Seketika hening. Seluruh mata membelalak tertuju ke pria yang baru saja bersikap layaknya pejuang kemerdekaan. Tentu saja yang paling syok adalah si Vanlomraat tua. Sedang ibu Isabelle merasa malu, lantas mendatangi putrinya dengan amarah.“Isabelle Tulip Vanlomraat! Lelucon macam apa ini?!” tutur sang ibu dalam bahasa Belanda.“Ini bukan lelucon! Dia memang suamiku. Reza Hazerstein.”“Aku tidak menyangka kamu menikah dengan pria macam dia!”Mata para pengunjung masih tak bisa lepas dari perdebatan ibu dan anak itu. Beberapa bahkan sudah mulai mengeluarkan ponsel untuk merekam. Ini tidak bagus. Felix yang sedari tadi mengawasi segera berdiri mengambil tindakan.“Maaf,” kata Felix dalam bahasa Belanda, “mungkin sebaiknya kita bicarakan ini di tempat yang lebih tertutup.”“Ini siapa lagi?” tanya ayah Isabelle.Sebelum pertanyaan itu terjawab, mereka berenam akhirnya pindah ke sebuah ruangan cukup luas di lantai tiga hotel. Ballroom. Suasananya aneh sebab ruangan itu harusnya untuk perte
Jarum jam semakin dekat menuju angka 12. Hotel milik Vanlomraat masih diselimuti udara tropis yang mulai panas, ditemani segarnya minuman dingin. Tamu tertawa. Wajah Indonesia dan asing berbaur dalam suasana mewah nan bahagia Setidaknya sampai satu mobil van hitam datang dan parkir agak jauh dari hotel. Penumpangnya keluar. Lima pria berwajah sangar, salah satunya menenteng koper. Langkah mereka mantap disertai waspada. Pintu belakang terbuka. Kelimanya disambut seorang pria berpakaian pramusaji, lalu mereka masuk ke dalam tanpa saksi mata.“Orangnya ada di lantai atas,” terang si pramusaji. “Kita habisi dia, lalu terima bayaran. Simpel.”Tawa bervolume kecil menggema. Lima orang tadi sudah siap dengan penyamaran mereka. Dua sebagai roomboy, tiga sebagai tamu berjas. Saatnya bergerak. Target mereka ... si pelayan mancung.“Domme! Domme! Domme!” kutuk si Vanlomraat tua seraya memukul tembok.Pria itu sekarang sedang ada di koridor dekat lift. Wajah keriputnya menampakkan kedongkolan.
Reza dan Isabelle memulai hari mereka dengan makan bertemu dan makan bersama di dekat kolam renang hotel milik Vanlomraat. Pagi yang cerah. Nikmatnya sarapan pagi bermenu Belanda menambah keceriaan hati mereka berdua.Layaknya pasangan manusia normal, mereka melakukan obrolan pagi. Aneka topik. Bisnis, meeting yang akan mereka lakukan jam sembilan nanti, juga kamar mandi di kamar Reza yang airnya belum mengalir.Di tengah obrolan ringan suami-istri itu soal minuman yang tak kunjung datang, raut wajah Isabelle mendadak berubah masam. Ia melirik Reza. Bibirnya mencoba mengatur agar kalimat yang keluar tidak salah sasaran.“Reza, soal kemarin ....”Reza tersenyum tulus pada istrinya. “Aku mengerti, kok.”“Benarkah?”“Iya. Hidup di keluarga kaya yang kakeknya titisan Daendels pasti gak enak banget. Wajar aja kalau kamu bersikap kayak cucu durhaka.”Wajah Isabelle datar seperti aspal. “Ada benarnya, tapi bukan soal itu.”Sekali lagi istri baru sang Hazerstein berusaha membangun suasana. Sa
“Tantangan?” tanya Isabelle seraya mengernyit.“Ya. Saya akan membuat acara serupa dengan sponsor berbeda. Tanggal bisa disesuaikan. Adapun tantangannya adalah jika acara saya lebih sukses secara persentase pendapatan, maka kalian harus jadi budak saya.”“Alonso!” Reza berdiri penuh amarah. “Jafari selepet junavahreshu avaras thexi kuzuz khampret!”Mario terbelalak. “Dia barusan bilang ‘kampret’, ya?”“Bukan!” Isabelle membantah. “Pak Lazari bilang, tantangan dari Pak Mario terdengar berlebihan, apalagi bagian budak.”“Loh, kok dia ngerti saya ngomong apa?”“Um ... speaking Bahasa Indonesianya bagus.” Isabelle tertawa gugup.Setelah Reza duduk kembali, Mario memandang ketiga orang di hadapannya dengan mata angkuh. Meremehkan. Kalimat yang keluar dari mulut pewaris Miller’s Corporation selanjutnya tak lain hanyalah cemoohan dan ejekan.Kini tak hanya Reza yang jengkel. Isabelle dan Felix pun mulai ikut geram kala Mario berkata bahwa mereka bertiga tak lebih dari makhluk pemilik perusah
