Reza dan Isabelle diam menyimak. Tak salah lagi, suara di telepon itu adalah Mario. Yang jadi masalah adalah bagaimana pria itu bisa tahu bahwa bukan Edna yang mengangkat telepon.“Aku tahu kalian bingung bagaimana aku bisa tahu kalau bukan Edna yang mengangkat telepon.” Mario tertawa. “Coba tebak apa lagi yang aku tahu. Aku tahu kalau kau adalah orang Indonesia, Hazerstein!”Reza dan Isabelle tercengang. Felix kembali ke kesadarannya untuk sesaat. Pelayan masih sibuk. Dokter sudah pulang dari tadi.“Apa maumu?” akhirnya Reza memberanikan diri berbahasa Indonesia.Sementara di ujung telepon, Mario sedang duduk santai di ruang kerjanya. Menatap langit dini hari berhias gemerlap Jurajura dari lebarnya kaca ruang kerja. Ia tersenyum angkuh. Tangan kirinya memegang gelas kecil berisi minuman keras. “Ternyata benar kau masih hidup. Harus kuakui, kau benar-benar mujur. Dan kuakui juga, kau cukup pintar menipuku dengan nama Lazari dari Aljazair.”“Tutup aja kali, ya?” tanya Reza pada sang is
“Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan tam
Ada yang spesial dalam petang di pinggiran Texas kali ini. Bukan momennya. Melainkan kumpulan tentara pria dan wanita di sebuah lumbung gandum. Mereka tidak saling kenal satu sama lain, tapi punya satu misi yang sama.Di depan barisan, satu orang berdiri. Anderson. Wajahnya yang mulai dilapisi keriput kini memasang senyum angkuh seakan kemenangan sudah berada dalam genggamannya.“Listen up!” Anderson mulai memberi arahan. “Kalian akan berangkat ke Jerman dan menumpas Hazerstein.”Lalu Anderson mulai menjelaskan runut permintaannya. Bayaran juga dirinci. Menggiurkan. Para tentara manggut-manggut tersenyum, terlebih sekilas tugas dari sang pria gundul terdengar gampang.Maka dengan semangat memperebutkan hadiah, tentara-tentara itu rela menjadi anjing berdarah dingin.Salah satu tentara, pria kekar berambut hitam, mengokang senjatanya lalu berlagak sebagai pemimpin. “Alright, soldiers! Saatnya beraksi. Jangan kecewakan klien kita!”Sekali lagi seringai angkuh terlukis di wajah Anderson.
Pria jas abu-abu itu duduk. Para tentara mengawasi tanpa menoleh, mengira itulah sang target. Berbeda dengan Reza. Reza malah menatap pria yang baru masuk itu secara langsung layaknya koboi bertemu lawan duel.Meja kembali diketuk. Kali ini tentara berjanggut oranye di meja sebelah kiri yang memulai percakapan.[Dia benar si pembunuh legendaris, ‘kan?][Dasar bodoh! Jangan bertanya seperti itu di depannya!][Benar. Fokus saja ke pria yang baru datang ini.]Si tentara kulit hitam buru-buru menghadap Reza dengan sedikit keringat dingin. “Maaf Anda harus mendengar itu. Mereka tidak bermaksud kasar.”Sekali lagi Reza mengernyit dahi. Padahal tidak satu pun di antara pria dalam kedai yang berucap sesuatu, tapi si botak malah meminta maaf. Dalam pikiran Reza kini hanya ada satu kemungkinan. Mereka berakting sedang menggunakan telepati.“Tidak apa-apa. Akan kubereskan semuanya setelah pesananku datang.”Sebuah pernyataan yang membuat perasaan para tentara campur aduk. Antara senang mendengar
Reza semakin larut dalam permainannya. Ia benar-benar menghayati peran sebagai raja iblis yang bermain maut dengan empat pria asing dalam kedai. Satu sudah kalah. Kini tersisa empat kandidat berhadapan dengan ramen beruap.“Ayo makan!” kata Reza pada dua tentara di sebelahnya. “Jangan malu-malu.”Sebuah keramahan ala Indonesia yang justru membuat para tentara tidak nyaman. Tentara yang tereliminasi kini tak kunjung kembali, membuat si botak dan janggut oranye makin berburuk sangka.Namun, pertandingan baru saja dimulai. Reza terlihat menggila kala menyeruput suapan berikutnya. Sangat menikmati. Begitu pula dengan pria jas abu-abu rambut pirang yang masih tampak berwibawa meski seruput mi menggema.Dua tentara yang memakan pesanan Reza masih mengamati setelah sebelumnya terperanjat dengan gugurnya satu kandidat. Mereka menerka akankah saingan berikutnya kembali jatuh dalam kegilaan sang pembunuh legendaris.Pria jas abu-abu menarik napas. “Makanlah. Hormati tuan ini yang sudah susah-su
Malam yang tenang di istana Hazerstein. Para pelayan baru saja selesai berbenah setelah makan malam sang majikan. Anginnya tenang. Derap langkah elite global dan istrinya di koridor diiringi obrolan ringan dan lelucon receh dari mulut Reza.Namun, sayang. Candaan Reza hanya berhasil menorehkan senyum formalitas di wajah cantik Isabelle. Sesekali wanita blasteran itu menyengir, pura-pura cengengesan untuk mengimbangi obrolan sang kepala keluarga.“Ya, jadi gitu deh. Ternyata dia salah pakai baju.”“Hihihihi ... parah banget!”“.... Tahu-tahu dia diberhentiin sama polisi. Kiranya gak pakai helm, ternyata istrinya ketinggalan.”“Hahahahaha ... gila tuh!”“.... Tapi ya gitu. Katanya, orang tua dia meninggal dalam kebakaran demi menyelamatkan dia.”“Buahahahahaha!”Reza mengernyit. Langkahnya terhenti di depan kamar akibat kalimat terakhir obrolan yang sebenarnya jelas bukan bahan lawakan. Seketika suasananya jadi canggung, terutama bagi istrinya.Tak boleh begini, pikir Isabelle. Mereka be
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperli
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S