertiga di Indonesia. Yang menyambut setelah keluar bandara adalah malam dengan langit keunguan tertutup awan. Sepertinya akan hujan. Buru-buru mereka ke destinasi utama dalam daftar rencana Isabelle.Dalam hitungan jam, rentetan langkah strategi yang disusun istri baru Reza setelah debat kusir di pesawat akhirnya terpenuhi satu per satu.Sejauh ini, adalah Isabelle dan Felix yang terlihat amat sibuk. Sementara Reza ....“Aku sih gak masalah kalau kalian merasa rencana ini brilian. Masalahnya ... harus banget ya, aku dimasukkan ke peti mati kayak gini?!”Mereka bertiga masih berkumpul, hanya saja beda posisi. Satu unit peti mati hitam ada di tepi ruang layat rumah sakit umum.“Sssshh! Diam, nanti orang lain mengira kamu masih hidup!” perintah Isabelle.“Ya aku memang masih hidup, wuoy.” Reza mendobrak penutup peti mati. “Lagian pelayat baru bisa datang lusa, ‘kan? Ngapain aku disuruh menginap di dalam sini?”Isabelle mendecak. “Cuma simulasi doang. Bawel banget, sih.”“
Una merunduk, menyandarkan tangan dan keningnya di pinggir peti mati. Napasnya panas menyentuh wajah pucat Reza. Isak kian terdengar. Dari luar, pelayat lain hanya bisa berempati melihat sengguk duka pada punggung Una.Dalam hati Reza, ia berkali-kali menyebut nama tulang rusuk pertamanya itu. Cinta. Satu kata yang membuat Reza luluh, terutama ketika memori kebersamaan mereka berdua terulang kembali.Tanpa sadar, telapak tangan kiri Reza bergerak perlahan. Itu akibat niat ingin membelai kepala wanita pujaannya dan mengusir duka.Lantas isak Una berhenti. “Tapi bohong.”Seketika tapak tangan Reza terkunci di udara, dan Una belum menyadari. Reza tetap memejam. Untuk kedua kalinya, sang pria berwajah oval dibuat kebingungan oleh sikap Una, apalagi ketika wanita cantik itu perlahan mengintip dan cekikikan.“Matilah kamu, lelaki keparat!” bisik Una. “Tersiksalah di neraka, sementara aku bersenang-senang dengan pacarku yang kaya raya.”Sekali lagi Reza harus merasakan sensasi tersambar gele