Reza lekas menarik istrinya kembali ke ballroom. Saatnya bertindak. Staf acara dikumpulkan untuk menyusun ulang rencana. Namun, meski retorika tutur Reza terkait alternatif berapi-api, tetap saja para staf menganggapnya tak realistis.Mengganti bintang tamu, itu saran Reza. Cari yang tidak terlalu terkenal, lalu bayar sedikit lebih tinggi artis yang membelot. Semua tercengang. Tak terkecuali Isabelle yang menaruh harapan besar pada sang suami.“Tapi, Reza ... kalaupun bisa diganti, bagaimana dengan tiket pre-sale yang sudah terjual? Konsumen bisa merasa tertipu dan nama hotel ini akan jadi jelek.”“Tidak perlu khawatir.” Reza berkacak pinggang. “Kita akan maksimalkan kemampuan kamu sebagai penguasa media semesta.”“Aku bukan alien. Cuma sampai dunia.”“Iya, itu maksudnya.”Lalu semakin Reza menjabarkan rencananya, para staf terlihat mulai mengangguk dan yakin itu bisa dilaksanakan. Kecuali Isabelle. Justru sang istri sendiri masih tampak ragu. Akan tetapi, mata Reza kembali membisik u
Mario memasang wajah angkuh melihat panggung megah dirancang di tengah pelataran mal Kota Jurajura. Suara berisik pekerja acara menambah keyakinannya bahwa ia akan menang melawan saingannya. Seringai Mario muncul. Sementara Una menyaksikan semuanya dari jendela kafe mal. Termasuk awan yang perlahan mengendap menyelimuti matahari. Sesekali jemari lentik Una mengaduk bongkahan es dalam kopinya. Una juga tersenyum. Hanya saja senyum itu lebih seperti mengamati permainan yang seru. Atau mungkin melihat peliharaan bertingkah menggemaskan.Padahal di pelataran, wibawa Mario benar-benar terpancar meski hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang. Setidaknya terlihat begitu. Tawa terbahak-bahak membayangkan kekalahan lawan meski acara masih jauh dari kata mulai.“Lihatlah, Vanlomraat! Lihatlah, Felix si orang Swiss yang menghajarku kemarin! Lihatlah, wahai Lazari dari Aljazair! Aku yakin keberuntungan sedang bersamaku, Baby!”Tiba-tiba hujan.“Wah, hujan. Kita lanjut kerjanya minggu de
Gedoran makin keras. Reza dan Isabelle yang tahu bahwa koridor seharusnya sepi kini menaruh curiga. Keduanya masih di kamar mandi, mencoba mengenali siapa yang datang melalui ritme gedoran, tapi sia-sia.“Apa kamu yakin keluarga kamu benar-benar sudah merestui pernikahan kita?”“Seratus persen,” jawab Isabelle.Namun, gedoran hanya bertambah keras seakan pelakunya memang ingin menghancurkan pintu. Musuh. Itu yang ada di dalam benak Reza dan istrinya. “Ini mungkin bahaya, dan aku mungkin enggak selamat.” Reza memegang kedua pundak mulus istrinya. “Aku punya satu hal yang ingin kutanyakan ke kamu.”“Papa Belanda, mama Belanda. Kamu kok lancar Bahasa Indonesia, sih?”“Serius? Kamu tanya itu sekarang?”“Ya aku penasaran, Belle.”“Aku blasteran. Papaku Belanda-Cimahi. Mamaku Belanda-Klaten. Puas?”“Wow! Aku bisa ngomong ‘kumaha damang’ ke papa kamu, dong?”Isabelle gemas. Ia mendorong suaminya keluar dari kamar mandi, lalu bergegas memakai baju masing-masing. Reza mengambil lampu hias di
Untungnya, Reza cukup mahir berbahasa Inggris untuk terlibat percakapan, walaupun aksen Indonesianya masih cukup kental. Suasana jadi canggung. Sikap tidak nyaman Reza langsung disadari oleh Isabelle dan Felix.“Mantan pacar?” Reza manggut-manggut. “Nona Vanlomraat tidak pernah cerita.”“I-itu cerita lama,” Isabelle buru-buru menyanggah.“Tapi tatapanmu saat aku tampil tadi memberi sinyal kalau kau masih punya rasa padaku, Honey Bun.” Curtis tertawa, lantas melancarkan rangkulan persahabatan ke Isabelle. Pelipis Reza berdenyut. Felix bisa merasakan hawa ketegangan kian mencuat dari sang majikan.“Honey Bun?” tanya Reza, masih dengan senyum palsu.“Itu panggilan sayangku pada Isabelle dulu. Well, aku tidak keberatan kalau dia mau dipanggil seperti itu lagi.”“Kedengarannya imut.”“Benar sekali, Bung. Ngomong-ngomong, kau siapanya Isabelle?”Senyum masih saja tersungging di wajah Reza. Ia menarik napas panjang seraya melirik Isabelle dan sang mantan pacar yang terlewat akrab.“Cuma tem