Gedoran makin keras. Reza dan Isabelle yang tahu bahwa koridor seharusnya sepi kini menaruh curiga. Keduanya masih di kamar mandi, mencoba mengenali siapa yang datang melalui ritme gedoran, tapi sia-sia.“Apa kamu yakin keluarga kamu benar-benar sudah merestui pernikahan kita?”“Seratus persen,” jawab Isabelle.Namun, gedoran hanya bertambah keras seakan pelakunya memang ingin menghancurkan pintu. Musuh. Itu yang ada di dalam benak Reza dan istrinya. “Ini mungkin bahaya, dan aku mungkin enggak selamat.” Reza memegang kedua pundak mulus istrinya. “Aku punya satu hal yang ingin kutanyakan ke kamu.”“Papa Belanda, mama Belanda. Kamu kok lancar Bahasa Indonesia, sih?”“Serius? Kamu tanya itu sekarang?”“Ya aku penasaran, Belle.”“Aku blasteran. Papaku Belanda-Cimahi. Mamaku Belanda-Klaten. Puas?”“Wow! Aku bisa ngomong ‘kumaha damang’ ke papa kamu, dong?”Isabelle gemas. Ia mendorong suaminya keluar dari kamar mandi, lalu bergegas memakai baju masing-masing. Reza mengambil lampu hias di
Untungnya, Reza cukup mahir berbahasa Inggris untuk terlibat percakapan, walaupun aksen Indonesianya masih cukup kental. Suasana jadi canggung. Sikap tidak nyaman Reza langsung disadari oleh Isabelle dan Felix.“Mantan pacar?” Reza manggut-manggut. “Nona Vanlomraat tidak pernah cerita.”“I-itu cerita lama,” Isabelle buru-buru menyanggah.“Tapi tatapanmu saat aku tampil tadi memberi sinyal kalau kau masih punya rasa padaku, Honey Bun.” Curtis tertawa, lantas melancarkan rangkulan persahabatan ke Isabelle. Pelipis Reza berdenyut. Felix bisa merasakan hawa ketegangan kian mencuat dari sang majikan.“Honey Bun?” tanya Reza, masih dengan senyum palsu.“Itu panggilan sayangku pada Isabelle dulu. Well, aku tidak keberatan kalau dia mau dipanggil seperti itu lagi.”“Kedengarannya imut.”“Benar sekali, Bung. Ngomong-ngomong, kau siapanya Isabelle?”Senyum masih saja tersungging di wajah Reza. Ia menarik napas panjang seraya melirik Isabelle dan sang mantan pacar yang terlewat akrab.“Cuma tem
Cahaya matahari menembus jendela istana Hazerstein, menyengat lembut mata Reza. Napas ditarik. Bersamaan dengan nalar yang mulai berproses layaknya komputer, sisa aroma sampo juga menyeruak ke hidung pria Hazerstein muda.Reza menoleh. Terbeliak ketika menemukan seorang perempuan berambut panjang berbaring di atas dadanya yang tak terlalu bidang.“Oh iya, aku ‘kan sudah nikah,” ujar Reza.Ciuman pagi nan lembut pun mendarat di ubun-ubun Isabelle, membangunkannya. Isabelle mendongak. Bibirnya melukis senyum kala melihat wajah Reza yang sebenarnya ganteng, tapi terkesan ganteng rata-rata.“Pagi, Reza.” Isabelle kembali menyandarkan pipinya pada dada sang suami. “Rencana jahat apa yang akan kamu lakukan hari ini?”“Kenapa kamu ngomong seolah aku ini bos terakhir di anime, sih?” Reza cekikikan.Kali ini Isabelle memberanikan diri mendaki tubuh Reza. Rambut panjangnya terurai. Tatapannya menggoda menyertai napas yang bertiup lembut hendak memabukkan Reza di pagi hari.“Karena kamu memang c
Seisi ruangan langsung panik. Terutama Felix dan Isabelle. Si pelayan mancung lantas bergegas memeriksa keadaan sang majikan dan menemukan denyut nadi yang sangat lemah. Wajah Reza pucat tak sadarkan diri.“Kita harus bawa Reza ke rumah sakit sekarang!”“Tidak cukup waktu, Nyonya. Saya yang akan panggil ambulans ke sini.”“Kalau begitu setidaknya kasih tahu aku apa yang terjadi pada suamiku!” bentak Isabelle.“Hanya ada satu kemungkinan.” Felix melirik ke orang-orang di belakangnya. “Salah satu dari pelayan baru ini meracuni Tuan Reza.”Ada empat belas wajah dan empat belas ekspresi berbeda. Takut, bingung, tidak percaya, dan lainnya. Edna mengernyit. Tangan kekar wanita itu bersembunyi di punggung, menggenggam sebuah botol kecil.Sekitar sepuluh menit setelah dipanggil, ambulans pun datang. Felix bergegas menuntun petugas medis ke ruang makan.“Nyonya Isabelle, dokter kandungan sudah ada di sini.”“Kenapa malah panggil dokter kandungan?!”Felix menepuk jidat, sadar akan kebodohannya
Langkah Isabelle lunglai membawa senyum duka menuju aula. Sang dokter masih di tempat, hanya memandangi dari belakang dengan wajah kebingungan. Situasinya jadi rumit. Bahkan sang dokter mulai berprasangka buruk. “Apa jangan-jangan perempuan itu berharap suaminya meninggal?” ujar sang dokter.Sementara Felix masih berurusan dengan kasusnya. Sudah ada tiga kandidat untuk menerima tuduhan. Dua lelaki, satu perempuan. Hanya satu di antara mereka yang bertanggung jawab di meja makan, sedangkan dua sisanya di dapur.“Kalian bertiga adalah tersangka utama usaha pembunuhan Tuan Hazerstein. Hukuman berat menanti kalian setelah ini.”“Jangan bercanda!” protes si koki perempuan. “Ini hari pertama aku bekerja, dan bayarannya saja belum tentu benar-benar sepadan. Sekarang kami malah dituduh pembunuh?”“C’est la vie, mein Freund,” balas Felix. “Setelah aku menemukan pelakunya, biar Tuan Hazerstein yang memutuskan apakah kalian berhak hidup atau dilempar ke kandang buaya.”“Kamu sedang apa, Felix?”
Malam merayap semakin larut, dan huru-hara di istana mulai mereda. Kesibukan masih ada. Para pelayan yang tersisa melanjutkan pengabdian mereka, dimulai dari membereskan meja makan dan sisa pertarungan.Felix sendiri sedang di aula bersama kedua majikannya. Ada dokter juga. Tubuh Edna yang kekar tak sadarkan diri kini sedang jadi objek pemeriksaan. Sesekali dokter menggeleng, dan semua pesannya diterjemahkan oleh si pelayan mancung.“Ini tidak bagus,” ungkap dokter.“Dia meninggal?” tanya Reza.“Tidak, dia cuma pingsan. Hanya saja, ambulans di luar akan kempes kalau dia diangkut.”Isabelle berdecak jengkel. “Fellex, kasih tahu dokter ini untuk tidak terlalu body shaming ke musuh kita. Dia juga punya kecantikan dari dalam.”“Mau marah, tapi pelafalannya sudah mendekati benar.” Felix menghela napas. “Jadi, kita harus bagaimana?”Selalu ada solusi untuk semua masalah. Reza mengangguk. Ia percaya diri dengan sebuah saran. “Kita kasih makan saja dia ke buaya di kandang.”Tentu saja Felix p
Reza dan Isabelle diam menyimak. Tak salah lagi, suara di telepon itu adalah Mario. Yang jadi masalah adalah bagaimana pria itu bisa tahu bahwa bukan Edna yang mengangkat telepon.“Aku tahu kalian bingung bagaimana aku bisa tahu kalau bukan Edna yang mengangkat telepon.” Mario tertawa. “Coba tebak apa lagi yang aku tahu. Aku tahu kalau kau adalah orang Indonesia, Hazerstein!”Reza dan Isabelle tercengang. Felix kembali ke kesadarannya untuk sesaat. Pelayan masih sibuk. Dokter sudah pulang dari tadi.“Apa maumu?” akhirnya Reza memberanikan diri berbahasa Indonesia.Sementara di ujung telepon, Mario sedang duduk santai di ruang kerjanya. Menatap langit dini hari berhias gemerlap Jurajura dari lebarnya kaca ruang kerja. Ia tersenyum angkuh. Tangan kirinya memegang gelas kecil berisi minuman keras. “Ternyata benar kau masih hidup. Harus kuakui, kau benar-benar mujur. Dan kuakui juga, kau cukup pintar menipuku dengan nama Lazari dari Aljazair.”“Tutup aja kali, ya?” tanya Reza pada sang is
“Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan tam